Bulan Hidupkan Cinta
Oleh: Yudi Latif
Kembali ke Desember, kembali membunyikan bel pengingat bahwa
mahadaya cintalah yang memungkinkan kemanusiaan tumbuh. Mengetuk ”pintu” Tuhan
dengan getaran cinta adalah akar pohon kehidupan.
Sementara mengetuk ”pintu” tetangga dengan welas asih adalah buah kehidupan. Cinta membuahkan cinta, kebaikan melahirkan kebaikan. Orang saling membenci karena kurang berbagi kasih sayang.
Dalam dunia yang bergemuruh dengan gelembung citra dan seteru,
kehidupan kota justru berlimpah kesepian, tetapi paceklik keheningan. Kesepian
menandakan kerapuhan, sedangkan keheningan memancarkan keteguhan.
Dalam sepi, api cinta dalam sukma padam. Dalam meredupnya api cinta,
nama Tuhan diseru bukan karena kerinduan kasih menjumpai Sang Maha Pengasih,
melainkan sebagai pencarian suaka kejiwaan dari teror kecemasan.
Orang saling terhubung dalam afinitas keagamaan bukan karena
saling mencintai, melainkan karena dirundung perasaan ketakutan yang sama.
Jalan spiritual yang mestinya merupakan jalan kreatif keheningan dalam
menjinakkan keriuhan dan ketidakpastian berbelok arah ke jalan pelarian dari
kesepian, yang melahirkan ekspresi keagamaan yang ekstrem.
Desember jadi momen penyelamatan bahwa kebajikan cinta kasih butuh
ketepatan kelembagaan cinta kasih. Sungguh mulia seruan agama untuk
mengembangkan cinta agape, seperti sinar mentari yang menyinari siapa pun tanpa
pandang bulu.
Mensius, seorang pemikir Konfusius, menuturkan, jika seseorang
melihat anak kecil berdiri di tubir jurang, dan secara refleks dia menghela
anak itu tanpa berpikir apa suku, agama, atau keuntungan yang didapat, Tuhan
sungguh hadir di jiwa orang itu.
Namun, dalam realitas hidup, ekspresi kasih sayang umumnya
bersifat selektif. Semangat altruisme itu cenderung diarahkan kepada
orang-orang yang memiliki persamaan nilai, norma, dan identitas yang membentuk
komunitas moral bersama. Dengan kata lain, solidaritas kebangsaan dari segala keragaman
manusia hanya bisa dibangun manakala ada elemen perekat berupa keterpautan
bersama dalam moral publik.
Dengan kata lain, moralitas adalah apa yang mengikat dan
menyatukan manusia secara sosial. Dalam konteks moral publik, Jonathan Haidt
(2012) menengarai enam nilai inti moral publik. Care (peduli terhadap bahaya
yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan, kesetaraan, dan
kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty
(kesetiaan kepada institusi, tradisi, dan konsensus bersama), authority (respek
terhadap otoritas yang menjadi sumber kedaulatan bersama), serta sanctity
(memuliakan hal-hal yang disucikan bersama).
Dalam konteks Indonesia, nilai inti dari moral publik itu
terkristalisasi dalam Pancasila. Sila ketuhanan mencerminkan nilai sanctity.
Bahwa setiap komunitas moral harus ada nilai yang ”disucikan” bersama sebagai
jangkar pengikat kohesi sosial.
Pada Pancasila, nilai yang disucikan itu secara vertikal adalah
ketuhanan, secara horizontal adalah gotong royong. Maknanya, spirit gotong
royong itu ditarik secara vertikal ke hulu, sumbernya dari pancaran sinar
ketuhanan.
Bahwa segala keragaman yang saling bergantung (yang butuh gotong
royong) di kehidupan ini merupakan pancaran dari ”Yang Tak Terhingga” (Tuhan),
yang tak bergantung. Oleh karena itu, perbedaan bukan saja ditoleransi,
melainkan harus dikehendaki sebagai hal yang saling menyempurnakan.
Sila kemanusiaan mencerminkan nilai care dan liberty. Bahwa
komunitas moral diikat oleh kepedulian terhadap hak dasar manusia, dengan
menjunjung keadilan dan keadaban.
Sila persatuan mencerminkan nilai loyalty. Bahwa komunitas moral
memerlukan kesadaran bersama untuk merawat ”rumah” bersama, di mana kebebasan
individu jangan sampai menghancurkan tatanan tradisi dan konsensus yang menjaga
harmoni dalam kebersamaan.
Sila kerakyatan mencerminkan nilai authority. Dalam
institusionalisasinya, pengembangan otoritas ini diarahkan untuk menjadi bangsa
yang berdaulat dalam politik, melalui cita kerakyatan, cita permusyawaratan,
dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi
demokrasi yang dapat memperkuat persatuan dan keadilan sosial.
Sila keadilan mencerminkan nilai fairness. Kohesi sosial
memerlukan konsepsi keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem yang tidak
berkeadilan akan melahirkan kesenjangan sosial yang bisa melemahkan kohesi
sosial.
Keseluruhan sila itu secara horizontal disinkronisasikan oleh
semangat gotong royong. Gotong royong adalah level tertinggi dari proses
adaptasi manusia dalam mengarungi tantangan seleksi alam kehidupan, dari
makhluk individu menjadi makhluk sosial. Kegotongroyongan Pancasila menghendaki
sosiabilitas kebangsaan yang dapat mengatasi kecenderungan individualisme dan
totalitarianisme.
Di masyarakat yang majemuk, terlalu menekankan individualisme dan
perbedaan menyulitkan integrasi nasional. Akan tetapi, mematikan aspirasi
kedirian dan perbedaan bisa membunuh kekayaan potensi dan kreativitas. Jalan
tengah Pancasila memilih kearifan Bhinneka Tunggal Ika: mengakui
keragaman/perbedaan seraya berusaha mencari persamaan/persatuan.
Kembali ke Desember, kembali memulihkan kasih sayang. Nilai
kebajikan kasih sayang itu menemukan wujudnya yang paling optimum manakala
terlembagakan dalam institusi kebajikan publik berlandaskan Pancasila. []
KOMPAS, 13 Desember 2018
Yudi Latif | Pengurus Aliansi Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar