Kebudayaan
dan Kekuatan Masyarakat
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Dalam 3
tahun terakhir ini, kita sebagai bangsa didera habis-habisan oleh berbagai hal
yang menyangkut hidupnya. Krisis multidimensi di berbagai bidang, terus
menyelimuti perjalanan kita sebagai bangsa yang terhormat. Memang terkadang
seolah-olah kita kehilangan identitas diri, namun di lain pihak ternyata
keuletan masyarakat kita mampu mengatasinya dalam waktu yang relatif tidak
terlalu lama. Ini di buktikan oleh beberapa kejadian yang menimpa kehidupan
kita, seperti terorisme dengan pemboman di Bali, Hotel Marriott (Jakarta),
konflik di daerah Ternate dan Poso (Sulawesi Tengah), ternyata hal itu
tidak menimbulkan huru-hara bagi bangsa kita sebagaimana diharapkan oleh para
pelakunya. Dunia luar boleh panik atas kejadian-kejadian di atas, namun
kehidupan bangsa kita berjalan terus tanpa banyak gangguan.
Pesawat
F-18 Hornet milik Angkatan Laut A.S, mengadakan manuver di atas wilayah kita,
yaitu Pulau Bawean di Jawa Timur dan dua buah kapal perang A.S dibantu oleh
sejumlah kapal-kapal Angkatan Laut Singapura melakukan manuver di perairan Riau
di sebelah barat pulau Natuna. Sekarang sudah tidak ada lagi upaya-upaya lintas
batas seperti itu, yang berarti keutuhan territorial negara kita juga dapat
dipertahankan tanpa timbulnya kekacauan. Ini membuktikan, keutuhan kita sebagai
bangsa semakin lama semakin kokoh. Dengan kata lain, bangsa ini berhasil
melestarikan dirinya sendiri.
Ini
tentunya berlawanan dengan sekian banyak prediksi, yang menyatakan RI akan
terpotong-potong oleh beberapa upaya membagi-bagi menjadi beberapa buah negara.
Ini berlangsung demikian rupa, sehingga upaya-upaya “mengembalikan” nama negara
kita, Indonesia kembali kepada nama semula, yaitu Nusantara dianggap oleh
sementara kalangan sebagai “upaya separatis” untuk menjadikan Indonesia menjadi
tiga buah negara. Dengan demikian, lengkaplah sudah proses kegagalan upaya
menjadikan kita sebagai bangsa terpecah-pecah menjadi paling tidak tiga buah
negara baru. Ini berkat tiga buah perkembangan yaitu sebuah sistem pemerintahan
yang berlaku di seluruh daerah, perkembangan bahasa nasional dan keberhasilan
menjadikan daerah-daerah pertumbuhan tergantung satu kepada yang lain. Karena
ketiga faktor itulah, kita dapat mempertahankan keutuhan sebagai bangsa.
Kita
terbiasa melihat guru orang Ambon mengajar di Riau, Hakim orang Minang bertugas
di Irian, Bupati orang Jawa di Aceh dan seterusnya Kemudian dengan hasil bahasa
nasional menjadi lingua franca (bahasa pengantar) di seluruh bagian nusantara,
maka hampir seluruh orang Indonesia dapat berbahasa nasional, walaupun angka
buta huruf cukup tinggi di negeri kita. Itu dapat di capai dengan tidak
“mematikan” bahasa daerah dan dialek lokal. Sementara produk-produk Kalimantan
Timur (seperti minyak, hasil hutan dan lainnya) dinikmati juga oleh orang-orang
lain di bagian-bagian yang jauh dari kawasan itu, seperti di pulau Jawa. Hal
semacam itu terjadi hampir dalam semua hal, walaupun angka pertumbuhan
rata-rata bagi tiap daerah itu berlain-lainan.
******
Apakah
yang menjadi akibat bagi munculnya “rasa kebersamaan” sebagai bangsa seperti
itu? Jawabnya memang sukar, tetapi bagaimanapun juga harus diperoleh dan
faktor-faktor positifnya dikembangkan lebih jauh, dan faktor-faktor negatifnya
dihilangkan atau dikurangi secara berangsur-angsur. Contoh dari faktor yang
memberikan pengaruh negatif atas tumbuhnya rasa kesatuan kita adalah perkawinan
antar suku. Sekarang kita sudah terbiasa dengan wanita Batak yang kawin dengan
lelaki Jawa. Hal semacam ini perlu didorong lebih jauh sehingga menjadi
“kebiasaan hidup” di bagian manapun dari negeri kita. Memang akan timbul
kesulitan untuk menjaga kelestarian bahasa daerah masing-masing, tetapi bukankah
hal itu digantikan oleh bahasa nasional. Beribu-ribu anak keturunan ayah dan
ibu suku bangsa Jawa, tidak dapat menggunakan bahasa asal orang tua mereka
(bahasa Jawa)? Ini terjadi pada para kemenakan penulis sendiri, sedangkan
anak-anaknya hanya berbahasa Jawa Ngoko, yaitu bahasa kasar yang tidak sama
dengan jenis kromo ataupun kromo inggil (yang dipakai oleh para ningrat dan
juga menjadi “ukuran” kehalusan berbahasa Jawa). Memang dalam proses
“menyatunya” bahasa-bahasa lokal itu menjadi sebuah bahasa nasional mengalami
banayak tantangan. Seperti munculnya semacam “bahasa sandi”, seperti bahasa
prokem yang bukan seratus persen bahasa nasional dan juga tidak seratus persen
bahasa Betawi, yang digunakan secara “universal” (umum) oleh masyarakat. Namun
ia tidak membahayakan kelangsungan bahasa nasional, ia hanyalah reaksi sebuah
generasi terhadap sikap tokoh yang menganggap dirinya sebagai “pelopor” bahasa
nasional. Yang sangat menjengkelkan generasi tersebut adalah pengunaan “bahasa
nasional” yang menggunakan logat/ aksen bahasa suku bangsa tertentu (Jawa,
Batak, Betawi dan sebagainya), atau pemaksaan nilai oleh “orang-orang tua” yang
harus mereka tolak, maka itu haruslah “dilawan” dengan menciptakan
bahasa-bahasa prokem itu.
Jelaslah,
bahwa bahasa prokem adalah “koreksi” dari generasi muda yang menuntut kejujuran
sikap dan pandangan orang-orang tua mereka sendiri. Pendekatan penuh pretensi
dari generasi-generasi terdahulu, adakalanya diterima oleh generasi muda dan
adakalanya pula ditolak. Nah, dalam proses penolakan itulah munculnya bahasa
prokem sebagai “alat protes”. Ini berarti dalam jangka panjang bahasa prokem
itu sendiri akan hilang atau lestari, tergantung dari hilang atau
tidaknya hal-hal yang “diprotes” para pengguna bahasa prokem itu sendiri. Kalau
“generasi orang dewasa” bangsa kita (umumnya nanti dipimpin oleh para pengguna
bahasa prokem itu), dapat ”mengendalikan” bahasa yang mereka gunakan
sehari-hari agar lebih sesuai dengan kenyataan, maka bahasa prokem itu secara
berangsur-angsur akan terus berkurang dan dengan sendirinya akan hilang dari
peredaran.
Jelaslah
dengan demikian visi dari Baginda Raja Ali dari Riau, yang mengembangkan bahasa
daerah Melayu-Riau menjadi apa yang kemudian kita kenal sebagai bahasa
nasional, yang berjasa sangat besar dan tidak dapat dilupakan dalam
perkembangan sebuah bangsa yang demikian beraneka ragam seperti bangsa kita.
Sangat mengherankan sampai hari ini masih sangat sedikit perhatian pemerintah
maupun masyarakat atas proses yang beliau jalani untuk menjadikan bahasa daerah
menjadi bahasa nasional kita. Mungkin di Malaysia beliau lebih dihargai dan
dikenang/diketahui daripada di negeri kita sendiri.Seolah-olah bahasa
Melayu-Riau itu “dengan sendirinya” menjadi bahasa nasional kita ini terjadi
dengan sendirinya, tanpa ada yang mempelopori atau mendorong. Kalau Sir Winston
Churchill membuat istilah “english speaking peoples” (bangsa-bangsa berbahasa
Inggris), untuk mereka yang menggunakan bahasa itu di seluruh dunia, dengan
dialek dan ragam masing-masing (Pigeon, English), dan untuk itu ia menerima
hadiah Nobel untuk kesusastraan. Maka untuk bahasa nasional kita hampir-hampir
tidak ada orang yang memperhatikan bahasa nasional kita itu. Kalau dikatakan
bangsa yang besar adalah bangsa yang sanggup menghormati para pahlawannya dan
juga sanggup menghormati bahasa nasionalnya, maka kedua hal ini belum berlaku
bagi bangsa kita. Masih sangat besar “kekurangan-kekurangan” dalam kehidupan
kita bersama, hingga waktu kita tersita untuk itu, dan mengabaikan pentingnya
pembahasan tentang bahasa nasional kita sendiri.Memang mudah dikatakan, namun
sulit dilaksanakan bukan? []
Jakarta,
5 Januari 2004
Sumber; Duta
Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar