Hakikat Kemuliaan Manusia:
Subjek atau Objek?
Orang mulia bukanlah orang yang di mana-mana
dimuliakan orang, tetapi adalah orang yang senantiasa berbuat kemuliaan. Jadi
orang mulia adalah subjek dan bukan objek. Allah SWT berfirman dalam Surah
Al-Hujurat, ayat 13:
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya: "Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu."
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mulia
adalah para pelaku perbuatan mulia, yakni mereka yang melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Jadi mulia tidaknya seseorang tidak ada
hubungannya dengan bagaimana ia diperlakukan di tengah-tengah masyarakatnya
seperti dihormati atau tidak, tetapi sejauh mana ia melakukan perbuatan-perbuatan
mulia yang disebut ketakwaan seperti beriman kepada Allah, berbakti kepada
orang tua, sabar, jujur, adil, rendah hati, menghormati orang lain dan
sebagainya.
Semakin banyak seseorang melakukan perbuatan
mulia, ia semakin tinggi derajat kemuliaannya meskipun mungkin ia bukanlah
orang terhormat di masyakat karena faktor-faktor duniawi seperti tidak memiliki
jabatan penting, tidak memiliki kekayaan berlimpah, tidak memiliki nasab
tinggi, dan sebagainya.
Contoh konkret orang mulia yang tidak dimuliakan
atau dihormati masyarakat adalah Uwais Al-Qarni. Ia adalah seorang pemuda
miskin penduduk desa Qaran di Yaman yang sering ditertawakan, diolok-olok, dan
dihina oleh orang-orang di sekitarnya, tetapi selalu sabar diperlakukan seperti
itu.
Uwais Al-Qarni hanyalah salah seorang dari
sekian banyak orang yang tidak dimuliakan atau dihormati oleh masyarakat namun
ia sangat mulia karena ketakwaannya kepada Allah SWT, seperti sikap hormat dan
baktinya yang luar biasa kepada ibunya yang seorang janda miskin, tua, dan tak
berdaya.
Kemuliaan Uwais Al-Qarni diisyaratkan oleh
Rasulullah SAW, yakni ketika beliau bercerita kepada Sayyidina Umar bin Khattab
RA tentang identitas dirinya dan kemudian berwasiat kepada beliau dan Sayyidina
Ali bin Abi Thalib RA sebagai berikut:
سَيَقْدَمُ
عَلَيْكُمْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ , فَدَعَا اللَّهَ
لَهُ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ ، فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ
لَهُ
Artinya: “Kelak akan datang seorang laki-laki
bernama Uwais. Ia memiliki belang putih. Ia berdoa agar Allah menghilangkan
belang itu, maka Allah menghilangkannya (kecuali di lengannya). Barang siapa
diantara kalian bertemu dia, maka termuilah dia dan mintalah padanya untuk
memintakan ampunan kepada Allah.” (lihat Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi,
Jamiú al-Ahadits, al-Jamiú as-Shaghir wa Zawaiduhu, wa al-Jamiú al-Kabir, juz
6, Darul Fikri, 1993, hal 25)
Kisah tersebut menunjukkan kemuliaan Uwais
Al-Qarni yang tinggi di mata Allah SWT dan Rasul-Nya yang bukan semata-mata
karena Sayyidina Umar bin Khattab RA dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA diwasiati
Rasulullah SAW untuk minta didoakan diampuni dosa-dosanya, tetapi bahwa semua
ketaatan atau seluruh perbuatan mulia yang dilakukan Uwais Al-Qarni secara
istiqamah telah menjadikannya seorang hamba yang telah mencapai derajat orang
mulia.
Siapa pun orang bertakwa adalah orang mulia
tanpa memandang apakah ia seorang hamba sahaya, kuli bangunan, buruh pabrik,
direktur perusahaan, konglomerat, pejabat ataupun seorang ulama. Semakin tinggi
ketakwaan seseorang semakin tinggi kemuliaannya. Semakin jauh dari perbuatan
mulia semakin jauh dari kemuliaan meskipun terhormat di masyarakat.
Mbah Kiai Umar Abdul Mannan Solo dalam sebuah
syi’ir berbahasa Jawa yang penulis terima dari Mbah Ngismatun Sakdullah – biasa
dipanggil Mbah Ngis – menyatakan:
Aku dudu bendoro (Aku bukan majikan
kaya)
Dudu turun wong gedhe (Bukan pula keturunan
orang besar)
Yen ono wong ngendelke (Jika ada orang
membanggakan diri)
Dupeh dhuwur turunne (Karena ketinggian
nasabnya)
Ora bingung awakku (Aku tidak goyah)
Budi luhur sanguku (Akhlak mulia adalah bekal
hidupku)
Syi’ir tersebut pada intinya mengingatkan
kita bahwa hakikat kemuliaan seseorang tidak terletak pada harta yang berlimpah
ataupun ketinggian nasab (keturunan), tetapi pada keluhuran budi pekerti
masing-masing atau yang sering disebut akhlak mulia. Prinsip ini sejalan dengan
firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat, ayat 13 sebagaimana dikutip pada
bagian awal tulisan ini.
Jadi sekali lagi, orang mulia bukanlah orang
yang dimana-mana dimuliakan atau dihormati orang, tetapi adalah orang yang
senantiasa berbuat kemuliaan sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
Singkatnya, hakikat orang mulia adalah orang yang berbuat kemuliaan
dengan jalan ketakwaan dan akhlak mulia, dan bukan semata-mata dimuliakan oleh
masyaraktnya. Orang mulia adalah subjek dan bukan objek. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar