Kamis, 27 Desember 2018

(Ngaji of the Day) Hakikat Kemuliaan Manusia: Subjek atau Objek?


Hakikat Kemuliaan Manusia: Subjek atau Objek?

Orang mulia bukanlah orang yang di mana-mana dimuliakan orang, tetapi adalah orang yang senantiasa berbuat kemuliaan. Jadi orang mulia adalah subjek dan bukan objek. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat, ayat 13:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu."

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mulia adalah para pelaku perbuatan mulia, yakni mereka yang melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. 

Jadi mulia tidaknya seseorang tidak ada hubungannya dengan bagaimana ia diperlakukan di tengah-tengah masyarakatnya seperti dihormati atau tidak, tetapi sejauh mana ia melakukan perbuatan-perbuatan mulia yang disebut ketakwaan seperti beriman kepada Allah, berbakti kepada orang tua, sabar, jujur, adil, rendah hati, menghormati orang lain dan sebagainya. 

Semakin banyak seseorang melakukan perbuatan mulia, ia semakin tinggi derajat kemuliaannya meskipun mungkin ia bukanlah orang terhormat di masyakat karena faktor-faktor duniawi seperti tidak memiliki jabatan penting, tidak memiliki kekayaan berlimpah, tidak memiliki nasab tinggi, dan sebagainya. 

Contoh konkret orang mulia yang tidak dimuliakan atau dihormati masyarakat adalah Uwais Al-Qarni. Ia adalah seorang pemuda miskin penduduk desa Qaran di Yaman yang sering ditertawakan, diolok-olok, dan dihina oleh orang-orang di sekitarnya, tetapi selalu sabar diperlakukan seperti itu. 

Uwais Al-Qarni hanyalah salah seorang dari sekian banyak orang yang tidak dimuliakan atau dihormati oleh masyarakat namun ia sangat mulia karena ketakwaannya kepada Allah SWT, seperti sikap hormat dan baktinya yang luar biasa kepada ibunya yang seorang janda miskin, tua, dan tak berdaya.

Kemuliaan Uwais Al-Qarni diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, yakni ketika beliau bercerita kepada Sayyidina Umar bin Khattab RA tentang identitas dirinya dan kemudian berwasiat kepada beliau dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA sebagai berikut: 

سَيَقْدَمُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ , فَدَعَا اللَّهَ لَهُ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ ، فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَهُ

Artinya: “Kelak akan datang seorang laki-laki bernama Uwais. Ia memiliki belang putih. Ia berdoa agar Allah menghilangkan belang itu, maka Allah menghilangkannya (kecuali di lengannya). Barang siapa diantara kalian bertemu dia, maka termuilah dia dan mintalah padanya untuk memintakan ampunan kepada Allah.” (lihat Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi, Jamiú al-Ahadits, al-Jamiú as-Shaghir wa Zawaiduhu, wa al-Jamiú al-Kabir, juz 6, Darul Fikri, 1993, hal 25)

Kisah tersebut menunjukkan kemuliaan Uwais Al-Qarni yang tinggi di mata Allah SWT dan Rasul-Nya yang bukan semata-mata karena Sayyidina Umar bin Khattab RA dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA diwasiati Rasulullah SAW untuk minta didoakan diampuni dosa-dosanya, tetapi bahwa semua ketaatan atau seluruh perbuatan mulia yang dilakukan Uwais Al-Qarni secara istiqamah telah menjadikannya seorang hamba yang telah mencapai derajat orang mulia. 

Siapa pun orang bertakwa adalah orang mulia tanpa memandang apakah ia seorang hamba sahaya, kuli bangunan, buruh pabrik, direktur perusahaan, konglomerat, pejabat ataupun seorang ulama. Semakin tinggi ketakwaan seseorang semakin tinggi kemuliaannya. Semakin jauh dari perbuatan mulia semakin jauh dari kemuliaan meskipun terhormat di masyarakat.

Mbah Kiai Umar Abdul Mannan Solo dalam sebuah syi’ir berbahasa Jawa yang penulis terima dari Mbah Ngismatun Sakdullah – biasa dipanggil Mbah Ngis – menyatakan:

Aku dudu bendoro (Aku bukan majikan kaya) 
Dudu turun wong gedhe (Bukan pula keturunan orang besar)
Yen ono wong ngendelke (Jika ada orang membanggakan diri)
Dupeh dhuwur turunne (Karena ketinggian nasabnya)
Ora bingung awakku (Aku tidak goyah)
Budi luhur sanguku (Akhlak mulia adalah bekal hidupku)

Syi’ir tersebut pada intinya mengingatkan kita bahwa hakikat kemuliaan seseorang tidak terletak pada harta yang berlimpah ataupun ketinggian nasab (keturunan), tetapi pada keluhuran budi pekerti masing-masing atau yang sering disebut akhlak mulia. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat, ayat 13 sebagaimana dikutip pada bagian awal tulisan ini. 

Jadi sekali lagi, orang mulia bukanlah orang yang dimana-mana dimuliakan atau dihormati orang, tetapi adalah orang yang senantiasa berbuat kemuliaan sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Singkatnya,  hakikat orang mulia adalah orang yang berbuat kemuliaan dengan jalan ketakwaan dan akhlak mulia, dan bukan semata-mata dimuliakan oleh masyaraktnya. Orang mulia adalah subjek dan bukan objek. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar