Hal yang Perlu Diketahui
tentang Penjagaan Gereja (2)
Menjaga gereja sebenarnya bukanlah pandangan
baru dalam Islam. Para ulama’ terdahulu pernah membahas persoalan ini, bahkan
sebagian ulama’ berpandangan agar penjagaan terhadap gereja seperti yang
dilakukan salah satu ormas Islam di Indonesia agar memang harus
dilakukan.
Pendapat tersebut berangkat dari penafsiran
dari firman Allah SWT:
وَلَوْلَا
دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ
وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا
Artinya, “Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentu telah dirobohkan
biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang yahudi dan
masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah,” (Surat Al-Hajj ayat
40).
Dalam menjelaskan ayat di atas, Imam Hasan
Al-Bashri mengungkapkan pendapatnya:
وقال
الحسن : "يدفع عن هدم مصليات أهل الذّمة بالمؤمنين "
Artinya, “Hasan Al-Basri berkata, ‘Tempat
ibadah ahli zimmah (Yahudi dan Nasrani) dilindungi dari kerusakannya oleh
orang-orang Mukmin,” (Lihat Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wal Bayan, juz
VII, halaman 26).
Lebih jauh lagi, Ibnul Jauzi, ulama’ kenamaan
Mazhab Hanbali mengutip pandangan Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat di atas,
yang berpandangan bahwa tempat ibadah orang ahli zimmah (Yahudi dan Nasrani)
adalah tempat ibadah yang dicintai oleh Allah sehingga harus dijaga oleh umat
islam, meskipun di sisi lain Allah membenci tempat serta orang yang beribadah
di tempat ini atas kekufuran mereka.
Penilaian tempat ibadah non-Muslim dengan
demikian tidak bisa ditinjau dari aspek kekufuran mereka saja, tapi juga
memandang kewajiban menjaga serta melindungi jiwa dan tempat ibadah mereka. Hal
ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Ahkamu ahlid Dzimmah:
فإن
الآية دلت على الواقع، لم تدل على كون هذه الأمكنة - غير المساجد - محبوبة مرضية
له، لكنه أخبر أنه لولا دفعه الناس بعضهم ببعض لهدمت هذه الأمكنة التي كانت محبوبة
له قبل الإسلام وأقر منها ما أقر بعده، وإن كانت مسخوطة له كما أقر أهل الذمة، وإن
كان يبغضهم ويمقتهم ويدفع عنهم بالمسلمين مع بغضه لهم. وهكذا يدفع عن مواضع
متعبداتهم بالمسلمين وإن كان يبغضها، وهو سبحانه يدفع عن متعبداتهم التي أقروا
عليها شرعا وقدرا، فهو يحب الدفع عنها وإن كان يبغضها، كما يحب الدفع عن أربابها
وإن كان يبغضهم. وهذا القول هو الراجح إن شاء الله تعالى، وهو مذهب ابن عباس في
الآية.
Artinya, “Sungguh ayat ini menunjukkan pada
kenyataannya, bukan malah menunjukkan bahwa tempat-tempat (ibadah) ini (selain
masjid) adalah hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT, tetapi Allah
mengabarkan bahwa kalau saja Allah tidak menolak keganasan manusia satu sama
lain maka pasti tempat-tempat ibadah yang dicintai oleh Allah sebelum munculnya
Islam sudah dihancurkan. Tempat ibadah ini diakui oleh Allah seperti halnya
Allah mengakui tempat ibadah setelahnya, meskipun tempat ibadah ini dibenci
oleh Allah. Seperti halnya Allah mengakui ahli zimmah meskipun (di sisi lain)
Allah membenci dan marah kepada mereka. Allah memerintahkan melindungi mereka
(ahli zimmah) bagi orang Muslim meskipun Allah membenci mereka (atas
kekafirannya).
Begitu juga Allah memerintahkan menjaga
tempat ibadah yang diakui secara syara’. Sebab Allah senang melindungi tempat
ibadah mereka meskipun Allah membenci tempat ibadah ini, seperti halnya Allah
mencintai orang yang berada di tempat ibadah mereka meskipun juga membenci
terhadap mereka. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat Insya Allah, yang
merupakan pandangan dari Ibnu ‘Abbas,” (Lihat Ibnul Jauzi, Ahkamu Ahlid
Dzimmah, juz III, halaman 1168).
Selain itu, penjagaan gereja juga bukanlah
sebuah perbuatan baru yang tidak ada padanannya di masa lalu, sehingga tanpa
menilisik catatan sejarah keislaman di masa lampau, kita langsung mencerca
perbuatan ini atas dasar tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
Tercatat dalam sejarah bahwa Salahuddin
Al-Ayyubi dalam upaya perebutan kembali tanah Yerusalem, saat pasukannya
berhasil menaklukkan tanah Yerusalem atas kendali tentara salib, ia
memerintahkan pasukannya untuk menjaga Gereja Kiyamah yang merupakan salah satu
gereja yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Peristiwa ini dijelaskan oleh
Sayyid Yusuf Ar-Rifa’i dalam karyanya, As-Shufiyah wat Tashawwuf fi Dhau’il
Kitab was Sunnah:
كان
شجاعا كثير الصلاة خانقاه بالديار المصرية أقامه للصوفية ومثله بدمشق. وكان نصره الأكبر في فتح القدس في 27 رجب سنة 583، وشهد
فتحه كثير من رجال التصوف من أرباب الخرق والزهد والعلم وتوقيته بهذا اليوم العظيم
في ذكرى الإسراء والمعراج إشارة ربانية لرضوات الله على الجيش وقائدة وهو القائل
عز وجل { إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ} [غافر: 51]. وقد أمر بالمحافظة على
كنيسة القيامة، فضرب بذلك مثلا عظيما في سماحة الإسلام وبنى قريبا منها مدرسة
للفقهاء الشافعية ورباطا لصلحاء الصوفية ليثبت للصليبين أن الإسلام دين السماحة
والسلام.
Artinya, “Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang
yang pemberani, rajin shalat. Ia memiliki pondok untuk orang sufi di tanah
Mesir dan Damaskus. Pencapaian Salahuddin Al-Ayyubi yang paling besar adalah
saat penaklukan Al-Quds (Yerusalem) pada tanggal 27 Rajab tahun 583. Penaklukan
ini disaksikan orang banyak dari golongan tasawuf yang memiliki budi pekerti,
sifat zuhud dan ilmu. Menjadikan waktu penaklukan pada tanggal 27 yang
bertepatan dengan momentum Isra’ Mi’raj mengindikasikan sebuah isyarat ilahi
bahwa Ridha Allah menaungi para tentara dan pemimpin pasukan. Allah telah
berfirman ‘Sungguh Kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman
dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari kiamat).’”
Salahuddin Al-Ayyubi memerintahkan untuk
menjaga Gereja Kiyamah. Ia menjadikan hal ini sebagai perumpamaan yang agung
dalam wujud toleransi agama Islam. Ia membangun di dekat gereja ini sekolah
untuk para ahli fiqih dan pondok bagi orang sufi yang saleh, supaya tertancap
dalam ingatan tentara salib bahwa agama Islam merupakan agama toleransi dan
kedamaian. (Lihat Sayyid Yusuf Ar-Rifa’i, As-Shufiyah wat Tashawwuf fi Dhau’il
Kitab was Sunnah, halaman 37).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
menjaga gereja bukanlah pandangan serta gerakan baru yang tidak ada padanannya
dalam islam, sebab perbuatan ini memang merupakan hal yang dianjurkan dan
pernah dilakukan di masa silam. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar