Susunan Wirid Hari Jumat
Imam al-Ghazali
Dalam Bidâyatul Hidâyah, Imam Abu Hamid
al-Ghazali menyebut hari Jumat sebagai hari raya kaum mukmin (‘îdul
mu’minîn)—pernyataan ini selaras dengan hadits riwayat Imam Thabrani. Kemuliaan
terhampar luas yang memang disediakan khusus oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
Jumat, lanjutnya, juga merupakan saat-saat tepat dan penting bagi umat untuk
memanjatkan doa. Salah satu waktu manjur bagi terkabulnya doa adalah pada hari
berjuluk sayyidul ayyâm (rajanya hari) ini.
Amalan Jelang Jumatan
Karena istimewanya hari Jumat, Imam
al-Ghazali bahkan menyarankan agar umat Islam mempersiapkan diri menyambut hari
Jumat sejak hari Kamis, dimulai dengan mencuci baju, lalu memperbanyak membaca
tasbih dan istighfar pada Kamis petang karena saat-saat tersebut sudah memasuki
waktu keutamaan hari Jumat. Selanjutnya, kata Imam al-Ghazali, berniatlah puasa
hari Jumat sebagai rangkaian dari puasa tiga hari berturut-turut
Kamis-Jumat-Sabtu, sebab ada larangan puasa khusus hari Jumat saja.
Tatkala memasuki waktu subuh hari Jumat,
seseorang dianjurkan melaksanakan mandi Jumat. Status amalan ini adalah sunnah
muakkadah (sangat dianjurkan), dan wajib bagi seseorang yang malamnya mengalami
“mimpi basah” atau bersebadan suami-istri yang membuatnya menanggung hadats besar.
Selepas mandi, hal berikutnya yang perlu
diperhatikan adalah soal pilihan pakaian. Menghias diri dengan pakaian
serbaputih adalah pilihan terbaik sebab merupakan pakaian yang paling dicintai
Allah (ahabbuts tsiyâb ila-Lâh). Pastikan pula badan dalam kondisi benar-benar
bersih dan harum dengan memotong kuku, sikat gigi, mencukur bulu, atau memakai
wewangian. Selanjutnya, bersegeralah berangkat menuju masjid dengan penuh
ketenangan. Al-Ghazali pun mengutip sebuah pernyataan, “Kedekatan manusia saat
berjumpa Allah tergantung seberapa pagi ia bergegas menuju shalat Jumat.”
Bagaimana ketika kita telah sampai di masjid?
Imam al-Ghazali mengatakan, carilah barisan paling awal. Bila masjid sudah
tampak ramai, jangan melangkahi bahu-bahu mereka, jangan pula lewat di depan
mereka yang sedang shalat. Cari lokasi duduk yang dekat dengan dinding atau
tiang sehingga tak ada orang lalu lalang di hadapan kalian.
Sebelum duduk, sebaiknya laksanakanlah shalat
Tahiyyatul Masjid, yang utama empat rakaat. Tiap rakaat bakda al-Fatihah,
bacalah surat al-Ikhlas sebanyak 50 kali (dalam sebuah hadits disebutkan bahwa
pengamal ini tak akan wafat kecuali ia melihat tempat untuknya di surga atau
orang lain yang menyaksikan tempat tersebut. Sunnah juga dalam pelaksanaan
shalat sunnah empat rakaat tersebut membaca surat al-An‘âm, al-Kahfi, Thâhâ,
dan Yâsîn. Bila tak sanggup, bisa diganti surat Yâsîn, ad-Dukhân, as-Sajdah,
dan al-Mulk. Surat-surat ini, kata Imam al-Ghazali, penting pula dibaca pada
malam Jumat karena memiliki banyak keutamaan. Bagi mereka yang tak sanggup
membaca surat-surat ini, dianjurkan membaca surat al-Ikhlas dan shalawat kepada
Rasulullah sebanyak-banyaknya. Shalat Tahiyyatul Masjid tetap dianjurkan
meskipun imam sedang berkhutbah—hanya saja saat-saat itu shalat Tahiyyatul
Masjid hendaknya diperingkas.
Tatkala imam naik mimbar, seseorang
dianjurkan berhenti berbicara, termasuk membaca shalawat dan doa, untuk
kemudian sibuk menjawab adzan, serta fokus mendengarkan dan memperhatikan
khutbah. Jikapun kita terpaksa menegur orang lain yang berisik, misalnya, maka
cukup dengan bahasa isyarat, bukan kata-kata. Berkata-kata saat khutbah
berlangsung dapat melenyapkan pahala shalat Jumat.
Dzikir Setelah Shalat Jumat
Selepas mengikuti gerakan imam mulai dari
takbiratul ihram hingga salam, jamaah tak dianjurkan langsung pergi begitu
saja, kecuali bila ada urusan mendesak. Menurut Imam al-Ghazali dalam Bidâyatul
Hidâyah, selepas shalat, sebelum lisannya melontarkan apa pun, seseorang
hendaknya merapalkan bacaan-bacaan berikut:
1. Surat al-Fatihah sebanyak tujuh kali
2. Surat al-Ikhlas sebanyak tujuh kali
3. Surat al-Falaq sebanyak tujuh kali
4. Surat an-Nas sebanyak sebanyak tujuh kali
Bacaan-bacaan tersebut, kata Imam al-Ghazali,
akan menjadi benteng dan memelihara seseorang dari gangguan syaitan, mulai dari
satu Jumat ke Jumat berikutnya. Selanjutnya baca doa berikut:
اَللَّهُمَّ
يَا غَنِيُّ يَا حَمِيْدُ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيْدُ يَا رَحِيْمُ يَا وَدُوْدُ
أَغْنِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ
وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Allâhumma yâ ghaniyyu yâ hamîd, yâ mubdi’u wa
yu‘îd, yâ rahîmu yâ wadûd. Aghninî bi halâlika ‘an harâmik, wa thâ‘atika ‘an
ma‘shiyatik, wa bi fadhlika ‘an man siwâka.
Artinya: “Ya Allah, Yang Maha Kaya, Maha
Terpuji, Maha Pencipta, Maha Kuasa Mengembalikan, Maha Penyayang, dan Maha
Kasih. Cukupi aku dengan harta halal-Mu, bukan dengan yang haram. Isilah
hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan mendurhakai-Mu. Cukupi diriku dengan
karunia-Mu, bukan selain-Mu.
Sesudah itu, sang Hujjatul Islam menyarakan
kita untuk melaksanakan shalat dua rakaat atau enam rakaat (tiap dua rakaat
salam) sebab Rasulullah pernah meriwayatkan tentang hal itu dalam berbagai
kesempatan.
Imam al-Ghazali juga menganjurkan, usai
shalat Jumat seseorang agar tetap berada di masjid hingga maghrib, atau
setidak-tidaknya waktu ashar. Sebab sepanjang hari Jumat ada saat-saat mustajab
yang dirahasiakan. Barangkali dengan tetap berada di masjid kita mendapati
momen spesial itu pas ketika kita sedang khusyuk-khusyuknya, merendahkan diri
kepada Allah. Tentu saja selama di masjid tak disarankan kita bergabung di
forum ngobrol atau majelis yang mubazir, kecuali forum keilmuan yang kian
mendekatkan diri kita kepada Allah dan semakin menjauhkan ikatan hati kita
kepada dunia.
Kata Imam al-Ghazali:
فكل
علم لا يدعوك من الدنيا إلى الآخرة فالجهل أعود عليك منه
“Tiap ilmu yang tak mendorongmu menjauh dari
(cinta) dunia, mendekatkan kepada (cinta) akhirat, bodoh atas ilmu itu lebih
bagus daripada menguasainya.”
Tampak sekali dalam sebagai anjuran Imam
al-Ghazali di atas, beliau mengandaikan bahwa seseorang mengkhususkan hari
Jumat untuk lebih intensif beribadah. Hal ini dikarenakan sejumlah keistimewaan
di dalamnya dibanding hari-hari pada umumnya. Bila dalam satu tahun, kita
dianjurkan makin giat taqarrub selama sebulan penuh Ramadhan, maka dalam
konteks hitungan minggu momen itu terletak pada selama sehari penuh Jumat.
Wallahu a'lam.
Keterangan ini dinukil dari kitab
"Bidâyatul Hidâyah" dalam "Majmû’ Rasâil Imâm al-Ghazâlî
"(Kairo: Makabah Taufîqiyyah), tanpa tahun, halaman 410-411.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar