Memahami Keadaan, Menilai Politisi Busuk
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Banyak orang dalam percakapan dengan penulis selalu menyatakan
bahwa selaku mayoritas umat Islam harus berbuat. Mereka mengatakan non-muslim
di negeri ini hanya berjumlah 12%. Selebihnya, yaitu 88% penduduk, dapat
melakukan hal-hal yang mendasar bagi Islam semata. Mereka melupakan, bahwa kaum
muslimin di negeri ini memiliki orientasi yang berbeda-beda. Orientasi ini menjadi
berbeda baik karena daerah, struktur masyarakat, mata pencaharian utama maupun
hal-hal lain dalam kehidupan mereka. Pada akhirnya, seluruh perbedaan itu
memang tidak membuat celah berarti dalam kehidupan masyarakat muslim di negeri
kita. Namun cara kehidupan masing-masing yang terjadi, kemudian “menempa”
orientasi masing-masing, sehingga menjadi seseuatu yang menetap dan sulit
membawa beberapa kelompok kepada cara hidup yang sama. Inilah yang meramu
orientasi saling berbeda yang ada.
Umpamanya saja, orang Bugis di pantai Sulawesi yang tidak dapat
menembus hutan lebat, haruslah bergerak memutar dan menyimpang untuk menuju ke
daerah lain, yang sama-sama berada di pantai. Sudah tentu orientasi kehidupan
pantai yang mereka anut sangat berbeda dari orientasi para petani di
tengah-tengah pulau Jawa. Dalam perkembangan sejarah, kaum muslimin negeri ini
juga terbagi antara mereka yang bergaul dengan bangsa-bangsa muslim lain,
seperti di pusat-pusat penyiaran agama Islam, seperti Mekkah, Madinah, dan
Mesir. Perbedaan itu pada akhirnya melahirkan berbagai gerakan Islam di negeri
ini, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan seterusnya. Kualitas hubungan NU
dengan organisasi-organisasi sejenis di negeri-negeri lain, tentu berbeda dari
apa yang dilakukan gerakan-gerakan lain di Indonesia.
Di samping ada persamaan-persamaan dasar memang juga ada perbedaan
sangat besar dalam perjuangan, seperti mengenai strategi dan taktik, sumber
daya manusia yang akan melaksanakannya serta sumber-sumber daya yang lain yang
dipakai untuk mensukseskannya.
Jadi kalau ada perbedaan dalam rumusan perjuangan, kita tidak
perlu kaget dan langsung berpikir ada “penyelewengan”. Keberagamanpun lalu jadi
tak terhindarkan. Hal ini sebenarnya tidak menjadi soal besar, kalau tidak
dinilai sebagian orang sebagai perpecahan. Contoh dalam hal ini secara kongkret
dapat disebutkan: kasus hubungan NU dan Masyumi seperti dirumuskan oleh pihak
NU melalui hasil Muktamar NU di Palembang tahun 1952. Dalam Muktamar itu, NU
memutuskan menjadi partai politik yang berdiri sendiri, terpisah dari Masyumi.
Persoalannya adalah upaya para ulama NU untuk merumuskan kekuasaan tertinggi
dalam Masyumi adalah para ulama. Namun M. Natsir, diikuti dalam oleh
teman-temannya beranggapan bahwa anggota perorangan Masyumi dianggap sama suara
mereka dari suara institusional, seperti pengambilan keputusan internal NU.
Ketika upaya mencapai kesamaan dan kompromi antara kedua pendapat itu gagal,
lalu dari kalangan “ulama kolot” di lingkungan NU gagal total, maka Muktamar NU
itu memutusakn tindakan keluar dari Masyumi. Dengan demikian, terjadi “ilusi”
perpecahan itu akibat suatu yang fundamental. Padahal, dalam kenyataan
perbedaan yang ada itu sebenarnya masih dapat dikompromikan, jika memang sejak
awal tidak dibiarkan berlarut-larut. Bahkan dengan olok-olokan yang saling
bersambut dari kedua belah pihak.
*****
Kita ingin merefleksikan kejadian di atas pada sikap sementara
kalangan muda terhadap partai-partai politik. Mereka membuat istilah ‘politikus
busuk’ dalam Pemilu 2004 ini. Tentu saja, yang dimaksudkan adalah para politisi
peserta Pemilu 2004, yang secara moral telah melakukan tindakan tidak terpuji.
Namun karena mereka tidak menyebut siapa orangnya, maka yang terjadi adalah
penyamaaan (generalisasi) yang memasukkan semua politikus yang turut serta
dalam pemilu itu sebagai orang-orang yang salah. Akhirnya publik secara
memudahkan saja menganggap semua politisi sebagai demikian. Jadi dengan
sendirinya pemilu 2004 belum apa-apa sudah dianggap orang banyak sebagai
menghasilkan DPR yang korup. Dengan demikian, apa yang dihasilkan Pemilu 2004,
belum-belum sudah dianggap tidak ada gunanya.
Padahal, bisa saja terjadi keadaan sebaliknya. Para anggota
terpilih yang memang bersih, dapat saja mendukung tindakan-tindakan reformatif
dan baik, untuk menyelesaikan demikian banyak persoalan dan krisis yang
bertumpuk.
Karena itu, anggapan bahwa pemilu 2004 tidak memberikan hasil
positif di mata penulis justru harus dipandang sebagai langkah sangat penting
untuk membentuk Indonesia yang baru dan sesuai dengan keutuhan kita. Bahwa
dalam proses itu cukup banyak anggota DPR yang masuk dalam kategori “politisi
busuk”, tidak berarti bahwa semua orang yang terpilih nanti adalah
orang-orang busuk pula. Dalam hal ini, hendaknya diingat bahwa tidak semua
lembaga yang dihasilkan pemilu manapun bersih, atau juga busuk semua. Ini sudah
sering terbukti dalam sejarah karena itu kita tidak perlu pesimis dalam menilai
hasil pemilu itu sendiri.
*****
Penulis teringat kepada Congress A.S setelah perang saudara, yang
dimenangkan oleh Presiden Abraham Lincoln. Pada waktu itu ada istilah carpet
bagger (orang yang tidak memperlihatkan kejujuran). Walaupun banyak anggota
congress yang demikian, ternyata perundang-undangan A.S yang digunakan adalah
produk dari Congress tersebut. Dengan kata lain, kalau sang Presiden memang
baik, dengan sendirinya ia dapat mengatur kehidupan masyarakat yang baik pula,
dan ini akan memaksakan supaya aturan-aturan yang baik dapat diundangkan. Diet (parlemen
Jepang) segera setelah Perang Dunia II, juga demikian. Karena “giringan”
Perdana Menteri Shigeru Yoshida maka para anggota Diet yang belum berpengalaman
dan yang juga memang bertindak tidak benar, akhirnya dapat mengundangkan
segi-segi yang sehat yang akan menopang pertumbuhan Jepang hingga saat ini.
Jadi penulis berhati-hati dengan bersikap realistis (dan tidak
idealistis) dalan meninjau pemilu tahun 2004. Tapi ini memang mengharuskan kita
untuk menempatkan orang-orang bersih dalam daftar caleg adalah hal yang masih
dapat dilakukan oleh pimpinan partai-partai saat ini. Masih ada partai-partai
yang bersih, walaupun ada juga pimpinan partai yang tidak dapat menahan anak
buah mereka dari kalangan yang tidak jujur, bahkan dari kalangan preman. Penulis
yakin, para pemilih/pemberi suara akan mampu membedakan antara mana yang buruk
dan mana yang baik.
Di sinilah perlunya sikap berhati-hati dari kita semua, untuk
begitu saja percaya pada anggapan semua politisi adalah politisi busuk. Di
pihak lain, untuk menilai bahwa anggota DPR nanti mayoritasnya adalah politisi
busuk, hingga hari ini pun belum kita ketahui siapa dan mana orangnya.
Sebenarnya isu itu timbul dari kesimpulan partai-partai yang
tadinya menuntut pengembalian penggunaan aset-aset negara untuk kepentingan
golongan/parpol, seperti Sekretariat Golkar, PPP dan PDI Perjuangan. Untuk
mencegah meluasnya hal ini, kemudian istilah “politisi busuk” dioper Teten
Masduki dengan ICW-nya dan terkemudian lagi oleh AMM (Angkatan Muda
Muhammadiyah). Penulis mengalami sendiri akibat-akibat politisi busuk dari masa
pemerintahan Orde Baru, tetapi penulis yakin kita akan mampu memperbaiki hal
itu. Mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta, 5 Januari 2004
Sumber: Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar