Hal yang Perlu Diketahui
tentang Penjagaan Gereja (1)
Menginjak bulan Desember, sudah bisa
dipastikan publik akan ramai kembali memperdebatkan persoalan sikap salah satu
ormas yang diminta oleh aparat terlibat dalam pengamanan gereja. Persoalan ini
bisa disebut sebagai perdebatan tahunan yang tak akan ada habisnya.
Daripada kita ikut tergerus arus dengan
mengkritik atau mendukung keputusan ormas ini hanya dengan pandangan pribadi,
alangkah baiknya jika kita mengetahui dalil dasar tentang bagaimana sebenarnya
hukum menjaga gereja.
Menjaga gereja adalah persoalan yang
debatable, sebagian kalangan mengarahkan bahwa menjaga gereja merupakan wujud
i’anah alal Ma’siyat (membantu terjadinya suatu kemaksiatan). Sebab menurut
mereka, dalam upaya menjaga gereja terdapat peran mensukseskan terjadinya
hal yang tidak dibenarkan menurut ajaran Islam. Benarkah logika demikian?
Menjaga gereja pada saat natal atau
perayaan-perayaan hari raya non-Muslim sebenarnya sangat tidak elok jika hanya
menilai dari satu sudut pandang saja yaitu membantu terselenggaranya acara
non-Muslim. Bahkan penilaian demikian dianggap salah, karena tanpa dijaga oleh
ormas atau aparat kepolisian pun, acara ritual non-Muslim ini tetap akan
berjalan dengan semestinya sehingga penjagaan bukan merupakan pemicu terjadinya
kemaksiatan. Seperti yang dijelaskan dalam Buhuts wa Qadhaya Fiqhiyyah
Mu’ashirah:
أن
الإعانة على المعصية حرام مطلقا بنص القرآن, أعني قوله تعالى: ولا تعاونوا على
الإثم والعدوان. وقوله تعالى:فلن أكون ظهيرا للمجرمين. ولكن الإعانة حقيقة هي ما
قامت المعصية بعين فعل المعين ولا يتحقق إلا بنية الإعانة أو التصريح بها أو
تعيّنها في استعمال هذا الشيء بحيث لا يحتمل غير المعصية.
Artinya, “Membantu terjadinya maksiat adalah
perbuatan yang haram secara mutlak dengan berlandaskan nash Al-Qur’an, yaitu
“Janganlah kalian tolong-menolong terhadap dosa dan permusuhan” dan firman
Allah “Aku sekali-kali tiada akan menjaadi penolong bagi orang-orang yang
berdosa”. Tetapi membantu terjadinya Maksiat secara hakiki adalah berupa
perbuatan yang membuat maksiat terjadi dengan perantara perbuatan orang yang
membantu, dan hal ini tidak akan wujud kecuali dengan adanya niatan membantu
terjadinya maksiat atau perbuatannya secara jelas ia sampaikan bahwa termasuk
upaya membantu terjadinya maksiat atau perbuatannya hanya tertentu untuk
digunakan maksiat, sekiranya tidak ada indikasi perbuatan lain selain maksiat,”
(Lihat Muhammad Taqi bin Muhammad Syafi’ Al-‘Utsmani, Buhuts wa Qadhaya
Fiqhiyyah Mu’ashirah, halaman 360).
Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami
bahwa yang dimaksud I’anah alal Ma’shiyat adalah perbuatan yang memang berperan
penting dalam terjadinya suatu kemaksiatan dan tidak ada indikasi dilakukan
untuk tujuan lain selain ke arah maksiat. Sedangkan persoalan menjaga gereja
sama sekali tidak tergolong kualifikasi dari keduanya, sebab tujuan menjaga
gereja tak lain merupakan upaya mengamankan stabilitas negara serta menjaga
keharmonisan sosial yang hukumnya adalah Fardhu Kifayah (Tim BM Himasal, Fikih
kebangsaan, halaman 64).
Hukum ini dilandasi oleh ketetapan bahwa
dalam konteks Indonesia yang merupakan negara yang diliputi oleh penduduk dari
berbagai macam suku dan agama, perayaan hari natal adalah momentum yang sangat
rawan dalam hal terjadinya ancaman gangguan kemanan, seperti terancamnya jiwa
yang jelas-jelas dilindungi oleh negara. Sedangkan menjaga stabilitas keamanan
negara termasuk dalam kategori fardlu kifayah. Terlebih ketika perbuatan ini
dilakukan atas permintaan dari pemerintah (apparat penegak hukum), maka anjuran
untuk melaksanakan hal ini akan menjadi semakin kuat.
Selain itu patut dipahami bahwa suatu
tindakan yang sekilas tampak dari luar dianggap sebuah perbuatan yang membantu
terjadinya maksiat, namun sebenarnya tindakan itu di sisi lain ditujukan untuk
sebuah kemaslahatan berupa menghindari suatu mafsadah (kerusakan) maka tindakan
di atas tidak dapat disebut sebagai perbuatan maksiat tapi merupakan perbuatan
yang membantu terhindarnya sebuah kerusakan dan kekacauan.
Penjelasan demikian seperti yang dijelaskan
dalam Qawaidul Ahkam:
وقد
تجوز المعاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان لا من جهة كونه معصية، بل من
جهة كونه وسيلة إلى مصلحة –إلى أن قال - وليس هذا على التحقيق معاونة على الإثم
والعدوان والفسوق والعصيان وإنما هو إعانة على درء المفاسد فكانت المعاونة على
الإثم والعدوان والفسوق والعصيان فيها تبعا لا مقصودا
Artinya, “Terkadang diperbolehkan membantu
terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan bukan dari aspek status
perbuatan tersebut yang merupakan maksiat tapi dari aspek perbuatan tersebut
adalah perantara terciptanya suatu maslahat. Hal ini secara kenyataannya
bukanlah wujud membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan
tapi merupakan upaya untuk terhindar dari suatu mafsadah (kerusakan). Maka
bentuk membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan adalah
hanya sebatas platform (tab’an) bukan suatu tujuan,” (Lihat Syekh Izzuddin bin
Abdissalam, Qawaidul Ahkam, juz I, halaman 109-110).
Berdasarkan referensi serta sudut pandang di
atas, mestinya secara arif kita dapat memahami bahwa menilai tindakan menjaga
gereja hanya dari luarnya saja merupakan hal yang keliru, sebab jika kita
melihat nilai serta tujuan yang terkandung di dalamnya justru semakin mantap
bahwa menjaga gereja adalah bentuk pelaksanaan fardhu kifayah. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar