Senin, 31 Desember 2018

(Ngaji of the Day) Hal yang Perlu Diketahui tentang Penjagaan Gereja (1)


Hal yang Perlu Diketahui tentang Penjagaan Gereja (1)

Menginjak bulan Desember, sudah bisa dipastikan publik akan ramai kembali memperdebatkan persoalan sikap salah satu ormas yang diminta oleh aparat terlibat dalam pengamanan gereja. Persoalan ini bisa disebut sebagai perdebatan tahunan yang tak akan ada habisnya.

Daripada kita ikut tergerus arus dengan mengkritik atau mendukung keputusan ormas ini hanya dengan pandangan pribadi, alangkah baiknya jika kita mengetahui dalil dasar tentang bagaimana sebenarnya hukum menjaga gereja.

Menjaga gereja adalah persoalan yang debatable, sebagian kalangan mengarahkan bahwa menjaga gereja merupakan wujud i’anah alal Ma’siyat (membantu terjadinya suatu kemaksiatan). Sebab menurut mereka, dalam upaya menjaga gereja  terdapat peran mensukseskan terjadinya hal yang tidak dibenarkan menurut ajaran Islam. Benarkah logika demikian?

Menjaga gereja pada saat natal atau perayaan-perayaan hari raya non-Muslim sebenarnya sangat tidak elok jika hanya menilai dari satu sudut pandang saja yaitu membantu terselenggaranya acara non-Muslim. Bahkan penilaian demikian dianggap salah, karena tanpa dijaga oleh ormas atau aparat kepolisian pun, acara ritual non-Muslim ini tetap akan berjalan dengan semestinya sehingga penjagaan bukan merupakan pemicu terjadinya kemaksiatan. Seperti yang dijelaskan dalam Buhuts wa Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah:

أن الإعانة على المعصية حرام مطلقا بنص القرآن, أعني قوله تعالى: ولا تعاونوا على الإثم والعدوان. وقوله تعالى:فلن أكون ظهيرا للمجرمين. ولكن الإعانة حقيقة هي ما قامت المعصية بعين فعل المعين ولا يتحقق إلا بنية الإعانة أو التصريح بها أو تعيّنها في استعمال هذا الشيء بحيث لا يحتمل غير المعصية.

Artinya, “Membantu terjadinya maksiat adalah perbuatan yang haram secara mutlak dengan berlandaskan nash Al-Qur’an, yaitu “Janganlah kalian tolong-menolong terhadap dosa dan permusuhan” dan firman Allah “Aku sekali-kali tiada akan menjaadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”. Tetapi membantu terjadinya Maksiat secara hakiki adalah berupa perbuatan yang membuat maksiat terjadi dengan perantara perbuatan orang yang membantu, dan hal ini tidak akan wujud kecuali dengan adanya niatan membantu terjadinya maksiat atau perbuatannya secara jelas ia sampaikan bahwa termasuk upaya membantu terjadinya maksiat atau perbuatannya hanya tertentu untuk digunakan maksiat, sekiranya tidak ada indikasi perbuatan lain selain maksiat,” (Lihat Muhammad Taqi bin Muhammad Syafi’ Al-‘Utsmani, Buhuts wa Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, halaman 360).

Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud I’anah alal Ma’shiyat adalah perbuatan yang memang berperan penting dalam terjadinya suatu kemaksiatan dan tidak ada indikasi dilakukan untuk tujuan lain selain ke arah maksiat. Sedangkan persoalan menjaga gereja sama sekali tidak tergolong kualifikasi dari keduanya, sebab tujuan menjaga gereja tak lain merupakan upaya mengamankan stabilitas negara serta menjaga keharmonisan sosial yang hukumnya adalah Fardhu Kifayah (Tim BM Himasal, Fikih kebangsaan, halaman 64).

Hukum ini dilandasi oleh ketetapan bahwa dalam konteks Indonesia yang merupakan negara yang diliputi oleh penduduk dari berbagai macam suku dan agama, perayaan hari natal adalah momentum yang sangat rawan dalam hal terjadinya ancaman gangguan kemanan, seperti terancamnya jiwa yang jelas-jelas dilindungi oleh negara. Sedangkan menjaga stabilitas keamanan negara termasuk dalam kategori fardlu kifayah. Terlebih ketika perbuatan ini dilakukan atas permintaan dari pemerintah (apparat penegak hukum), maka anjuran untuk melaksanakan hal ini akan menjadi semakin kuat.  

Selain itu patut dipahami bahwa suatu tindakan yang sekilas tampak dari luar dianggap sebuah perbuatan yang membantu terjadinya maksiat, namun sebenarnya tindakan itu di sisi lain ditujukan untuk sebuah kemaslahatan berupa menghindari suatu mafsadah (kerusakan) maka tindakan di atas tidak dapat disebut sebagai perbuatan maksiat tapi merupakan perbuatan yang membantu terhindarnya sebuah kerusakan dan kekacauan.

Penjelasan demikian seperti yang dijelaskan dalam Qawaidul Ahkam:

وقد تجوز المعاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان لا من جهة كونه معصية، بل من جهة كونه وسيلة إلى مصلحة –إلى أن قال - وليس هذا على التحقيق معاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان وإنما هو إعانة على درء المفاسد فكانت المعاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان فيها تبعا لا مقصودا

Artinya, “Terkadang diperbolehkan membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan bukan dari aspek status perbuatan tersebut yang merupakan maksiat tapi dari aspek perbuatan tersebut adalah perantara terciptanya suatu maslahat. Hal ini secara kenyataannya bukanlah wujud membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan tapi merupakan upaya untuk terhindar dari suatu mafsadah (kerusakan). Maka bentuk membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan adalah hanya sebatas platform (tab’an) bukan suatu tujuan,” (Lihat Syekh Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam, juz I, halaman 109-110).

Berdasarkan referensi serta sudut pandang di atas, mestinya secara arif kita dapat memahami bahwa menilai tindakan menjaga gereja hanya dari luarnya saja merupakan hal yang keliru, sebab jika kita melihat nilai serta tujuan yang terkandung di dalamnya justru semakin mantap bahwa menjaga gereja adalah bentuk pelaksanaan fardhu kifayah. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar