Jumat, 23 Februari 2018

Helmy Faishal Zaini: Beragama di Negara Bineka



Beragama di Negara Bineka
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Jika ada yang raib dari kosakata kita yang dulu sering kita dengar, barangkali jawabannya adalah tepa salira dan tenggang rasa.  Dua kosakata itu senyatanya belakangan ini semakin sulit mewujud dalam perilaku sehari-hari. Padahal, dua kosakata tersebut sangat populer setidaknya bagi anak-anak sekolah pada dua atau tiga dekade lalu. Kini, kita harus mencecap fakta bahwa sebagian anak muda—generasi milenial— jangankan untuk mengimplementasikannya, mendengar dan mengerti arti tepa salira dan tenggang rasa pun rasa-rasanya mereka masih kesulitan.

Apa yang kemudian terjadi? Tentu saja rasa tepa salira, menghormati perbedaan, dan aktif menghargai perbedaan dengan cara tenggang rasa juga mulai luntur di tiap-tiap kita.

Lihatlah kasus pemukulan Kiai Umar Basri di Cicalengka, Bandung Barat, oleh seseorang yang menurut keterangan penghuni pesantren tempat Kiai Umar Basri mengajar disebut sebagai orang asing karena keberadaannya yang tidak begitu familier. Juga penyerangan terhadap Gereja Santa Lidwina Bedog, Gamping, Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan aparat, jemaah, dan juga seorang pastor terluka adalah bukti sahih bahwa ada yang hilang dari apa yang disebut sebagai tenggang rasa di antara kita.

Menjaga Indonesia

Dalam sebuah wawancara soal kontroversinya memerintahkan Banser—Barisan Ansor Serbaguna—untuk menjaga gereja, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan lebih kurang seperti ini, ”Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab, gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia.”

Pernyataan Gus Dur ini seolah menghunjam nurani kita sebagai bangsa. Bahwa yang paling penting harus dirawat adalah akal sehat untuk selalu menghargai perbedaan serta mencintai tanah dan bangsa tempat kita dilahirkan. Ini mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Dalam konteks menjaga dan menghormati aktivitas orang yang beribadah sekaligus rumah ibadah itu sendiri, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Ibnu Abbas mengatakan adalah Rasulullah SAW setiap kali mengutus bala tentaranya, maka beliau selalu berpesan: ”Berangkatlah dengan nama Allah, perangilah orang-orang kufur kepada Allah. Dan, janganlah kalian curang, jangan mencuri harta rampasan, dan jangan membunuh orang-orang yang berada di dalam gereja.” Hadis ini sangat penting dalam konteks saat ini bahwa rumah ibadah agama serta keyakinan apa pun haram hukumnya diserang dan diluluhlantakkan atas alasan dan kepentingan apa pun.

Artinya, jika menyerang bangunannya saja kita dilarang, lebih-lebih jika kita menyerang orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya. Mendudukkan orang yang berada di luar pemahaman dan keyakinan kita sebagai sesama makhluk Tuhan adalah pekerjaan rumah paling besar bagi kita semua.

Alasan menghargai kemanusiaan adalah argumentasi paling paripurna untuk menumbuhkembangkan sikap saling menghargai terhadap mereka yang berbeda dengan pemahaman kita. Sahabat Ali karromallahu
wajhah suatu ketika pernah mengatakan, ”Mereka yang bukan saudaramu dalam seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Kalimat ini memiliki arti yang sangat jelas bahwa persaudaraan antarsesama manusia atau ukhuwwah insaniyyah adalah cita-cita luhur yang harus kita wujudkan bersama dalam kehidupan ini. Menghargai kemanusiaan adalah menghargai yang Maha Menciptakan. Maka, jika memang tujuan kita hidup adalah memayu hayuning bawana—memperindah keindahan dunia—maka kita harus menjaga harmoni dengan, antara lain, yang paling penting tepa salira terhadap sesama dan menjaga kelestarian alam semesta.

Krisis keteladanan dan nilai-nilai tradisi

Patut dan menarik untuk direnungkan adalah pertanyaan mengapa dulu, saat zaman pendidikan belum begitu maju, belum banyak orang mengenyam bangku sekolah, bahkan belum mengenal kehidupan kuliah, rasa tenggang rasa dan toleransi bisa mengejawantah? Sebaliknya, secara diametral hari ini banyak anak sekolahan, banyak anak lulusan ”kuliahan”, tetapi kenyataan justru rasa toleransi dan tenggang rasa kian memudar. Saya mencatat ada dua hal mendasar yang menjadi pemicu.

Pertama, krisis keteladanan. Harus kita akui, meski ini adalah kenyataan pahit, bangsa kita mengalami defisit atau krisis keteladanan. Para pemuka agama belakangan asyik masyuk ke dalam industri sehingga yang terjadi bukanlah fenomena ceramah yang bertujuan memberikan teladan bagi umat, justru yang dilakukan adalah aktivitas yang hampir seluruh muaranya didasarkan asas ketundukan kepada pemilik modal.

Kenyataan ini akhirnya melahirkan ustaz-ustaz karbitan atau meminjam istilah Kiai Said Aqil Siroj (2017)—ustaz kombatan—yang tidak begitu matang, bahkan belum matang sama sekali penguasaan ilmu agamanya, meski begitu tergesa-gesa—demi kepentingan industri—berani tampil di layar kaca. Pada gilirannya, materi dan ceramah yang disampaikan pun kerap kali anti- klimaks serta jauh berbeda dengan ajaran agama yang diajarkan dan diteladankan oleh Rasulullah SAW.

Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan keteladanan yang luhur dari mereka yang isi dakwahnya setiap saat selalu memandang yang berbeda darinya sebagai pihak yang sesat, halal darahnya, kafir, kufur, dan harus diberangus? Mustahil kita berharap kepada mereka. Harapan terbesar justru datang dari mereka, para pemuka agama, yang jauh dari keramaian dan ”industrialisasi agama”, yang saban hari tidak lelah menempa, memberikan teladan, dan mengajarkan akan nilai-nilai agama yang santun, ramah, dan toleran.

Kedua, lunturnya nilai-nilai tradisi. Persoalan ini bisa kita amati, misalnya, dari mulai lunturnya tradisi mendongeng dalam sebuah keluarga. Bagaimanapun, dongeng adalah wahana paling adiluhung untuk mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai luhur kepada generasi bangsa.

Dari dongeng, seorang anak bisa belajar tentang keluhuran, persaudaraan, kesetiakawanan, juga pengkhianatan, kemunafikan dan sederet perangai lainnya. Tradisi-tradisi seperti mendongeng adalah salah satu upaya memberikan makna kehidupan sebagai bekal untuk bertindak.

Tradisi semacam ini juga merupakan upaya membakukan simbolisme tradisional, tempat di mana nilai-nilai disimbolkan dalam sebuah cerita. Ini sangat penting keberadaannya bagi kita. Sebab, terkikisnya nilai-nilai keluhuran bisa jadi salah satu penyebabnya adalah keringnya pembelajaran nilai-nilai luhur yang ditanamkan kepada generasi bangsa ini. []

KOMPAS, 19 Februari 2018
A Helmy Faishal Zaini  ;    Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar