Beragama di Negara Bineka
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Jika ada yang raib dari kosakata kita yang dulu sering kita
dengar, barangkali jawabannya adalah tepa salira dan tenggang rasa. Dua
kosakata itu senyatanya belakangan ini semakin sulit mewujud dalam perilaku
sehari-hari. Padahal, dua kosakata tersebut sangat populer setidaknya bagi
anak-anak sekolah pada dua atau tiga dekade lalu. Kini, kita harus mencecap
fakta bahwa sebagian anak muda—generasi milenial— jangankan untuk
mengimplementasikannya, mendengar dan mengerti arti tepa salira dan tenggang
rasa pun rasa-rasanya mereka masih kesulitan.
Apa yang kemudian terjadi? Tentu saja rasa tepa salira,
menghormati perbedaan, dan aktif menghargai perbedaan dengan cara tenggang rasa
juga mulai luntur di tiap-tiap kita.
Lihatlah kasus pemukulan Kiai Umar Basri di Cicalengka, Bandung
Barat, oleh seseorang yang menurut keterangan penghuni pesantren tempat Kiai
Umar Basri mengajar disebut sebagai orang asing karena keberadaannya yang tidak
begitu familier. Juga penyerangan terhadap Gereja Santa Lidwina Bedog, Gamping,
Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan aparat, jemaah, dan juga seorang pastor
terluka adalah bukti sahih bahwa ada yang hilang dari apa yang disebut sebagai
tenggang rasa di antara kita.
Menjaga Indonesia
Dalam sebuah wawancara soal kontroversinya memerintahkan
Banser—Barisan Ansor Serbaguna—untuk menjaga gereja, Gus Dur (KH Abdurrahman
Wahid) pernah mengatakan lebih kurang seperti ini, ”Kamu niatkan jaga Indonesia
bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab, gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air
kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi
Indonesia.”
Pernyataan Gus Dur ini seolah menghunjam nurani kita sebagai
bangsa. Bahwa yang paling penting harus dirawat adalah akal sehat untuk selalu
menghargai perbedaan serta mencintai tanah dan bangsa tempat kita dilahirkan.
Ini mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalam konteks menjaga dan menghormati aktivitas orang yang
beribadah sekaligus rumah ibadah itu sendiri, ada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Ibnu Abbas mengatakan adalah Rasulullah SAW
setiap kali mengutus bala tentaranya, maka beliau selalu berpesan:
”Berangkatlah dengan nama Allah, perangilah orang-orang kufur kepada Allah.
Dan, janganlah kalian curang, jangan mencuri harta rampasan, dan jangan
membunuh orang-orang yang berada di dalam gereja.” Hadis ini sangat penting
dalam konteks saat ini bahwa rumah ibadah agama serta keyakinan apa pun haram
hukumnya diserang dan diluluhlantakkan atas alasan dan kepentingan apa pun.
Artinya, jika menyerang bangunannya saja kita dilarang,
lebih-lebih jika kita menyerang orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya.
Mendudukkan orang yang berada di luar pemahaman dan keyakinan kita sebagai
sesama makhluk Tuhan adalah pekerjaan rumah paling besar bagi kita semua.
Alasan menghargai kemanusiaan adalah argumentasi paling paripurna
untuk menumbuhkembangkan sikap saling menghargai terhadap mereka yang berbeda
dengan pemahaman kita. Sahabat Ali karromallahu
wajhah suatu ketika pernah mengatakan, ”Mereka yang bukan
saudaramu dalam seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
Kalimat ini memiliki arti yang sangat jelas bahwa persaudaraan
antarsesama manusia atau ukhuwwah insaniyyah adalah cita-cita luhur yang harus
kita wujudkan bersama dalam kehidupan ini. Menghargai kemanusiaan adalah
menghargai yang Maha Menciptakan. Maka, jika memang tujuan kita hidup adalah
memayu hayuning bawana—memperindah keindahan dunia—maka kita harus menjaga
harmoni dengan, antara lain, yang paling penting tepa salira terhadap sesama
dan menjaga kelestarian alam semesta.
Krisis keteladanan dan nilai-nilai tradisi
Patut dan menarik untuk direnungkan adalah pertanyaan mengapa
dulu, saat zaman pendidikan belum begitu maju, belum banyak orang mengenyam
bangku sekolah, bahkan belum mengenal kehidupan kuliah, rasa tenggang rasa dan
toleransi bisa mengejawantah? Sebaliknya, secara diametral hari ini banyak anak
sekolahan, banyak anak lulusan ”kuliahan”, tetapi kenyataan justru rasa
toleransi dan tenggang rasa kian memudar. Saya mencatat ada dua hal mendasar
yang menjadi pemicu.
Pertama, krisis keteladanan. Harus kita akui, meski ini adalah
kenyataan pahit, bangsa kita mengalami defisit atau krisis keteladanan. Para
pemuka agama belakangan asyik masyuk ke dalam industri sehingga yang terjadi
bukanlah fenomena ceramah yang bertujuan memberikan teladan bagi umat, justru
yang dilakukan adalah aktivitas yang hampir seluruh muaranya didasarkan asas
ketundukan kepada pemilik modal.
Kenyataan ini akhirnya melahirkan ustaz-ustaz karbitan atau
meminjam istilah Kiai Said Aqil Siroj (2017)—ustaz kombatan—yang tidak begitu
matang, bahkan belum matang sama sekali penguasaan ilmu agamanya, meski begitu
tergesa-gesa—demi kepentingan industri—berani tampil di layar kaca. Pada
gilirannya, materi dan ceramah yang disampaikan pun kerap kali anti- klimaks
serta jauh berbeda dengan ajaran agama yang diajarkan dan diteladankan oleh
Rasulullah SAW.
Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan keteladanan yang luhur
dari mereka yang isi dakwahnya setiap saat selalu memandang yang berbeda
darinya sebagai pihak yang sesat, halal darahnya, kafir, kufur, dan harus
diberangus? Mustahil kita berharap kepada mereka. Harapan terbesar justru
datang dari mereka, para pemuka agama, yang jauh dari keramaian dan
”industrialisasi agama”, yang saban hari tidak lelah menempa, memberikan
teladan, dan mengajarkan akan nilai-nilai agama yang santun, ramah, dan
toleran.
Kedua, lunturnya nilai-nilai tradisi. Persoalan ini bisa kita
amati, misalnya, dari mulai lunturnya tradisi mendongeng dalam sebuah keluarga.
Bagaimanapun, dongeng adalah wahana paling adiluhung untuk mentransformasikan
pengetahuan dan nilai-nilai luhur kepada generasi bangsa.
Dari dongeng, seorang anak bisa belajar tentang keluhuran,
persaudaraan, kesetiakawanan, juga pengkhianatan, kemunafikan dan sederet
perangai lainnya. Tradisi-tradisi seperti mendongeng adalah salah satu upaya
memberikan makna kehidupan sebagai bekal untuk bertindak.
Tradisi semacam ini juga merupakan upaya membakukan simbolisme
tradisional, tempat di mana nilai-nilai disimbolkan dalam sebuah cerita. Ini
sangat penting keberadaannya bagi kita. Sebab, terkikisnya nilai-nilai
keluhuran bisa jadi salah satu penyebabnya adalah keringnya pembelajaran
nilai-nilai luhur yang ditanamkan kepada generasi bangsa ini. []
KOMPAS, 19 Februari 2018
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar