Jumat, 23 Februari 2018

BamSoet: Penolakan Pencocokan dan Potensi Golput



Penolakan Pencocokan dan Potensi Golput
Oleh: Bambang Soesatyo

FAKTA penolakan kelompok-kelompok warga di sejumlah daerah atas program Pencocokan dan Penelitian Daftar Pemilih hendaknya tidak dianggap remeh. Penolakan itu bentuk lain dari sikap warga mencampakkan hak politik untuk memilih. Agar kecenderungan ini tidak meluas, negara harus lebih intensif dalam upaya menunjukkan dan menyadarkan hak pilih setiap warga negara.

Selain mencampakan hak politik untuk memilih, kasus penolakan pencocokan dan penelitian itu pun merefleksikan kemarahan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan kepada sistem politik, moral politikus, kinerja penyelenggara pemerintahan atau keraguan terhadap mekanisme atau sistem pemilihan umum (pemilu) itu sendiri.

Maka, fakta menolak program pencocokan itu sangat layak untuk dikaitkan dengan kecenderungan naiknya persentase warga negara yang tidak menggunakan hak pilih (nonvoting) atau golput (golongan putih) dari pemilu ke pemilu.

Catatan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, suara golput mencapai 24,89 persen, sedangkan partisipasi pemilih pada Pilpres 2014 hanya 69,58 persen. Sisanya, 30,42 persen, golput. Tahun lalu, ketika dilaksanakan Pilkada DKI, warga Jakarta yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 22,9 persen dari total 7,2 juta pemilih.

Maka, ketika para petugas KPU daerah dari sejumlah wilayah melaporkan adanya kelompok-kelompok warga menolak atau tidak kooperatif terhadap Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) pencocokan, rangkaian fakta kasus itu harus disikapi dengan serius.

Boleh jadi, penolakan pencocokan menjadi indikasi akan membesarnya jumlah golput, baik dalam agenda Pilkada 2018 maupun Pileg dan Pilpres 2019. DPR RI telah menyikapi persoalan ini dengan menugaskan Komisi II DPR untuk berkomunikasi dengan KPU. DPR mengimbau para PPDP terus mengoptimalkan proses pencocokan daftar pemilih.

DPR juga mendorong KPU agar semakin intensif menyosialisasikan kegiatan pencocokan daftar pemilih untuk memberi pemahaman kepada publik tentang pentingnya pendataan itu untuk pelaksanaan Pilkada 2018 sekaligus meminimalkan permasalahan pada hari pencoblosan.

Seperti diketahui, untuk mendukung pelaksanaan Pilkada 2018, KPU sedang menggelar program pencocokan Daftar Pemilih yang dilaksanakan oleh ratusan ribu PPDP.

Program pencocokan yang dimulai sejak 20 Januari 2018 dilaksanakan di 31 provinsi dan 381 kabupaten/kota, mencakup 5.564 kecamatan, 64.534 desa/kelurahan dan 385.791 TPS.

Program pencocokan diperkirakan akan mendatangi tidak kurang dari 1.928.955 rumah. Program pencocokan dilaksanakan selama satu bulan. Tak hanya mendata, PPDP juga melakukan sosialisasi mengenai pelaksanaan Pilkada Juni 2018 .

Pencocokan daftar pemilih Pilkada 2018 berbasis data Kartu Tanda Penduduk elektronik atau E-KTP. Dengan begitu, pencocokan akan optimal hasilnya jika didukung oleh semua pemerintah daerah dengan data mengenai warga yang sudah berhak memilih.

Selain data E-KTP, KPU juga mendata calon pemilih yang baru memiliki Surat Keterangan (Suket). Data kependudukan untuk warga pemilik Suket lazimnya sudah direkam oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) di daerah.

Maka, agar program pencocokan berjalan mulus dan menghadirkan hasil optimal, cukup strategis jika Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan KPU. Kerja sama kedua lembaga itu mendorong terbentuknya sinergi antara Disdukcapil daerah dan KPUD dalam kegiatan pendataan warga yang berhak memilih.

Kerja sama Kemendagri-KPU semakin terlihat urgensinya karena hasil program pencocokan tahun ini tidak hanya akan dimanfaatkan KPU untuk menyusun daftar pemilih bagi kepentingan pelaksanaan Pilkada 2018, tetapi juga sebagai bahan dasar menetapkan daftar pemilih sementara untuk kepentingan Pileg dan Pilpres 2019. Terlebih karena dalam pencocokan saat ini, KPU juga berupaya mendata penduduk potensial pemilih pemilu (DP4).

Data Kemendagri tentang Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) menyebutkan, ada 160.756.143 penduduk yang saat ini memenuhi syarat sebagai calon pemilih. Setelah KPU melakukan sinkronisasi dengan data pemilih tetap dari pemilu terakhir, muncul jumlah 163.346.802 pemilih dalam Pilkada 2018.

Tentu saja pemerintah, DPR dan KPU berharap penolakan atas program pencocokan tidak meluas sehingga persentase golput tidak bertambah. Upaya menaikkan persentase pemilih memang menjadi pekerjaan gampang-gampang susah. Ketika survei menyebutkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden terbilang cukup tinggi, data dari survei itu tidak memberikan dampak signifikan terhadap pilkada. Dalam pilkada, faktornya tentu saja sangat ditentukan oleh penilaian warga setempat terhadap kinerja pemerintah daerah bersangkutan. Maka, dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih pada tingkat Pilkada, kinerja dan moral aparatur pemerintah daerah menjadi faktor paling signifikan. 

Ada faktor lain yang patut diwaspadai bersama, terkait dengan pandangan negatif dari publik terhadap sistem atau mekanisme pemilihan yang gagal mencegah penggunaan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) untuk mendiskreditkan lawan politik. Sedikit atau besar, kegagalan sistem pemilihan mencegah penggunaan isu SARA pada gilirannya akan memperbesar persentase golput. Penggunaan isu SARA dalam pemilu ataupun pilkada tidak hanya akan memperbesar persentase golput, tetapi juga akan menyesatkan warga dalam proses menentukan pilihan. []

KORAN SINDO, 19 Februari 2018
Bambang Soesatyo  ;    Ketua DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar