Penolakan Pencocokan dan Potensi Golput
Oleh: Bambang Soesatyo
FAKTA penolakan kelompok-kelompok warga di sejumlah daerah atas
program Pencocokan dan Penelitian Daftar Pemilih hendaknya tidak dianggap
remeh. Penolakan itu bentuk lain dari sikap warga mencampakkan hak politik
untuk memilih. Agar kecenderungan ini tidak meluas, negara harus lebih intensif
dalam upaya menunjukkan dan menyadarkan hak pilih setiap warga negara.
Selain mencampakan hak politik untuk memilih, kasus penolakan
pencocokan dan penelitian itu pun merefleksikan kemarahan, kekecewaan, dan
ketidakpercayaan kepada sistem politik, moral politikus, kinerja penyelenggara
pemerintahan atau keraguan terhadap mekanisme atau sistem pemilihan umum
(pemilu) itu sendiri.
Maka, fakta menolak program pencocokan itu sangat layak untuk
dikaitkan dengan kecenderungan naiknya persentase warga negara yang tidak
menggunakan hak pilih (nonvoting) atau golput (golongan putih) dari pemilu ke
pemilu.
Catatan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, pada Pemilu
Legislatif (Pileg) 2014, suara golput mencapai 24,89 persen, sedangkan
partisipasi pemilih pada Pilpres 2014 hanya 69,58 persen. Sisanya, 30,42
persen, golput. Tahun lalu, ketika dilaksanakan Pilkada DKI, warga Jakarta yang
tidak menggunakan hak pilih mencapai 22,9 persen dari total 7,2 juta pemilih.
Maka, ketika para petugas KPU daerah dari sejumlah wilayah
melaporkan adanya kelompok-kelompok warga menolak atau tidak kooperatif
terhadap Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) pencocokan, rangkaian fakta
kasus itu harus disikapi dengan serius.
Boleh jadi, penolakan pencocokan menjadi indikasi akan membesarnya
jumlah golput, baik dalam agenda Pilkada 2018 maupun Pileg dan Pilpres 2019.
DPR RI telah menyikapi persoalan ini dengan menugaskan Komisi II DPR untuk
berkomunikasi dengan KPU. DPR mengimbau para PPDP terus mengoptimalkan proses
pencocokan daftar pemilih.
DPR juga mendorong KPU agar semakin intensif menyosialisasikan
kegiatan pencocokan daftar pemilih untuk memberi pemahaman kepada publik
tentang pentingnya pendataan itu untuk pelaksanaan Pilkada 2018 sekaligus
meminimalkan permasalahan pada hari pencoblosan.
Seperti diketahui, untuk mendukung pelaksanaan Pilkada 2018, KPU
sedang menggelar program pencocokan Daftar Pemilih yang dilaksanakan oleh
ratusan ribu PPDP.
Program pencocokan yang dimulai sejak 20 Januari 2018 dilaksanakan
di 31 provinsi dan 381 kabupaten/kota, mencakup 5.564 kecamatan, 64.534
desa/kelurahan dan 385.791 TPS.
Program pencocokan diperkirakan akan mendatangi tidak kurang dari
1.928.955 rumah. Program pencocokan dilaksanakan selama satu bulan. Tak hanya
mendata, PPDP juga melakukan sosialisasi mengenai pelaksanaan Pilkada Juni 2018
.
Pencocokan daftar pemilih Pilkada 2018 berbasis data Kartu Tanda
Penduduk elektronik atau E-KTP. Dengan begitu, pencocokan akan optimal hasilnya
jika didukung oleh semua pemerintah daerah dengan data mengenai warga yang
sudah berhak memilih.
Selain data E-KTP, KPU juga mendata calon pemilih yang baru
memiliki Surat Keterangan (Suket). Data kependudukan untuk warga pemilik Suket
lazimnya sudah direkam oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Disdukcapil) di daerah.
Maka, agar program pencocokan berjalan mulus dan menghadirkan
hasil optimal, cukup strategis jika Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan
KPU. Kerja sama kedua lembaga itu mendorong terbentuknya sinergi antara
Disdukcapil daerah dan KPUD dalam kegiatan pendataan warga yang berhak memilih.
Kerja sama Kemendagri-KPU semakin terlihat urgensinya karena hasil
program pencocokan tahun ini tidak hanya akan dimanfaatkan KPU untuk menyusun
daftar pemilih bagi kepentingan pelaksanaan Pilkada 2018, tetapi juga sebagai
bahan dasar menetapkan daftar pemilih sementara untuk kepentingan Pileg dan
Pilpres 2019. Terlebih karena dalam pencocokan saat ini, KPU juga berupaya
mendata penduduk potensial pemilih pemilu (DP4).
Data Kemendagri tentang Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu
(DP4) menyebutkan, ada 160.756.143 penduduk yang saat ini memenuhi syarat
sebagai calon pemilih. Setelah KPU melakukan sinkronisasi dengan data pemilih
tetap dari pemilu terakhir, muncul jumlah 163.346.802 pemilih dalam Pilkada
2018.
Tentu saja pemerintah, DPR dan KPU berharap penolakan atas program
pencocokan tidak meluas sehingga persentase golput tidak bertambah. Upaya menaikkan
persentase pemilih memang menjadi pekerjaan gampang-gampang susah. Ketika
survei menyebutkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden
terbilang cukup tinggi, data dari survei itu tidak memberikan dampak signifikan
terhadap pilkada. Dalam pilkada, faktornya tentu saja sangat ditentukan oleh
penilaian warga setempat terhadap kinerja pemerintah daerah bersangkutan. Maka,
dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih pada tingkat Pilkada, kinerja dan
moral aparatur pemerintah daerah menjadi faktor paling signifikan.
Ada faktor lain yang patut diwaspadai bersama, terkait dengan
pandangan negatif dari publik terhadap sistem atau mekanisme pemilihan yang
gagal mencegah penggunaan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) untuk
mendiskreditkan lawan politik. Sedikit atau besar, kegagalan sistem pemilihan
mencegah penggunaan isu SARA pada gilirannya akan memperbesar persentase
golput. Penggunaan isu SARA dalam pemilu ataupun pilkada tidak hanya akan
memperbesar persentase golput, tetapi juga akan menyesatkan warga dalam proses
menentukan pilihan. []
KORAN SINDO, 19 Februari 2018
Bambang Soesatyo ; Ketua DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar