Politik
Islam atau Islam Politik?
Oleh:
Nasaruddin Umar
SETIAP
kali Islam bersentuhan dengan politik praktis, di situ ada sesuatu yang sulit
dibedakan, apakah yang lebih dominan di situ ialah politik Islam atau Islam
politik? Islam dan masalah politik memang tidak bisa dipisahkan karena sejak
awal posisi Nabi Muhammad Rasulullah SAW memegang peran ganda. Di samping
sebagai Nabi dan Rasul yang memimpin dan mengarahkan umat juga sebagai pemimpin
pemerintahan dunia Islam, khususnya di Madina saat itu.
Sebagai
pemimpin umat dan sekaligus pemimpin bangsa tentu memerlukan keluarbiasaan.
Bukan hanya harus sukses dalam medan perang, tetapi juga selalu unggul dalam
dunia diplomasi. Dalam dunia diplomasi ia seorang diplomat yang kawakan, disegani
kawan dan musuh. Di medan perang ia juga sering tampil sebagai panglima
angkatan perang dengan sangat mengesankan semua pihak. Ia seolah membawa dunia
diplomasi dan dunia perang yang amat berbeda dengan masyarakat (Arab).
Perjuangan
yang diplomasi Nabi ialah memanggil Suhael berdiskusi dengan Nabi. Setelah itu
Rasulullah menerangkan kepada para sahabatnya, mengapa perjanjian itu diterima.
Pertama, pencoretan kata bismillahirrahmanirrahim dan kata Rasulullah memang
masalah, tetapi lebih besar akibatnya bagi umat Islam jika perjanjian itu
ditolak karena posisi umat Islam masih minoritas.
Butir-butir
perjanjian itu diterima agar kaum kafir Quraisy Mekah tidak ditahan di Madinah
agar tidak ikut membebani ekonomi Madinah yang sudah dibanjiri pengungsi. Sebaliknya,
orang Islam yang dibiarkan ditahan di Mekah pasti akan berusaha menjalankan
politik tertentu untuk memecah-belah kekuatan kaum kafir Quraisy di sana.
Alhasil, semua prediksi Rasulullah benar dan sahabat kemudian mengagumi
kecerdasan Rasulullah SAW.
Demikianlah
politik Islam. Terkadang harus mundur selangkah untuk meraih kemenangan. Dalam
posisi umat Islam masih minoritas tidak ada cara terbaik kecuali kooperatif
dengan keinginan mayoritas, demi menyelamatkan umat. Terkadang juga harus
bersabar dan menanti saat yang tepat untuk memulai sebuah strategi baru untuk
mencapai kesuksesan menyeluruh.
Politik
Islam bukan untuk menoleransi jatuhnya korban hanya untuk mencapai kemenangan
politik secara simbolis. Kemenangan substansial jauh lebih berharga ketimbang
kemenangan simbolik. Untuk apa kemenangan simbolik jika substansi Islam tidak
bisa diimplementasikan. Di sinilah tantangan bangsa kita di masa depan, sebuah
bangsa yang dipadati umat Islam. Perlu banyak belajar dari pengalaman dunia
Islam dalam lintasan sejarah.
Masih
ingat kita dalam sejarah ketika Ali dan Mu’awiya berseteru, masing-masing tidak
ada yang mau mengalah. Ali sudah dilantik menjadi khalifah keempat, tetapi
tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada yang mau mengalah, terjadilah
peperangan yang disebut Perang Shiffin. Mu’awiyah didukung oleh ‘Aisyah, istri
Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh istrinya, Fathimah, putri Nabi. Perang
tidak dapat dielakkan antara keduanya.
Di tengah
perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal sebagai politikus cerdik di pihak
Mu’awiyah, menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. Ia menggunakan simbol
500 Alquran yang diusung di ujung tombak sambil mengajak semua pasukan untuk
kembali kepada penyelesaian secara Alquran. ]
Ali dan
Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ary, seorang ulama yang
disegani dan Amru ibn Al-Ash mewakili pihak Mu’awiyah. Amr ibn ‘Ash tahu
kesalehan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar demi kemuliaan Islam dan
demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali dan Mu’awiyah mengundurkan diri
lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.
Abu Musa
sebagai perunding mewakili pihak Ali ibn Abi Thalib menerima usulan itu. Ia
diminta berpidato lebih awal di depan massa dan pasukan kedua belah pihak. Ia
menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan kini saatnya kita
akan mencari khalifah yang dapat diterima oleh semua pihak.
Tiba
giliran Amr ibn ‘Ash menelikung pernyataan itu dengan mengatakan, oleh karena
sekarang tidak ada lagi khalifah, maka dengan ini kami melegalkan Mu’awiyah
sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya maka peperangan pecah
kembali. Begitulah seterusnya hingga Ali mati terbunuh.
Perang
Shiffin merupakan perang saudara dalam dunia Islam. Peperangan ini sering
disebut fitnah kubra atau fitnah terbesar dalam sejarah umat Islam. Fitnah
inilah kemudian melahirkan aliran teologi seperti syiah, murjiah, khawarij, dan
simbol ahlu sunnah. Perkembangan politik ini banyak berpengaruh dalam pemikiran
politik dunia Islam. []
MEDIA
INDONESIA, 09 Februari 2018
Nasaruddin
Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar