Cerita di Balik
Keberhasilan Gus Dur Mengajak Para Kiai Keliling Eropa
Mengingat
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, masyarakat memahami betul
setiap optimisme dan semangat dari Presiden ke-4 RI ini. Gus Dur tak jarang
mempunyai keinginan besar yang kerap tidak dipikirkan oleh siapapun. Termasuk
ketika dirinya yakin bakal menjadi Presiden RI namun ditanggapi pesimis oleh
orang-orang terdekatnya. Nyatanya, cucu KH Muhammad Hasyim Asy’ari ini mampu
membuktikan diri.
Salah satu keinginan
besar Gus Dur yakni ketika ia berkemauan besar mengajak para kiai keliling
Eropa. Riwayat ini diceritakan oleh sahabat karib Gus Dur, KH Ahmad Mustofa
Bisri atau Gus Mus. Dari sekian kehebatan Gus Dur, kata Gus Mus, hal lain yang
hebat darinya yaitu ketika ia berkeinginan mengajak para kiai keliling Eropa.
(Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
Gus Dur sudah lama
memendam keinginan ini. Namun belum bisa terwujud berhubung selalu saja tidak
atau belum punya uang. Suatu saat kebetulan ada syembara menulis tentang
kependudukan. Hadiahnya wisata ke luar negeri. Fahmi Dja’far Saifuddin yang
mengabari Gus Dur soal ini dan dia mengusulkan agar Gus Dur mengkuti sayembara
tersebut.
“Lah, bagaimana aku
nulis soal yang aku tidak cukup mengerti,” seru Gus Dur kepada sahabatnya itu.
“Kalau begitu aku ajari ya, tapi satu jam saja,” ujar Fahmi menanggapi respon
Gus Dur. Lalu Gus Dur menyetujui tawaran salah seorang putra KH Saifuddin Zuhri
tersebut.
Fahmi segera
menjelaskan seluk-beluk kependudukan sambil membuat oret-oretan atau dalam
bahasa popuernya blukonah (bulat-bulat, kotak-kotak, dan panah-panah). Fahmi
memang ahli soal bikin cara ini secara dia adalah seorang fasilitator
hebat.
Sementara ‘sang guru’
sedang asyik dan serius menjelaskan soal kependudukan sambil oret-oretan di
papan tulis, hal itu justru direspon Gus Dur dengan tidur, seakan tak acuh.
Melihat pemandangan tersebut, Fahmi juga tak acuh dengan terus menerangkan
tanpa henti seperti orang yang sedang bicara sendiri.
Diceritakan Gus Mus,
ketika Fahmi telah usai menjelaskan, segera ia bilang kepada Gus Dur waktu
sudah mencapai satu jam sesuai ketentuan awal. “Sudah satu jam nih Gus,” kata
Fahmi sambil mengarahkan pandangannya kepada Gus Dur yang masih terlihat lelap.
Mendengar suara Fahmi, Gus Dur terbangun dan melihat blukonah di papan tulis.
Lalu menanyakan hal ini dan itu yang sesungguhnya terkesan seolah-olah ingin
melengkapi penjelasan Fahmi.
“Kok yang ini tidak
ada, yang itu belum ada lanjutannya, yang dikotak itu mengapa begitu, kok
panahnya ke situ,” sergah Gus Dur terhadap apa yang dia lihat dari hasil
penjelasan Fahmi di papan tulis. Sang guru kependudukan itu nampak heran dan
kewalahan. Boleh jadi dia menyimpan kagum, kok Gus Dur tibane (justru) ngerti
ya? Lalu, dia mencoba mendiskusikannya secara mendalam dengan Gus Dur yang
tadinya mengaku tidak cukup paham soal kependudukan tapi secepat kilat menjadi
seperti pakar.
Begitu diskusi dan
penjelasan selesai, Gus Dur menulis dengan menggunakan mesin ketik lama dengan
metode dua jari. Setelah selesai menulis, Gus Dur segera mengirimkan ke panitia
perlombaan. Tak disangka, beberapa lama kemudian, artikel kependudukan yang
ditulis Gus Dur dinyatakan menang oleh penitia setelah melalui rangkaian
seleksi ketat karena diikuti oleh sejumlah pakar di bidang kependudukan.
Kata Gus Mus, tentu
saja saat itu Gus Dur sangat bergembira. Bukan sekadar persoalan menjuarai
lomba menulis tersebut, tetapi keinginan dia mengajak beberapa kiai keliling
Eropa dari hadiah lomba itu bakal segera terlaksana. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar