Batasan dan Ketentuan Aurat
dalam Shalat
Salah satu syarat sah shalat adalah menutup
aurat. Seseorang yang hendak melaksanakan shalat, baik fardhu ataupun sunnah,
perlu mengetahui dengan detail batasan tubuh bagian mana saja yang merupakan
aurat yang harus ditutupi.
Sebelum membahas batasan aurat, kita simak
terlebih dahulu penjelasan Syekh Said bin Muhammad Ba’ali al-Hadrami dalam
kitab Busyra al-Karîm (Jeddah: Dar al-Minhâj, 2004), hal. 262, tentang apa itu
aurat:
و
(العورة) لغة: النقص، والشيء المستقبح، وسمي المقدار الآتي بها؛ لقبح ظهوره. وتطلق
شرعاً: على ما يحرم نظره،
“Secara etimologis, aurat berarti kurang,
sesuatu yang menjijikan, dan terkadang sesuatu yang dianggap jijik akan dinamai
dengan “aurat” karena dianggap jelek untuk diperlihatkan. Dalam terminologi
syara’, aurat berarti sesuatu yang haram untuk dilihat.”
Dalam bab shalat, batasan aurat secara syara’
bisa kita lihat penjelasannya pada penuturan Syekh Muhammad bin Qasim dalam
Fathul Qarîb (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 12:
وعورة
الذكر ما بين سرته وركبته، …؛ وعورة الحُرَّة في الصلاة ما سوى وجهها وكفيها ظهرا
وبطنا إلى الكوعين؛
“Aurat lelaki (yang wajib ditutupi) ialah
anggota tubuh antara pusar hingga lutut,.. dan aurat perempuan dalam shalat
ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar
maupun dalam hingga batas pergelangan.”
Dari penuturan di atas bisa dipahami bahwa
ketika shalat, seorang lelaki harus menutupi area tubuh dari pusar hingga
lutut. Demikian ini menurut kepatutan syariat. Namun demikian, ada kepatutan
yang lain yang mesti diperhatikan, yakni kepatutan adab atau kesopanan. Maka
bagi lelaki seyogianya menggunakan pakaian yang memenuhi standar syariat dan
kesopanan. Adapun perempuan, ketika shalat harus menutupi seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan telapak tangan.
Sudut pandang ketertutupan aurat ini ialah
ketika tak terlihat dari sisi atas dan seputarnya (kanan, kiri, depan dan
belakang), bukan dari sisi bawah. Sehingga, bila aurat terlihat dari bawah
seperti terlihat dari bawah saat sujud atau yang lainnya, hal tersebut tidak
menjadi masalah, sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 113:
قوله
لا من الأسفل - أي فلو رؤيت من ذيله كأن كان بعلو والرائي بسفل لم يضر أو رؤيت حال
سجوده فكذلك لا يضر
“(Pernyataan ‘bukan dari bawah’) maksudnya
apabila terlihat dari bawah seperti ketika shalat di tempat tinggi dan terlihat
dari bawah, maka tidak masalah sebagaimana jika terlihat saat sujud.”
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi
shawab.
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar