Aturan Fiqih ketika Kita
Meragukan Kesucian Air
Di dalam fiqih air merupakan sarana utama
dalam melakukan akitivitas thaharah atau bersuci. Pun air menjadi sarana yang
sangat penting dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari seperti minum,
mencuci, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Hanya saja untuk
kebutuhan-kebutuhan itu fiqih mengatur diharuskannya menggunakan air yang jelas
kesuciannya.
Tidak jarang dalam keseharian ketika
menggunakan air—terlebih bagi mereka yang benar-benar memperhatikan hukum
fiqih—ada keragu-raguan di dalam hati perihal apakah air yang akan dipakai
benar-benar dalam keadaan suci atau sudah menjadi najis karena satu dan lain
hal.
Abu Ishak As-Syairozi dalam kitabnya
Al-Muhadzdzab sempat menuliskan permasalahan ini berikut keputusan hukumnya.
Beliau menuturkan empat perilaku orang ketika berhadapan dengan air berkaitan
dengan keyakinannya perihal suci tidaknya air yang akan ia gunakan. Beliau
menyebutkan:
إذا
تيقن طهارة الماء وشك في نجاسته توضأ به لأن الأصل بقاؤه على الطهارةوإن تيقن
نجاسته وشك في طهارته لم يتوضأ به لأن الأصل بقاؤه على النجاسة وإن لم يتيقن
طهارته ولا نجاسته توضأ به لأن الأصل طهارته فإن وجده متغيراً ولم يعلم بأي شيء
تغير توضأ به لأنه يجوز ان يكون تغيره بطول المكث
Artinya: “Bila seseorang meyakini sucinya air
dan meragukan kenajisannya maka ia bisa berwudlu dengan air itu karena hukum
asal air itu adalah tetap pada kesuciannya. Bila ia meyakini najisnya air dan
meragukan kesuciannya maka ia tidak bisa berwudlu dengan air itu karena hukum
asal air itu adalah tetap pada kenajisannya. Sedangkan bila ia tidak meyakini
kesucian dan juga najisnya air maka ia bisa berwudlu dengan air tersebut karena
hukum asal air itu adalah suci. Dan bila ia menemukan air telah berubah
sifatnya namun tidak mengetahui apa yang menyebabkan perubahan tersebut maka ia
bisa berwudlu dengan air itu karena bisa jadi perubahan itu dikarenakan lamanya
air itu berdiam. (lihat Abu Ishak As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, (Beirut: Darul
Fikr, 2005), juz 1, hal. 14).
Apa yang disampaikan As-Syairazi di atas oleh
Imam Nawawi diberi sedikit penjelasan di dalam kitab Al-Majmu’ sehingga memberi
gambaran yang lebih memudahkan untuk dipahami. Di bawah ini penulis sampaikan
penjelasan tersebut dengan contoh kasus sebagai berikut:
Pertama, pada awalnya seseorang mengetahui
dan meyakini bahwa airnya suci karena ia mengambilnya dari air yang berjumlah
banyak yang mencapai atau lebih dari dua qullah, misalnya. Kemudian ia
ragu-ragu air tersebut telah berubah jadi najis atau tidak. Pada kondisi
seperti ini maka air tersebut dihukumi tetap suci dan orang tersebut bisa
menggunakannya untuk berwudlu atau keperluan lain.
Untuk lebih jelasnya kasus pertama ini bisa
digambarkan sebagai berikut:
Seumpama Anda memiliki satu ember air yang
sejak dari awal Anda tahu dan yakin betul bahwa air tersebut dalam keadaan
suci. Beberapa waktu Anda meninggalkan air itu dan saat kembali lagi ternyata
Anda mendapati anak kecil anda telah selesai buang air kecing dengan berdiri
persis di sebelah ember tempat air tersebut. Secara kasat mata memang air
kencingnya terlihat berada di luar dan di samping ember. Namun ada keraguan di
dalam hati Anda kalau-kalau ada sebagian air kecing yang masuk ke dalam ember
karena cipratan atau mungkin saat kencing anak Anda bergerak yang menjadikan
air kencingnya ada sebagian yang mengarah dan masuk ke ember. Pada posisi
demikian Anda masih bisa menggunakan air tersebut untuk berbagai keperluan
termasuk bersuci. Ini disebabkan air tersebut dihukumi tetap suci sebagaimana
keyakinan Anda di awal. Sedangkan kenajisannya hanyalah sebuah keraguan yang
tidak terbuktikan.
Kedua, pada awalnya seseorang mengetahui
bahwa air tersebut adalah najis, kemudian—karena satu dan lain hal—ia meragukan
apakah air itu sudah menjadi suci atau belum. Ini bisa saja terjadi umpamanya
bila sebelumnya air najis tersebut volumenya kurang dari dua qullah dan telah
terkena najis. Lalu ia menuangkan air hingga volumenya bertambah namun ia
ragu-ragu apakah dengan dituangkannya air volume air tersebut kini telah
mencapai dua qullah atau belum. Bila telah mencapai dua qullah maka air yang
awalnya berstatus najis tersebut telah berubah menjadi suci. Namun bila tuangan
air tersebut tidak membuat volumenya menjadi dua qullah maka air tersebut masih
pada status najisnya.
Dalam posisi demikian maka air tersebut masih
dihukumi tetap najis sebagaimana yang diketahui pada awalnya, karena
kemungkinan berubahnya air itu menjadi suci dengan adanya penambahan volume
masih merupakan keragu-raguan dengan tidak adanya kepastian telah mencapai dua
qullah atau tidak.
(Penjelasan tentang air dua qullah bisa
dibaca pada artikel: Empat Macam Air dan Hukumnya untuk Bersuci)
Ketiga, sejak dari awal seseorang tidak
mengetahui suci atau najisnya air di suatu tempat. Kemudian—katakanlah saat
akan menggunakan air itu—ia ragu-ragu apakah air tersebut suci atau najis.
Dalam keadaan ini air tersebut dihukumi suci karena memang pada dasarnya status
air itu adalah suci. Bahwa kemudian air itu bisa menjadi najis bila jelas-jelas
ada barang najis yang mengenainya. Sedangkan dalam kasus ini tidak ada
kepastian ada tidaknya barang najis yang mengenai air tersebut. Dengan demikian
maka air itu dihukumi suci sehingga dapat digunakan untuk bersuci dan keperluan
lainnya.
Keempat, bila seseorang mendapati ada air di
suatu tempat yang telah berubah sifatnya namun ia tidak tahu pasti apa yang
menjadikan perubahan tersebut, apakah karena terkena najis atau lainnya, maka
air tersebut dihukumi sebagai air yang suci karena bisa jadi berubahnya sifat
air tersebut hanya dikarenakan telah lamanya air itu berdiam.
Lebih lanjut Imam Nawawi menuturkan sebuah
hadis dari Rasulullah yang menjadi pijakan para ulama mensikapi
permasalahan-permasalahan di atas. Bahwa ada seorang sahabat yang mengadu
kepada Rasulullah bahwa pada saat shalat ia merasakan seakan ada sesuatu yang
keluar dari duburnya. Kepada sahabat tersebut Rasul memerintahkan untuk tidak
membubarkan shalatnya hingga jelas-jelas ada suara atau bau kentut yang keluar
dari duburnya (lihat Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, (Kairo: Darul
Hadis, 2010), juz 1, hal. 348).
Dengan penjelasan tersebut diharapkan saat
kita mengalami permasalahan sebagaimana digambarkan di atas dapat dengan segera
mengambil sikap secara yakin tanpa ada keraguan lagi. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar