Pesantren
Salafi (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
“Pesantren
Salafi”. Ini adalah pesantren yang berangkat dari paham dan praksis keislaman
tentang “Islam murni” yang secara idealisasi bersumber dari kaum Salaf—generasi
pertama pasca-Nabi Muhammad SAW. Pesantren Salafi tak lain adalah lokus untuk
penanaman paham dan praksis yang menekankan al-ruju’ ila al-Qur’an’ dan “hadis
[sahih]”. Prinsip inilah yang disebut sebagai manhaj, cara dan metodologi
Salafi.
Kemunculan
paham Salafi (bahasa Inggris Salafism atau atau Arab Salafiyah), sekali lagi,
harus dibedakan dengan “Pesantren Salafiyah”. Istilah terakhir ini mengacu pada
pesantren tradisional yang indigenous Indonesia dengan paham Ahlussunah wal
Jamaah, baik “tradisionalis” maupun “modernis”.
Paham dan
praksis Salafi bermula dari diagnosis dan analisis di kalangan ulama semacam
Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) atau Muhammad ibn ‘Abdul Wahab (1115-1206
H/1701-1793 M). Mereka berhujah, kemunduran Islam dan kaum Muslim pada masa
pascakejayaan Baghdad disebabkan kaum Muslimin tidak lagi mengamalkan Islam
murni.
Sebaliknya,
mereka memahami dan mempraktikkan Islam yang sudah diwarnai berbagai macam
aliran dan mazhab yang dipenuhi berbagai praktik keagamaan yang tidak pernah
dilakukan Rasulullah. Semua itu dipandang kaum Salafi sebagai bid’ah dhalalah,
tambahan-tambahan sesat yang bakal membawa pengamalnya ke dalam neraka.
Meski
sama-sama ingin kembali kepada Islam kaum Salaf, Islam murni, para pemikir,
pemimpin, dan aktivis gerakan Salafi berbeda dalam karakter dan pendekatan. Ibn
Taimiyah terkenal sebagai polemikus dan kontroversial, tetapi tidak
menganjurkan pendekatan kekerasan. Sebaliknya, Ibn Abdul Wahab gemar melakukan
kekerasan melalui aliansi dengan kekuasaan politik Raja Najd, Ibn Saud.
Pada masa
modern, pemikir terkenal seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, atau
Rasyid Ridha juga sering disebut termasuk barisan pemikir Salafi. Mereka memang
menganjurkan umat Muslimin agar kembali ke Alquran dan hadis, meninggalkan
bid’ah dan khurafat.
Namun,
al-Afghani, Abduh, dan Ridha tidak terseret ke dalam pemahaman dan praksis
keagamaan dan sosial-budaya literal yang kemudian dominan di kalangan pemikir
Salafi lain. Mereka juga tidak terjerumus ke dalam pendekatan keras, ekstrem
dan radikal.
Salafisme
mereka mengalami domestifikasi ketika mereka juga mengadopsi pemikiran dan
kelembagaan modern Eropa. Karena itulah, mereka lebih dikenal sebagai pioner
modernisme-reformisme daripada Salafisme.
Nusantara
juga tidak terlepas dari pengaruh pemikiran dan gerakan Salafisme, baik yang
hampir sepenuhnya berorientasi dalam keagamaan maupun sosial-budaya dan politik
ke masa kaum Salafi. Kelompok ini bisa disebut “Salafi keras”. Begitu juga
dengan kelompok kedua yang bisa disebut “Salafisme lunak”, yang secara
keagamaan cenderung berorientasi ke masa Salafi tetapi dalam kehidupan
sosial-budaya dan politik ke masa depan.
Pengaruh
pemikiran Salafi corak pertama dapat dilihat dari gerakan Padri di Minangkabau
sejak awal abad ke-19. Berorientasi pada pemurnian Islam dari tarekat, adat,
dan tradisi lokal, kaum Padri melakukan kekerasan yang berujung pada perang
saudara yang kemudian dikenal sebagai Perang Padri (1825-37).
Orang-orang
Padri memerangi dua kelompok masyarakat. Pertama, arus utama Islam Minangkabau
yang mempraktikkan tasawuf dan tarekat yang inklusif dan akomodatif terhadap
budaya lokal. Kedua, kaum adat yang cenderung lebih berorientasi pada adat
daripada Islam.
Perang
Padri berakhir dengan campur tangan kekuatan militer kolonial Belanda. Gerakan
Padri mengandung banyak komonalitas dan afinitas dengan doktrin dan praksis
Wahabiyah yang menemukan momentum sejak perempatan terakhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19. Namun, Gerakan Padri gagal mengubah corak Islam Minangkabau kecuali
mendorong perubahan pola dan posisi Islam dari “adat bersendi syarak, syarak
bersendi adat” menjadi “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.
Sedangkan,
pengaruh Salafisme lunak lebih luas. Sejak akhir abad ke-19, pemikiran
al-Afghani, Abduh, dan Ridha mulai beredar di nusantara. Penyebaran itu
mendorong kebangkitan organisasi massa Islam modernis-reformis seperti
Muhammadiyah atau Persis yang selain bertujuan mengembalikan pemahaman dan
praktik Muslim kepada Alquran dan hadis juga membawa mereka ke alam modern
melalui dakwah damai, pendidikan, dan penyantunan sosial.
Dalam
pertumbuhan Salafisme keras dan Salafisme lunak di atas, di mana letak
pesantren Salafi? Di mana akar-akar pesantren Salafi? []
REPUBLIKA,
08 Februari 2018
Azyumardi
Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar