Pemikiran
KH Muhammad Hasyim Asy'ari
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
CATATAN:
"Resonansi" ini berasal dari makalah yang disampaikan dalam seminar
nasional oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, dengan
tema "Membedah Pemikiran dan Perjuangan KH Muhammad Hasyim Asy’ari",
28 Januari 2018.
KH
Muhammad Hasyim Asy’ari (14 Feb 1871-25 Juli 1947) adalah guru para kiai,
khususnya di Jawa. Karisma dan pengaruhnya tetap langgeng sampai hari ini.
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan (1 Agustus 1868-23 Juli 1923) adalah
sahabatnya yang sama-sama pernah berguru pada Kiai Saleh Darat Semarang dan
pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah. Kiai Hasyim beruntung bisa
mengalami Indonesia merdeka, sementara Kiai Dahlan wafat dalam usia yang
relatif muda.
"Resonansi"
ini akan mencoba membicarakan pemikiran Kiai Hasyim tentang ideologi berbangsa
dan bernegara, sesuatu yang tidak mudah, karena harus dirakit dari berbagai
pernyataan dan sikapnya yang patriotik, baik saat menghadapi penjajah Belanda
maupun ketika berhadapan dengan kekuasaan Jepang di Indonesia. Karya-karya
tulisnya dalam bahasa Arab tidak banyak berbicara tentang ideologi kebangsaan
dan kenegaraan.
Jika
dilihat dari rentang waktu perjalanan hidupnya, Kiai Hasyim muda selama 25
tahun berada dalam rahim abad ke-19, suatu abad yang merupakan puncak
cengkeraman kolonialisme dan imperialisme Eropa, termasuk penjajahan Belanda di
Indonesia. Jika kacamata AJ Toynbee kita pakai, abad itu adalah di antara yang
terberat menimpa sebagian besar dunia Muslim yang hampir seluruhnya jatuh ke
tangan kekuasaan Eropa.
Menurut
Toynbee, Barat sudah sejak akhir abad ke-16 berkat penaklukan lautan telah
memasang tali laso ke leher umat Islam dan tali itu ditarik pelan-pelan agar
umat ini tercekik. (Lihat AJ Toynbee, Civilization
on Trial and the World and the West. Cleveland and New York: The
World Publishing Company, 1963, hlm 248). Tetapi, sebelum tujuan jahat itu
menjadi kenyataan, pada abad ke-19 umat Islam mulai tersentak dari tidur
nyenyaknya. Tali lasso yang berada di lehernya dilepaskan secara berangsur,
sekalipun sistem penjajahan baru berakhir pada pertengahan abad ke-20.
Kelahiran
Kiai Hasyim adalah dalam situasi global yang menghina itu, saat Barat memang
mau menghancurkan umat Islam secara keseluruhan. Dan, itu pulalah yang
dilakukan Belanda di Indonesia. Maka, tidak mengherankan patriotisme Kiai
Hasyim telah tertanam sejak usia muda, dan semangat antipenjajahan ini bertahan
sampai hari tuanya. Belanda dengan berbagai cara berupaya membujuknya agar
semangat antipenjajahan Kiai Hasyim bisa melunak, tetapi malah semakin menguat.
Bagi Kiai
Hasyim, sistem penjajahan wajib dilawan dengan segala kekuatan, sekalipun tidak
mudah karena umat Islam hidup dalam iklim perpecahan yang parah. Kiai Hasyim
amat risau dan resah menghadapi perpecahan umat Islam yang menjadi penyebab
utama dari kelumpuhan dan kehancurannya. Diberitakan pada 1937, seorang utusan
Belanda menemui Kiai Hasyim untuk diberi Bintang Jasa Perak dan Emas, tetapi
rayuan ini tidak mempan. Inilah pernyataan Kiai Hasyim kepada para santrinya:
Sepanjang
keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika dipanggillah
Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberi tahu bahwasanya
pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal
untuk Nabi Muhammad: 1) kedudukan yang tinggi; 2) harta benda yang berlimpah;
dan 3) gadis yang cantik.
Akan
tetapi, Baginda Nabi Muhammad menolak ketiga-tiganya itu dan berkata di hadapan
kakeknya, Abdul Muthalib: “Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku
berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan, aku akan berjuang terus sampai
cahaya Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban.”
Maka,
kamu sekalian anakku, hendaknya dapat meneladani Baginda Nabi Muhammad SAW
dalam menghadapi segala persoalan. (Lihat Fathoni dalam medsos, "Pesan Kiai
Hasyim Asy’ari saat Menolak Bintang Jasa dari Belanda", 30 Juli 2017). []
REPUBLIKA,
13 Februari 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar