Senin, 19 Februari 2018

Buya Syafii: Pemikiran KH Muhammad Hasyim Asy'ari



Pemikiran KH Muhammad Hasyim Asy'ari
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

CATATAN: "Resonansi" ini berasal dari makalah yang disampaikan dalam seminar nasional oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, dengan tema "Membedah Pemikiran dan Perjuangan KH Muhammad Hasyim Asy’ari", 28 Januari 2018.

KH Muhammad Hasyim Asy’ari (14 Feb 1871-25 Juli 1947) adalah guru para kiai, khususnya di Jawa. Karisma dan pengaruhnya tetap langgeng sampai hari ini. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan (1 Agustus 1868-23 Juli 1923) adalah sahabatnya yang sama-sama pernah berguru pada Kiai Saleh Darat Semarang dan pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah. Kiai Hasyim beruntung bisa mengalami Indonesia merdeka, sementara Kiai Dahlan wafat dalam usia yang relatif muda.

"Resonansi" ini akan mencoba membicarakan pemikiran Kiai Hasyim tentang ideologi berbangsa dan bernegara, sesuatu yang tidak mudah, karena harus dirakit dari berbagai pernyataan dan sikapnya yang patriotik, baik saat menghadapi penjajah Belanda maupun ketika berhadapan dengan kekuasaan Jepang di Indonesia. Karya-karya tulisnya dalam bahasa Arab tidak banyak berbicara tentang ideologi kebangsaan dan kenegaraan.

Jika dilihat dari rentang waktu perjalanan hidupnya, Kiai Hasyim muda selama 25 tahun berada dalam rahim abad ke-19, suatu abad yang merupakan puncak cengkeraman kolonialisme dan imperialisme Eropa, termasuk penjajahan Belanda di Indonesia. Jika kacamata AJ Toynbee kita pakai, abad itu adalah di antara yang terberat menimpa sebagian besar dunia Muslim yang hampir seluruhnya jatuh ke tangan kekuasaan Eropa.

Menurut Toynbee, Barat sudah sejak akhir abad ke-16 berkat penaklukan lautan telah memasang tali laso ke leher umat Islam dan tali itu ditarik pelan-pelan agar umat ini tercekik. (Lihat AJ Toynbee, Civilization on Trial and the World and the West. Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1963, hlm 248). Tetapi, sebelum tujuan jahat itu menjadi kenyataan, pada abad ke-19 umat Islam mulai tersentak dari tidur nyenyaknya. Tali lasso yang berada di lehernya dilepaskan secara berangsur, sekalipun sistem penjajahan baru berakhir pada pertengahan abad ke-20.

Kelahiran Kiai Hasyim adalah dalam situasi global yang menghina itu, saat Barat memang mau menghancurkan umat Islam secara keseluruhan. Dan, itu pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Maka, tidak mengherankan patriotisme Kiai Hasyim telah tertanam sejak usia muda, dan semangat antipenjajahan ini bertahan sampai hari tuanya. Belanda dengan berbagai cara berupaya membujuknya agar semangat antipenjajahan Kiai Hasyim bisa melunak, tetapi malah semakin menguat.

Bagi Kiai Hasyim, sistem penjajahan wajib dilawan dengan segala kekuatan, sekalipun tidak mudah karena umat Islam hidup dalam iklim perpecahan yang parah. Kiai Hasyim amat risau dan resah menghadapi perpecahan umat Islam yang menjadi penyebab utama dari kelumpuhan dan kehancurannya. Diberitakan pada 1937, seorang utusan Belanda menemui Kiai Hasyim untuk diberi Bintang Jasa Perak dan Emas, tetapi rayuan ini tidak mempan. Inilah pernyataan Kiai Hasyim kepada para santrinya:

Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberi tahu bahwasanya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad: 1) kedudukan yang tinggi; 2) harta benda yang berlimpah; dan 3) gadis yang cantik.

Akan tetapi, Baginda Nabi Muhammad menolak ketiga-tiganya itu dan berkata di hadapan kakeknya, Abdul Muthalib: “Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan, aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban.”

Maka, kamu sekalian anakku, hendaknya dapat meneladani Baginda Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan. (Lihat Fathoni dalam medsos, "Pesan Kiai Hasyim Asy’ari saat Menolak Bintang Jasa dari Belanda", 30 Juli 2017). []

REPUBLIKA, 13 Februari 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar