Soekarno,
Jokowi, Palestina
Oleh:
Zuhairi Misrawi
”Selama
kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang Palestina, selama
itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.” Ungkapan Soekarno
itu dipopulerkan kembali oleh Presiden Jokowi dalam pembukaan KTT Luar Biasa
OKI tentang Palestina dan Al-Quds al-Sharif, Mei 2016, di Jakarta.
Presiden
Jokowi ingin mengingatkan kembali imajinasi kolektif bangsa ini perihal
pentingnya berperan aktif dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina. Mengapa
Palestina begitu penting bagi kita dan dunia?
Pertama,
Palestina adalah negara berdaulat yang sampai sekarang belum mendapatkan haknya
untuk merdeka. Kedatangan orang-orang Yahudi dari Eropa ke Tanah Palestina
sejak akhir abad ke-18 menjadi mimpi buruk bagi bangsa Palestina. Deklarasi
Balfour pada 1917 mengakui kehadiran Israel dan mulailah perang serta konflik
dengan orang-orang Arab.
Puncaknya
terjadi Mei 1948 ketika negara Israel resmi berdiri. Peristiwa tersebut menjadi
kemenangan besar Israel, tapi sebaliknya menjadi tragedi (nakbah) bagi bangsa
Palestina. Maka, warga Palestina yang ingin bertahan hidup harus eksodus ke
negara-negara terdekat, seperti Jordania, Mesir, Lebanon, serta Eropa dan
Amerika Serikat.
Kedua,
penjajahan terhadap Palestina tidak berhenti ketika Israel berdiri, setelah itu
justru menjadi-jadi. Israel terus memperluas kekuasaannya, sementara
negara-negara Arab tidak berdaya melawan gempuran militer Israel yang didukung
sepenuhnya oleh Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa lain. Wilayah
Palestina pun semakin menyusut.
Ketiga,
kebijakan Trump memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem semakin
menyudutkan posisi Palestina dalam proses perundingan perdamaian. Banyak pihak
memandang perundingan solusi damai dua negara (two states solution) akan buntu
pasca-kebijakan kontroversial Trump.
Dalam
buku terbaru yang menghebohkan di Amerika Serikat, Fire and Fury: Inside The
Trump White House, Michael Wolff mengisahkan intensi politik Donald Trump.
Sejak awal dilantik sebagai presiden, Trump bersikukuh menjadikan Jerusalem ibu
kota Israel. Ada manuver Tepi Barat diserahkan kepada Jordania dan Gaza
dihibahkan ke Mesir. Itu artinya Trump menghendaki tidak ada lagi Palestina.
Tanpa Tepi Barat dan Gaza, maknanya tanpa Palestina.
Dalam
beberapa tahun ke depan, masa depan kemerdekaan Palestina akan menjadi isu
sentral. Negara-negara Liga Arab intens merundingkan langkah kontroversial
Trump dan Israel. Bersamaan dengan itu, akan muncul perlawanan dari dunia yang
terbukti menolak kebijakan Trump, baik dalam sidang Dewan Keamanan
maupun
Majelis Umum PBB.
Soekarno
Dalam
imajinasi kolektif bangsa Indonesia, Palestina mempunyai tempat sangat
terhormat. Palestina termasuk salah satu bangsa yang pertama kali
mendukung kemerdekaan Republik Indonesia bersama negara-negara Liga Arab
lainnya.
September
1944, Mufti Besar Palestina Syaikh Muhammad Amien al-Huseini menyatakan
dukungannya bagi kemerdekaan RI. Ia menyampaikan dukungannya melalui radio
berbahasa Arab di Berlin. Padahal, saat itu Palestina sedang menghadapi agresi
Israel. Langkah Palestina diikuti oleh Mesir yang pada 22 Maret 1946 mengakui
kemerdekaan RI.
Dukungan
dan pengakuan bangsa Palestina terus diingat rakyat Indonesia untuk selalu
melawan segala bentuk penjajahan. Dulu, saat bangsa Palestina belum merdeka,
mereka sudah menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan RI. Karena itu, kita
mesti terus bersama-sama Palestina mewujudkan kemerdekaan.
Apalagi
ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ”Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”
Soekarno
sebagai Proklamator Kemerdekaan RI mengerti betul rasanya dijajah. Oleh sebab
itu, ketika Israel mengucapkan selamat dan mengakui kemerdekaan RI, Soekarno
bersikap dingin. Bung Hatta pun hanya mengucapkan terima kasih dan tidak
tertarik membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang baru merdeka. Sampai sekarang
RI tidak mau mengakui kehadiran Israel di Tanah Palestina sebagai bukti
komitmen pada kedaulatan Palestina dan melawan segala bentuk penjajahan.
Soekarno
terus menentang kebiadaban penjajahan dengan menggagas Konferensi Asia-Afrika
(KAA) pada 1953. Sejak awal, Indonesia dan Pakistan menjadi garda terdepan
menolak keikutsertaan Israel dalam KAA karena Israel merupakan penjajah
terhadap negara-negara Arab.
Dalam
forum KAA tahun 1955 di Bandung, Soekarno keras mengecam segala bentuk
penjajahan, termasuk penjajahan Israel terhadap Palestina. Melalui KAA,
Soekarno membentuk poros anti-imperialisme sehingga negara-negara Asia-Afrika
dapat terbebas dari penjajahan.
Tahun
1958, Indonesia mempunyai kans lolos ke Putaran Final Piala Dunia. Namun,
karena Indonesia menolak bertanding dengan Israel—yang dapat dianggap sebagai
pengakuan terhadap negara Israel—akhirnya Soekarno memilih tidak lolos ke
putaran final.
Pada
perhelatan Asian Games IV tahun 1962, Indonesia juga menolak memberikan visa
kepada kontingen Israel karena politik luar negeri kita menolak mengakui
Israel. Indonesia akhirnya diskors dari keanggotaan Komite Olimpiade
Internasional (IOC) pada 1963.
Perjuangan
Soekarno dalam upaya kemerdekaan Palestina tidak pernah redup. Ia gunakan jalur
diplomasi negara-negara Asia-Afrika dan menggalang dana untuk Palestina.
Indonesia juga menjadikan dua organisasi lain kanal untuk menyuarakan
kemerdekaan Palestina, yaitu Organisasi Indonesia untuk Setiakawanan Rakyat
Asia-Afrika (OISRAA) dan Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika (AAPSO).
Jokowi
Presiden
Jokowi melanjutkan sikap tegas Soekarno terhadap penjajahan Israel di Tanah
Palestina. Ia menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai prioritas. Komitmennya
ditorehkan sejak kampanye Pemilu Presiden 2014. Dalam dirinya ada api
anti-imperialisme ala Soekarno.
Sedari
awal Presiden Jokowi melakukan langkah-langkah besar untuk mendorong
kemerdekaan Palestina dan solusi dua negara. Tahun 2015, Indonesia menjadi tuan
rumah KTT Ke-60 Asia-Afrika yang secara khusus mengingatkan negara-negara
Asia-Afrika bahwa Palestina masih menjadi soal karena terus terjajah.
Palestina
adalah satu-satunya negara anggota Konferensi Asia-Afrika yang belum merdeka.
Karena itu, menurut Presiden Jokowi, perlu perhatian khusus dan serius
mewujudkan kemerdekaannya.
Pada
2016, Presiden Jokowi menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama
Islam (OKI) yang secara khusus mengeluarkan ”Deklarasi Jakarta untuk
Palestina”. Indonesia bersama negara-negara OKI lain sepakat mendukung
perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan dan meminta kepada Israel
mengakhiri pendudukan terhadap wilayah Palestina di Jerusalem Timur, Tepi
Barat, dan Gaza. Lebih-lebih mendesak Israel agar tidak menodai kesucian
Al-Quds al-Sharif.
Ketika
Donald Trump mengeluarkan kebijakan memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv
ke Jerusalem, Presiden Jokowi mengecam keras sikap sepihak Amerika Serikat.
Presiden Jokowi meminta AS mengurungkan kebijakan kontroversial tersebut karena
selain melanggar sejumlah resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, juga
akan mengguncang stabilitas keamanan dunia.
Sekali
lagi, Jokowi menegaskan komitmen Indonesia untuk terus bersama-sama dengan
rakyat Palestina dalam mewujudkan kedaulatan dan kemerdekaannya. Rakyat
Palestina harus merdeka dari segala bentuk penjajahan Israel.
Secara
khusus Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Luar Negeri untuk menyatakan sikap
Indonesia tersebut kepada Duta Besar AS di Jakarta serta melakukan diplomasi
dengan negara-negara Arab dalam rangka menentang kebijakan AS dalam isu
Jerusalem.
Pada
forum KTT Luar Biasa OKI di Turki yang membahas kebijakan Trump terkait
Jerusalem, Presiden Jokowi mengajak negara-negara anggota OKI menolak kebijakan
Trump. Langkah ini penting karena sebagian negara-negara anggota OKI mempunyai
hubungan diplomatis dengan Israel. Konkretnya, Presiden Jokowi meminta
negara-negara tersebut tidak ikut serta memindahkan kedutaan besarnya dari Tel
Aviv ke Jerusalem.
Bahkan,
jika perlu, Presiden Jokowi meminta negara-negara yang sudah mempunyai hubungan
diplomatis dengan Israel meninjau ulang hubungan diplomatisnya sebagai protes
terhadap Trump.
Langkah
tersebut, menurut Presiden Jokowi, perlu dilengkapi langkah bersama untuk
meningkatkan bantuan kemanusiaan, kapasitas, dan kerja sama ekonomi demi
kesejahteraan warga Palestina.
Pada
tingkat global, khususnya forum resmi PBB, baik di Dewan Keamanan maupun
Majelis Umum, Presiden Jokowi meminta agar semua negara bersatu padu mewujudkan
kemerdekaan Palestina.
Beberapa
langkah yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi dalam rangka membantu Palestina
sungguh sangat luar biasa dan karena itu diapresiasi oleh negara-negara anggota
OKI. Sikap Indonesia dianggap lebih implementatif.
Namun,
ke depan, Presiden Jokowi harus terus proaktif dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina:
pertama, Indonesia mesti mendorong rekonsiliasi Hamas dan Fatah serta beberapa
faksi lainnya. Persatuan dalam negeri Palestina prioritas mutlak karena
rekonsiliasi yang diinisiasi Mesir sepertinya buntu dan tidak ada tindak lanjut
yang mencerminkan persatuan Palestina. Indonesia harus menjadi mediator
rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, terutama dalam menyusun platform dasar
negara, konstitusi, bentuk negara, serta penyelenggaraan pemilu yang bebas,
adil, dan jujur.
Kedua,
Indonesia harus berperan aktif menggalang dana untuk Palestina karena AS
mengancam akan membekukan bantuan rutin kepada Palestina. Indonesia bisa
menjadi inisiator menggalang dana bersama negara-negara anggota OKI.
Ketiga,
Indonesia bersama anggota OKI lainnya perlu menindaklanjuti kekalahan telak AS
dalam sidang Dewan Keamanan dan Majelis Umum soal Jerusalem dengan
menjadi mediator dan fasilitator perundingan solusi dua negara. []
KOMPAS,
03 Februari 2018
Zuhairi
Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama; Analis Pemikiran dan
Politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar