Suara Muhammadiyah dan Hari Pers Nasional
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dalam usianya yang ke-103 tahun, majalah SM (Suara Muhammadiyah) pada
Peringatan HPN (Hari Pers Nasional) di Padang, 9 Februari 2018, akan
mendapatkan penghargaan dari Panitia Pusat HPN dalam kategori Kepeloporan
sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.
Sebelumnya, pada 11 Oktober 2016, SM juga telah mendapatkan penghargaan Rekor
Muri dalam kategori Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama. Pada 30
Agustus 2017, SM lagi mendapatkan Penghargaan SPS dalam kategori Salah Satu
Majalah Tertua Di Indonesia.
Sepanjang sumber yang dapat dilacak sampai hari ini, boleh jadi SM
adalah satu-satunya media cetak terlama yang bisa bertahan. Sebagai warisan
budaya literasi dari pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan para sahabatnya, SM
telah bertahan dengan semangat yang semakin tinggi dan energi yang semakin
membesar, tidak saja dalam ranah idealisme yang terus dipertajam, tetapi juga
dalam pengembangan dunia usaha yang kompetitif.
Dan jangan lupa, kesejahteraan staf dan karyawan pasti akan
meningkat sejalan dengan kiprah bisnis yang kreatif dan dinamis itu. Selain
sebagai media cetak dwipekanan, SM juga dapat dibaca dalam versi digital. Moto
terbaru yang diusung adalah “Meneguhkan dan Mencerahkan”.
Di bawah komandan Deni Asy’ari (asli Bukittinggi) sebagai dirut PT
SCM (Syarikat Cahaya Media), sejak tahun-tahun terakhir ini SM telah meluaskan
jaringan usahanya dalam bentuk beberapa anak perusahaan dengan aset lebih dari
Rp 50 miliar (termasuk dana cair di bank). Sebuah kantor baru lima tingkat yang
cukup gagah di Jalan KH Ahmad Dahlan 107, Yogyakarta, akan diresmikan pada
akhir Februari 2018.
Angka ini bagi SM adalah yang terbesar sepanjang sejarahnya. Pada
tahun-tahun mendatang, angka itu akan semakin membengkak. Dalam hitungan kasar
saya, aset SM pada 2020 akan menembus angka Rp 90 miliar.
SM yang semula terbit dalam bahasa Jawa telah melintasi tiga
zaman: penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan era kemerdekaan. Pernah mati
suri sebentar tahun 1917-1918, pernah juga terseok-seok pada masa Jepang,
tetapi dia bangkit kembali dengan segala kekuatan yang tersisa dan suka duka
yang datang silih berganti.
Tahun 1922, SM mulai menggunakan bahasa Melayu, di samping masih
ada rubrik dalam bahasa dan tulisan Jawa. Yang dipantangkan SM sepanjang
sejarahnya: menyerah kalah saat bergumul dengan berbagai kesulitan. Akhir-akhir
ini SM tampak semakin agresif dengan membuka Sudut SM (SM Corner) di berbagai
kota di Indonesia.
Sebagai seorang yang terlibat dalam denyut nadi SM sejak 1965,
posisi korektor dan kemudian anggota redaksi, pernah pula absen beberapa tahun,
saya merasa bahagia dalam usia 83 tahun sekarang ini. Ternyata jika anak-anak
muda Muhammadiyah diberi kepercayaan penuh dalam mengembangkan suatu usaha,
terobosan yang mereka lakukan kadang-kadang di luar dugaan, sesuatu yang tidak
saya miliki sepanjang hidup. Kepada mereka ini semua saya memberikan
penghargaan tinggi dan rasa bangga yang tidak berkesudahan.
Kemudian, pengalaman sebagai korektor majalah yang dilatih oleh
sastrawan almarhum A Bastari Asnin sebagai redaktur SM, masih terngiang dalam
ingatan saya sebuah sepeda lusuh yang saya naiki dari Kotagede ke Percetakan
Negara Yogyakarta, kuliah di IKIP Negeri, terus ke kantor Suara Muhammadiyah saat
itu di Jalan
KH Ahmad Dahlan 103. Alamat ini adalah kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah
ketika itu, SM menompang di situ.
Di hari-hari sulit itu, SM telah sedikit meringankan beban ekonomi
keluarga saya dalam suasana hidup di garis batas kemiskinan. Tidak saja sepeda
yang lusuh, baju pun senasib dengan kendaraan yang catnya sudah mengelupas itu.
Bahkan, istri saya, Nurkhalifah, pernah membalik letak punggung baju saya, yang
lapuk diturunkan ke bagian bawah agar tidak kelihatan terlalu kumal.
Kini SM telah mengantongi penghargaan demi penghargaan. Sebagai
usaha kecil menengah, anak perusahaan SM terus saja menggeliat dan menggeliat
dengan toko batik, toko buku, dan penerbit SM yang semakin bermaya.
Ada beberapa penulis berbakat yang telah bergabung dengan SM.
Terakhir adalah sejarawan Dr Muhammad Yuanda Zara, alumnus Universitas
Amsterdam, Belanda, yang dengan sigap dan sabar telah mulai membongkar
arsip-arsip kuno Muhammadiyah yang memang tidak terawat dengan baik selama
sekian puluh tahun. Arsip SM nomor 1 tidak ditemukan lagi. Arsip nomor 2 tahun
1915 ditemukan almarhum Prof Dr Kuntowijoyo di negeri Belanda abad yang lalu.
SM tentu berterima kasih kepada Panitia Pusat Peringatan HPN
dengan penghargaan yang akan diberikan kepada majalah tertua ini pada Jumat, 9
Februari 2018, sebagaimana telah disinggung di atas. []
REPUBLIKA, 06 February 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar