Aturan Menghadap Kiblat
dalam Shalat
Salah satu syarat sah shalat ialah menghadap kiblat.
Arah kiblat umat Islam seluruh dunia ialah Ka’bah yang berada di Makkah.
Seseorang yang tidak menghadap kiblat saat shalat, dihukumi tidak sah, kecuali
dalam dua kondisi, yakni ketika shalat khauf dan shalat sunnah yang
dilaksanakan di atas kendaraan.
Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Ishak
Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab fi
Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz I, hal. 129:
استقبال
القبلة شرط في صحة الصلاة إلا في حالين في شدة الخوف وفي النافلة في السفر
“Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat
kecuali dalam dua kondisi, yakni ketika kondisi teramat bahaya (perang
berkecamuk) dan shalat sunnah yang dikerjakan saat perjalanan”
Masih menurut Imam Abu Ishak (juz I, hal.
129-130), ada dua kondisi terkait menghadap kiblat yang nanti akan memberikan
konsekuensi hukum yang berbeda, yakni:
فإن
كان بحضرة البيت لزمه التوجه إلى عينه... وإن لم يكن بحضرة البيت نظرت فإن عرف
القبلة صلى إليها وإن أخبره من يقبل خبره عن علم قبل قوله ولا يجتهد …وإن رأى محاريب المسلمين في موضع صلى إليها ولا يجتهد لأن
ذلك بمنزلة الخبر وإن لم يكن شيء من ذلك نظرت فإن كان ممن يعرف الدلائل فإن كان
غائباً عن مكة اجتهد في طلب القبلة لأن له طريقاً إلى معرفتها بالشمس والقمر
والجبال والرياح … فكان له أن يجتهد كالعالم في الحادثة
“Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil
Haram), maka wajib baginya menghadap ‘ain kiblat… Apabila ia tidak berada
didalamnya, maka dilihat dulu, jika ia tahu arah kiblat, maka sholat menghadap
arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar
tersebut dan tidak perlu berijtihad lagi…jika ia melihat sekumpulan muslimin di
suatu tempat shalat menghadap ke sebuah arah, maka ia tidak perlu ijtihad,
karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka
dilihat dulu, jika ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan
kondisinya jauh dari Makkah, ia mesti berijtihad mencari arah kiblat
menggunakan metode bisa dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin
bertiup…maka wajib baginya berijtihad sebagaimana orang alim berijtihad
menyikapi persoalan fiqih terbaru.”
Dari ta’bir di atas bisa kita pahami bahwa
jika seseorang berada di dalam Masjidil Haram, maka yang dihadap olehnya
haruslah “benda” Ka’bah itu sendiri. Jika ia berada di luar Masjidil Haram,
termasuk di Indonesia, maka cukup menghadap arahnya saja. Imam Abu Ishak juga
menekankan bahwa bagi seseorang yang tidak tahu arah kiblat, maka ia haruslah
berijtihad dengan berbagai tawaran cara seperti disebutkan panjang lebar di
atas.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi
shawab. []
(Muhammad Ibnu Sahroji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar