Inilah Para Politisi
Perempuan NU Generasi Awal
Nahdlatul Ulama (NU)
memberi ruang yang cukup luas untuk kalangan perempuan. Ketika ada badan otonom
yang khusus laki-laki, misalnya, pasti juga dibentuk badan otonom yang khusus
perempuan. NU memiliki keyakinan bahwa kaum ibu memiliki peran tak kalah
pentingnya dengan kaum bapak, baik dalam membangun bangsa dan negara, maupun
dalam bidang agama.
Pemahaman NU yang
akomodatif terhadap kaum perempuan tersebut, juga tercermin dalam ranah
politik. Saat NU menjadi partai politik pada 1952 dan terlibat langsung dalam
pemilihan umum 1955, kaum perempuan diberi ruang yang cukup luas untuk
terlibat. Hal ini terbukti dari jumlah anggota DPR hasil Pemilu 1955
tersebut.
Dari tiga partai yang
memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 1955 itu, Partai NU memiliki jumlah
terbesar dalam keikutsertaan perempuan. PNI dan Masyumi yang sama-sama
mengantarkan 57 tokohnya sebagai anggota, hanya empat orang perempuan yang
ikut. Sedangkan NU yang mengantarkan 45 orang di parlemen, lima di antaranya
adalah perempuan.
Kelima perempuan
tersebut, merupakan generasi pertama para politisi perempuan di kalangan NU.
Siapa saja mereka?
1. Asmah Sjachrunie
Asmah Sjachrunie
merupakan politisi kelahiran Rantau, Kalimantan Selatan, 28 Februari 1928.
Sejak muda ia telah aktif dalam kegiatan sosial. Lulusan Kjoin Joseidjo itu,
terlibat dalam dunia pendidikan sejak era Jepang. Mulai dari menjadi guru bantu
di Futsu Tjo Gakko di Rantau I, hingga dipercaya menjadi Wakil Kepala Futsu Tjo
Gakko di Rantau III.
Aktivitas Asmah di
dunia pendidikan terus berlanjut saat Indonesia telah merdeka. Ia tercatat ikut
membantu mengajar di Sekolah Rakyat VI, mulai Rantau III, Batu Kulur Kandangan
sampai Ulin Kandangan. Aktivitas mengajar ini, berlangsung hingga 1954.
Selain berkecimpung
di dunia pendidikan, Asmah juga aktif dalam dunia militer. Di era Jepang, ia
ikut dalam barisan Fujinkai (para militer perempuan). Sedangkan di era
kemerdekaan, tepatnya tahun 1948-1949, ia juga tercatat sebagai anggota
Angkatan Laut Republik Indonesia. Meski saat itu, ALRI belum menjadi kesatuan
yang resmi.
Di NU sendiri, Asmah
terlibat aktif dalam Konsulat NU wilayah Kalimantan Selatan. Ia aktif sejak
tahun 1952 dalam naungan Nahdlatoel Oelama Muslimat (NOM) yang sekarang dikenal
dengan Muslimat NU di Kalimantan Selatan. Aktivitasnya di NU inilah, yang
mengantarkannya menjadi politisi di parlemen. Ia terpilih menjadi anggota
parlemen dari dapil Kalimantan Selatan dengan nomor anggota 239. Tak hanya itu,
ia juga tiga kali berturut-turut menjadi ketua umum Muslimat.
2. Mahmudah Mawardi
Nama Mahmudah Mawardi
erat kaitannya dengan Muslimat NU. Ia terpilih menjadi Ketua Umum Muslimat NU
hasil kongres Ke-IX 1967. Pengabdiannya sendiri dalam gerakan perempuan di
lingkungan NU, telah dirintisnya sejak Muslimat NU belum didirikan. Perempuan
kelahiran Solo, 1912 itu, aktif sejak usianya belum genap 20 tahun.
Pada 1931 ia
mendirikan organisasi wanita lokal di Solo. Organisasi tersebut diberi nama
Nahdlatul Muslimat. Salah satu gerakannya adalah mendirikan lembaga pendidikan.
Mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Nahdlatul Muslimat. Di
sekolah terakhir ini, Mahmudah terdaftar menjadi tenaga pengajar sejak 1953.
Sebelum terlibat di
dunia politik, Mahmudah juga pernah berkarir di dunia birokrasi. Pada 1952 ia
menjadi pegawai Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah. Lalu, dua tahun
kemudian, ia menjadi pegawai Kementerian Agama di Jakarta.
Setelah terpilih
menjadi anggota parlemen dengan nomor anggota 85, Mahmudah terlibat aktif dalam
penyusunan RUU Perkawinan. Ia menjadi juru bicara fraksi NU. Dalam RUU yang
diajukan oleh Nyonya Sumari dari fraksi PNI tersebut, dikritisi habis-habisan
oleh politisi lulusan Madrasah Sunnayah dan Pesantren Keprabon, Solo itu.
NU dan Masyumi
menolak RUU Perkawinan yang dinilai banyak menyimpang dari aturan syara'
tersebut. Sedangkan PNI dan PKI berada di pihak yang mendukung. Setelah melalui
perdebatan sengit di sidang parlemen, akhirnya RUU tersebut dinyatakan
tertolak.
3. Mariam Kanta
Sumpena
Selain Mahmudah
Mawardi, dari Dapil Jawa Tengah juga mengantarkan Mariam Kanta Sumpana sebagai
anggota Fraksi NU pada Pemilu 1955 itu. Meski terpilih dari Jawa Tengah, namun
ia sebenarnya banyak berkiprah di Jawa Barat.
Mariam lahir di
Tasikmalaya di penghujung Agustus, 1927. Ia menempuh pendidikan mulai dari
Sekolah Rakyat Gadis, Perguruan Muchtariah hingga Tamhidul Mu'allimin.
Setelah menyelesaikan
masa belajarnya, Mariam mengajar di Bandung. Pada 1941 - 1945, ia mengajar
agama di Sekolah Rakyat Nomor 39. Kemudian pada 1951 - 1956, ia pindah mengajar
agama Sekolah Rakyat Raden Dewi. Di sela-sela aktivitasnya di sekolah, Mariam
juga menjadi ketua di organisasi wanita. Pada 1942 - 1946, menjadi ketua umum
Gerakan Pemuda Islam Indonesia Puteri di Bandung. Sekaligus juga menjadi ketua
umum Pemudi NU Cabang Bandung.
Kegiatannya dalam
dunia politik, telah dirintis Mariam sejak era NU gabung Masyumi. Pada 1947 -
1951, ia menjabat sekretaris Masyumi daerah Priangan. Di saat yang sama ia juga
menjadi sekretaris Muslimat NU Cabang Bandung. Pada 1951, ia naik menjadi wakil
ketua konsul Muslimat Jawa Barat. Jabatan terakhir tersebut, dijabat hingga ia
terpilih menjadi anggota parlemen dengan Nomor 195.
4. Marjamah Djunaidi
Tak banyak data yang
tercatat tentang sosok Marjamah Djunaidi ini. Anggota parlemen dengan nomor
urut 207 tersebut, lahir di Jember pada 15 September 1922. Pendidikannya ia
rengkuh hanya dari pengajian langgaran di kampung halamannya dan juga di Taman
Siswa.
Sebenarnya, Marjamah
telah terlihat sebagai perempuan aktif sejak muda. Di masa Belanda, ia menjadi
anggota KBI. Selain itu juga masuk dalam organisasi Indonesia Muda. Di NU
sendiri, ia aktif di Muslimat. Saat terpilih dari Dapil Jawa Timur, ia
merupakan mantan Ketua Konsul Muslimat Jawa Timur.
5. Hadinijah Hadi
Ngabdulhadi
Sebenarnya, Hadinijah
Hadi Ngabdulhadi tidak terpilih secara langsung dalam Pemilu 1955. Ia
menggantikan Haji Fatah Jasin yang berhalangan tetap sebagai anggota parlemen.
Ia terpilih dari Dapil Jawa Timur.
Meski terpilih dari
Dapil Jatim, Hadinijah memiliki pengalaman yang lintas daerah. Ia sendiri
terlahir di Purwokerto, 5 Januari 1928. Kemudian menempuh pendidikan di
Muallimat dalam Sekolah Guru Puteri Islam. Kemudian, ia pindah ke Barabai,
Kalimantan Selatan.
Di Barabai tersebut,
Hadinijah aktif mengajar di Sekolah Rakyat Islam Haruyan sejak 1945 hingga
1947. Kemudian pindah mengajar di Muallimat Barabai hingga 1949. Selain sibuk
mengajar, Hadinijah juga terlibat dalam organisasi kewanitaan. Ia pernah
menjabat Ketua Cabang Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) Barabai. Ia juga
pernah menjadi Wakil Ketua Cabang Gappika (Gerakan Pemuda Pemudi Kalimantan)
Barabai.
Pada 1950, Hadinijah
pindah ke Desa Balong, Kecamatan Kandat, Kediri, Jawa Timur. Di tempat baru
ini, ia kembali mengajar di Sekolah Rakyat Islam di kampung barunya tersebut.
Pada saat yang bersamaan ia juga aktif dalam kepengurusan Konsul Muslimat NU
Jawa Timur. Sebenarnya, pada Pemilu 1955, Hadinijah justru menjadi Panitia
Pemilu sebagai Wakil Ketua PPS Kecamatan Kandat, Kediri sebagai utusan dari
Partai NU. Pada saat itu, memang diperbolehkan utusan partai untuk terlibat
dalam kepanitiaan. Namun, justru ia yang menjadi anggota parlemen saat terjadi
pergantiaan. Posisinya sebagai Ketua Konsul Muslimat NU Jatim itulah, yang
menjadi pertimbangannya.
Sebenarnya, selain
kelima anggota DPR di atas, pada masa awal NU menjadi partai politik tersebut,
ada juga beberapa politisi perempuan di kalangan NU yang berkiprah di tingkat
Nasional. Mereka adalah orang-orang yang terpilih sebagai anggota konstituante.
Ada enam politisi perempuan NU yang terpilih.
Keenam anggota
konstituante dari perempuan nahdliyin tersebut antara lain: Ny. H. Saifuddin
Zuhri (wakil Jawa Tengah), Ny. Adiani Kertodirdjo (wakil Jawa Timur), Ny. Ratu
Fatimah (wakil Jawa Barat), Ny. Abidah Mahfudz (wakil Jawa Timur), Ny. Nihayah
Maksum (wakil Jawa Timur), dan Ny. Zamrud Ya'la (wakil Sulawesi Selatan).
Merekalah para
politisi perempuan nahdliyin generasi awal. Kehadirannya tak sekadar melengkapi
struktur, tapi juga memiliki peran yang cukup signifikan. Ia turut mewarnai
kancah politik guna membangun bangsa dan negara. (Ayung Notonegoro)
Sumber:
1. Parlaungan, Hasil
Rakjat Memilih; Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilu Pertama - 1955), CV. Gita,
Jakarta: 1956.
2. ---, Sejarah
Muslimat Nahdlatul Ulama, PP Muslimat NU, Jakarta: 1979.
3. ---, Ensiklopedia
Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh dan Khazanah Pesantren.
[]
Penulis adalah
penggiat sejarah pesantren dan NU di Banyuwangi, aktif di Komunitas Pegon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar