Depati Amir dan
Dakwah Islam Ramah di Tanah Pengasingan Kupang
Kupang merupakan
wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang cukup jauh dari jangkauan sejarah.
Jarang sekali kisah-kisah yang dipublikasikan mengenai kondisi apa saja yang
terjadi di wilayah tersebut. Pada masa Belanda, yang tampak dari tempat
tersebut adalah sebagai tempat pembuangan orang yang dianggapnya sebagai
pemberontak.
Dengan kondisi
perbedaan budaya dan agama, seakan-akan Belanda memang berencana untuk
mengobrak-abrik psikis orang-orang Muslim kriminal yang diasingkan di tempat
tersebut.
Depati Amir
(1805-1885) merupakan tokoh lokal Muslim dari Bangka Belitung yang memiliki
peran besar dalam melakukan resistensi terhadap hegemoni Belanda. Karena
pergerakannya yang dianggap membahayakan eksistensi kolonial, ia diasingkan di
daerah Air Mata, Kupang.
Ketika eksploitasi
dan monopoli timah di wilayah Bangka dilakukan oleh Belanda secara
besar-besaran, ia menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan untuk
menuntut kesejahteraan rakyat Bangka yang direbut oleh penjajah.
Ketika strategi
perlawanan yang ia lakukan akhirnya dicurigai oleh Belanda, ia pun menjadi
buronan yang dianggap menghalang-halangi misi monopolinya. Selama dua tahun ia
berjuang, hingga titik yang paling akhir, kekuatannya pun menurun dan
perjuangannya pun berakhir di suatu hutan di Mendo Timur pada tahun 1851.
Ia ditangkap dan
menjadi tawanan pemerintah Belanda. Dengan penangkapan tersebut, ia pun
dijatuhi hukuman dengan diasingkan bersama keluarganya ke Kampung Air Mata,
Kupang, wilayah yang begitu jauh dari Bangka, yang mana tempat tersebut
merupakan tempat pembuangan para pemberontak dalam penilaian Belanda.
Sejak diasingkan ke
Kupang, terputuslah hubungannya dengan Pulau Bangka, baik dakwah Islamnya,
maupun hubungan dengan kerabat lainnya. Jika di Bangka ia lebih aktif dalam
mengangkat senjata, sejak di Kupang ia lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan
sosial, seperti pembangunan jalan, renovasi rumah warga, sampai perbaikan
jembatan.
Bahkan
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan juga diserahkan kepada penduduknya, sedangkan
pemerintah kolonial yang berada di sana hanya mengawasi. Meskipun begitu,
masyarakat yang ada di sana adalah bekas para pemberontak, sehingga harus terus
diawasi.
Kebiasaan Depati Amir
yang gemar bergaul dengan orang lain, tidaklah menyulitkanya dalam menghadapi
keadaan yang baru ketika diasingkan di Kupang. Apalagi di sana ia berdampingan
dengan orang-orang yang bernasib sama. Bersama dengan warga, ia segera
melibatkan diri dan melakukan pembangunan di kampung pembuangannya mata air.
Ia terus berlibat
dalam penanaman nilai-nilai spiritual di kampung tersebut. Tak heran, meskipun
di kampung kanan kirinya adalah para pemeluk Katolik, di kampung tersebut
justru Islam berkembang dengan baik. Terbangunnya masjid Air Mata menjadi
tempat terlaksananya kegiatan-kegiatan keagamaan. (Dien Madjid, dkk, Masa
Internir Depati Amir di Kupang 1851-1869)
Ia juga terus membina
hubungan baik dengan suku-suku bangsa pribumi yang kebanyakan beragama Katolik,
terus menunjukkan bahwa dirinya adalah Muslim dengan prinsip rahmatan lil
'alamin yang mampu berinteraksi dengan antar suku maupun ras sehingga mampu
mewujudkan dakwah Islam ramah di tanah pengasingan.
Di pengasingannya, ia
juga mendapat kepercayaan pemerintah kolonial dalam melakukan program
vaksinasi massal yang diadakan Belanda untuk masyarakat Kupang. Penunjukan ini
dilakukan karena kewibawaan Depati Amir terhadap masyarakat supaya tergerak
dalam menciptakan kehidupan yang sehat.
Sebagai orang Melayu,
ia juga memperkenalkan kebudayaannya pada masyarakat Air Mata. Budaya tersebut
dengan sendirinya berkembang seiring dengan perkembangan Islam di sana.
Ditambah lagi banyaknya orang Melayu yang menikah dengan penduduk setempat,
sehingga budaya hibrid antar Melayu dan Kupang melalui pernikahan-pernikahan
tersebut menimbulkan bentuk budaya yang endemik.
Hal lain mengenai
hubungan dengan antar suku bahkan antar umat beragama, ia membina hubungan baik
dengan orang-orang non-Muslim. Dalam catatan Belanda dikemukakan bahwa Depati
Amir adalah figur yang memiliki toleransi yang tinggi.
Ia tidak hanya
mementingkan segolongan agama semata, namun juga mengajak secara bersama umat
agama lain, atau suku bangsa lain dalam upaya berjuang melawan Belanda, seperti
kasus sebelumnya ketika ia berjuang bersama para buruh Cina di Bangka melawan
pemerintah kolonial.
Mencermati keadaan
yang kini rentan dengan krisis toleransi antargolongan, maka wacana kesejarahan
yang bertema memperteguh integritas bangsa berbasis keragaman perlu dihadirkan.
Agar masyarakat lebih bijak dalam menghadapi hal-hal yang sebenarnya terus
diulang-ulang dari dulu hingga masa sekarang.
Keteladanan Depati
Amir dalam memposisikan diri sebagai umat Islam yang toleran, perlu dicontoh
agar kita semua terus menjalani kehidupan yang rukun dalam bingkai keberagaman
bangsa yang berbeda-beda. Putra dari tokoh bernama Depati Bahrin ini meninggal
di tanah pengasingan Kupang pada 1885 dalam usia 80 tahun. []
(Nuri Farikhatin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar