Pilkada-Pilpres:
”Faktor Rasa Asyik”
Oleh:
Budiarto Shambazy
Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan Pemilihan Legislatif-Pemilihan Presiden 2019
akan berlangsung aman. Indonesia tidak akan bergejolak alias bebas dari
instabilitas politik, apalagi mengalami krisis seperti tahun 1998.
Stabilitas
politik tetap terjaga karena demokrasi kita telah terkonsolidasi dengan nyaris
sempurna. Lagi pula, sepanjang sejarah kita, proses pemilu, pilpres, dan
pilkada tidak pernah memicu gejolak besar yang mengganggu kehidupan
sehari-hari.
Jadwal
Pilkada 2018 memang padat. Dimulai dengan masa kampanye 15 Februari-24 Juni
2018, kemudian pilkada serentak itu sendiri digelar pada 27 Juni 2018.
Total ada
579 pasangan calon yang berlaga untuk merebut kursi kepala daerah di 171
lokasi, termasuk di 17 provinsi atau separuh dari jumlah provinsi di negeri
ini. Jumlah pemilih pada pilkada serentak ini mencapai sekitar 160 juta jiwa.
Dari masa
kampanye sekitar empat bulan itu, diperkirakan kampanyenya mereda ketika umat
Muslim memulai ibadah puasa pada medio Mei. Kelesuan itu berlangsung lebih
kurang satu setengah bulan mulai dari puasa hari pertama diikuti perayaan Idul
Fitri, dan kemudian kesibukan para pemudik sekitar dua pekan setelah Lebaran.
Jangan
pula dilupakan pada pada 14 Juni-15 Juli 2018 akan berlangsung Piala Dunia
sepak bola di Rusia yang dapat menjadi pengalih dari hebohnya Pilkada 2018.
Setelah
pencoblosan usai, penetapan hasil Pilkada 2018 untuk tingkat kabupaten/kota
akan diumumkan pada 4-6 Juli dan untuk tingkat provinsi 7-9 Juli 2018.
Apa yang
terjadi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan? Jika menilik
pada penyelenggaraan pilkada-pilkada sebelumnya, tak mustahil terjadi amok
massa berskala rendah, seperti pembakaran kantor-kantor KPU daerah (KPUD) di
sejumlah lokasi rawan. Juga pasti terjadi perselisihan di antara pasangan calon
yang akan disengketakan ke Mahkamah Konstitusi.
Setelah
ingar bingar Pilkada 2018 rampung, masih ada proses Pileg-Pilpres 2019.
Bersamaan dengan penetapan hasil Pilkada 2018 itu, KPU sudah harus memulai
tugas mengurus Pileg-Pipres 2019.
Dalam
periode 4-17 Juli 2018, semua partai peserta Pileg 2019 mulai menyiapkan
anggota DPR/DPRD masing-masing. Begitu juga dengan calon-calon ”senator” atau
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Penetapan seluruh anggota DPR/DPRD yang
berkompetisi diumumkan KPU pada 20-23 September 2018.
Pilpres
2019
Jangan
dilupakan pula, sejak Juli 2018 kita mulai dihebohkan oleh persiapan-persiapan
final menjelang penyelenggaraan Asian Games di Jakarta dan Palembang pada 18
Agustus-2 September 2018.
Tri
Sukses Asian Games mencakup sukses penyelenggaraan (fasilitas olahraga dan
infrastruktur), sukses prestasi (jumlah medali emas dan peringkat peserta),
serta sukses ekonomi (pariwisata, merchandising, dan penjualan tiket). Tercapai
atau tidaknya Tri Sukses ini, akan cukup berpengaruh terhadap popularitas
Presiden Jokowi.
Nah,
sekarang mari kita tinjau jadwal Pilpres 2019. Sebagai petahana, Presiden
Jokowi sudah harus mendaftar sebagai capres pada 4-10 Agustus 2018. Bukan saja
dirinya, Jokowi juga sudah harus mendaftarkan cawapres pilihan dia pada
hari-hari tersebut. Demikian pula tentunya, capres-cawapres lainnya.
Pada 13
Oktober 2018, kampanya Pilpres 2019 sudah dimulai sampai 13 April 2019. Total
ada waktu sekitar setengah tahun untuk kampanye capres-cawapres.
Jeda
politik dengan demikian hanya terjadi pada periode Juli-September 2018. Pada
Oktober 2018, sudah dimulai pula kampanye Pilpres 2019 sampai April 2019.
Bangsa ini jelas akan menjalani banyak agenda nasional tahun 2018-2019. Meski,
sekali lagi, seluruh rangkaian Pilkada-Pileg-Pilpres 2018-2019 berlangsung
aman.
Tahun-tahun
demokrasi
Saya
kurang setuju dengan istilah yang sering didengang-dengungkan, yakni ”tahun
politik”. Istilah ini menimbulkan kesan agak muram, lebih kurang mencerminkan
keterbelahan politik kita yang marak sekali ditampakkan di media sosial melalui
fenomena hoaks beberapa tahun terakhir ini.
Selain
itu, suasana politik kita juga agak terganggu akibat manipulasi politik
identitas terutama yang menyinggung suku, agama, dan ras.
Istilah
yang lebih tepat adalah ”tahun-tahun demokrasi” pada dua tahun berturut-turut
2018 dan 2019. Apalagi, agenda politik nasional kita boleh padat, tapi
diselingi pula oleh kesempatan beribadah sepanjang Ramadhan dan menikmati
sajian olahraga Piala Dunia dan Asian Games 2018.
Hidup pun
serasa lengkap. Dalam bahasa Inggris, ”What’s more could you ask for?” Sebagai
warga negara dalam sebuah demokrasi yang sehat, kita dapat menikmati seluruh
sajian dengan rasa optimisme yang tinggi.
Tahun-tahun
demokrasi bermakna bahwa kita memiliki hak memilih kepala daerah, anggota
legislatif, dan presiden-wakil presiden. Kita memilih mereka bukan untuk
mengepalai suku kita atau berdasarkan kesamaan agama kita dengan mereka. Kita
memilih mereka karena kemampuan mereka. Di lain pihak, kita tidak memilih
calon-calon yang lain karena kita menganggap mereka kurang bisa memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan kita.
Betul ada
teori yang mengkhawatirkan menipulasi politik identitas akan di copy paste di
daerah-daerah tertentu pada Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019. Kekhawatiran ini
sepertinya agak berlebihan.
Alasannya,
kompetisi Pilkada 2018 umumnya tidak terjadi antara dua paslon (bipolaritas)
yang konfrontatif dan kondusif untuk manipulasi politik identitas. Namun,
antara lebih dari dua kontestan (multipolaritas) yang kurang konfrontatif dan
kondusif untuk memanipulasi politik identitas.
Dan,
semangat menahan diri agar tak terjebak manipulasi politik identitas sudah
diingatkan sebaik-baiknya oleh jajaran penyelenggara, pengamanan, dan pengawas
pemilihan di tingkat lokal ataupun nasional.
Dalam
dunia ekonomi dikenal istilah ”faktor rasa asyik” (the feel-good factor) yang
merujuk pada daya beli masyarakat yang mencukupi. Rasa asyik serupa juga sedang
kita rasakan dalam menghadapi tahun-tahun demokrasi 2018-2019. Siapa bilang
demokrasi tidak mengasyikkan? []
KOMPAS,
29 Januari 2018
Budiarto
Shambazy ; Wartawan Kompas 1982-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar