Perdebatan soal Hukum
Transfusi Darah di Zaman Penjajahan
Lazimnya semua
peperangan yang terjadi di beberapa belahan bumi sepanjang sejarah, tim medis
mempunyai peran sentral dalam memberikan pertolongan kepada para prajurit yang
masih bisa diselamatkan. Di antara layanan medis yang sangat penting di medan
tempur ialah proses transfusi darah (bloodtransfoesie).
Para pelaku
peperangan sebagian besar mengalami pendarahan hebat disebabkan terkena tembak
maupun serangan yang lain. Hal ini menjadi perhatian para ulama Indonesia yang
tergabung di MIAI (al-Majlisul Islami A’la Indonesia) untuk membahas bagaimana
hukum transfusi darah untuk kepentingan perang dan penjajahan.
Organisasi yang
merupakan wadah semua kelompok umat Islam Indonesia ini didirikan oleh KH Abdul
Wahab Chasbullah dan KH Ahmad Dahlan (tokoh NU yang pernah menjadi wakil
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dalam kepengurusan NU 1926) pada 12-15 Rajab 1356
H (18-21 September 1937) di Pondok Kebondalem Surabaya, Jawa Timur. Kedua tokoh
pendiri NU itu dibantu oleh KH Mas Mansur Pimpinan Muhammadiyah serta W.
Wondoamiseno dari Syarikat Islam (SI).
Para tokoh NU
berperan penting dalam kemajuan badan federasi perkumpulan Islam itu. Agenda
cukup sentral dalam organisasi tersebut di antaranya Kongres Al-Islam. Namun,
para tokoh NU mengubah istilah tersebut dengan Kongres Muslimin Indonesia (KMI)
untuk menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia kuat meski terbagi menjadi
beberapa kelompok.
Singkatnya, puncak
perjuangan MIAI terlihat pada KMI ketiga pada 5-8 Juli 1941 di Solo, Jawa
Tengah. Kongres ini didahului sidang pleno Dewan MIAI untuk membahas persoalan
penting dan mendesak di antaranya, 1) perubahan tata negara; 2) soal milisi;
dan Bloodtransfoesie (pemindahan/transfusi darah). (Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, 2010)
Tentang perubahan
tata negara, sidang Dewan MIAI memberikan kesempatan kepada dua pembicara
utama, yaitu A.Ghoffar Ismail (Wakil PB PII) dan Abikoesno Tjokrosoejoso
(PSII). Untuk masalah milisi-diestplicht, sidang mempersilakan kepada Wakil
HBNO/Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), KH Ahmad
Ilyas untuk membuat pertimbangan (konsiderannya). Sedangkan untuk persoalan
bloodtransfoesie terjadi perbedaan pendapat yang cukup sengit antara Persatuan
Islam (Persis), PB PII, dan HBNO.
Dalam perdebatana
tersebut, Persis membolehkan bloodtransfoesie karena hal itu (sama halnya
dengan) ikhtiar menolong atau mengobati orang sakit, terutama yang kekurangan
darah dengan cara memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang
sakit. Namun, atas persoalan bloodtransfoesie ini, HBNO dan PB PII memberikan
dua alternatif.
Pertama, pemindahan
darah ke lain tubuh yang kekurangan darah guna pengobatan, maka hukumnya
seperti pemberian. Kedua, jika karena pemberian itu akan terjadi suatu perkara
terlarang, mislanya untuk peperangan yang tidak diridhoi Allah SWT, maka
hukumnya terlarang atau tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, hukumnya haram.
Atas argumen syar’i
dari HBNO, Kongres Muslimin Indonesia ketiga itu berakhir dengan keputusan
bulat, yakni melarang atau mengharamkan bloodtransfoesie untuk kepentingan
membantu peperangan Belanda, dan mengharamkan milisi-diestplicht karena
perbuatan tersebut berarti membantu penjajah (kolonial). Sedangkan mengenai
perubahan tata negara, menuntut Indonesia berparlemen atas dasar pijakan
nilai-nilai agama. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar