Langkah KH Hasyim
Asy’ari Hadapi Propaganda Belanda
Salah satu sorotan
menarik penjajah Belanda yaitu ketika umat Islam dari berbagai jalan pemikiran
dan madzhab membentuk perkumpulan atau organisasi. Memang, di satu sisi Belanda
juga mempunyai rasa khawatir dengan perkumpulan-perkumpulan tersebut. Karena
menyebabkan mereka semakin kuat dalam hal doktrin dan konsolidasi.
Kekhawatiran
munculnya perlawanan dari kaum pribumi melalui berbagai organisasi seperti NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persis, Al-Irsyad, dan organisasi lainnya juga
menjadi alasan Belanda mencari celah untuk melawan mereka. Melawan secara
frontal tentu tidak akan dilakukan Belanda karena bisa memunculkan perlawanan
yang lebih dahsyat dari rakyat pribumi.
Belanda melihat celah
di mana setiap organisasi mempunyai pandangan-pandangan tersendiri perihal paham
keagamaan dan madzhab. Mereka dilihat Belanda juga sering berbeda pendapat
bahkan saling ‘serang’ argumen sehingga tak jarang menimbulkan friksi atau
gesekan antarorganisasi.
Untuk menjalankan
misinya itu, Belanda kerap mencampuri urusan agama dan melakukan politik adu
domba. Namun, strategi adu domba belum juga membuahkan hasil yang diharapkan
sehingga langkah lain akhirnya mereka lakukan yaitu menyebarkan tulisan-tulisan
atau kabar yang cenderung menghina Islam.
Perdebatan dan
pertengkaran di antara umat Islam dari berbagai perkumpulan organisasi lewat
politik adu domba pun semakin memberikan sinyal bahwa Islam harus bersatu
melawan penjajah Belanda.
Nahdlatul Ulama (NU)
dalam forum Muktamar tahun 1936 di Banjarmasin menegaskan pentingnya persatuan
umat Islam untuk melawan berbagai propaganda Belanda. Rais Akbar NU KH Muhammad
Hasyim Asy’ari (1871-1947) memanfaatkan forum tertinggi di NU tersebut untuk
menggaungkan tali kuat persatuan di kepada para peserta Muktamar dan umat Islam
pada umumnya, baik dari golongan ulama maupun masyarakat umum.
Dalam amanatnya, Kiai
Hasyim Asy’ari menyerukan terjalinnya persatuan umat Islam dan membunag jauh
pertengkaran soal khilafiyah guna menghadapi siapa saja yang sengaja memusuhi
Islam, terutama kaum penjajah. Kiai Hasyim (Choirul Anam, 2010) mengatakan:
Wahai sekalian ulama
yang berta’assub kepada sebagian madzhab atau qaul ulama, tinggalkanlah
ta’assub kalian terhadap perkara-perkara furu’ (cabang).
Kiai Hasyim
berpandangan, sebesar apapun kepentingan suatu kelompok, jika hanya memunculkan
perpecahan di antara umat Islam Indonesia harus segera diakhiri untuk prospek
perjuangan yang lebih besar mengingat bangsa Indonesia masih terjajah oleh
Belanda kala itu.
Perhatian sangat
besar dari Kiai Hasyim Asy’ari untuk keberlangsungan umat Islam Indonesia
menjadi perhatian bersama dari para ulama ketika itu. Kiai Hasyim kembali
menyerukan:
Jangan kalian jadikan
perdebatan itu menjadi sebab perpecahan, pertengkaran, dan bermusuh-musuhan.
Ataukah kita teruskan perpecahan, saling menghina, dan menjatuhkan; saling
mendengki kembali kepada kesesatan lama? Padahal agama kita satu: Islam,
madzhab kita satu: Syafi’i, Daerah kita juga satu: Indonesia (ketika itu
sebutannya Jawa). Dan kita semua juga serumpun Ahlussunnah wal Jamaah. Demi
Allah, hal semacam itu merupakan musibah dan kerugian yang amat besar.
Untuk memperkuat
persatuan tersebut, langkah tindak lanjut dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari ketika
NU menyelenggarakan Muktamar ke-12 tahun 1937 di Malang, Jawa Timur. Kiai
Hasyim mengajak golongan Islam manapun untuk ikut menghadiri Muktamar NU
tersebut. Ajakan itu tertulis dalam sebuah undangan yang berbunyi:
“.....kemarilah
tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kami, marilah kita
bermusyawaralah tentang apa-apa yang terjadi baiknya agama dan umat, baikpun
urusan agamanya dan dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan
kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan...”
Seruan dan ajakan
Kiai Hasyim Asy’ari selaku pemimpin tertinggi NU itu cukup mengetuk kesadaran
seluruh pemimpin perkumpulan Islam. Jika sejak 1927-1936 tidak lagi terdengar
kegiatan Kongres Al-Islam (setelah Muktamar Dunia Islam di Mekkah tahun 1926
diubah namanya menjadi MAIHS, Muktamar ‘Alam Islami Far’ul Hidis Syarqiah),
yang biasanya diprakarsai Syarikat Islam dan Muhammadiyah, maka sejak ada
seruan Kiai Hasyim itulah usaha untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa persatuan
dan melepaskan simpul-simpul pertengkaran, mulai tampak dirintis kembali atas
kepeloporan Kiai Hasyim.
Upaya Kiai Hasyim
tidak hanya berhasil menyatukan seluruh komponen umat Islam, tetapi juga mampu
mengikis usaha Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia. Karena walau
bagaimana pun, seluruh elemen masyarakat masih menjadikan ulama dan kiai
sebagai tokoh panutan dan subjek utama untuk dimintai pandangan dan
pemikirannya. Hal ini menjadikan titik utama kenapa Belanda berupaya
menggemboskan peran dan posisi ulama dengan menjadikan mereka terus bertengkar.
[]
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar