Pesantren Salafi (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Agaknya cukup jelas, "pesantren Salafi" memiliki
akar-akarnya dalam paham dan praksis Salafisme—idealisasi tentang Islam murni
pada masa kaum Salaf, utamanya sahabat Nabi. Seperti dipegangi kaum Muslim
lain, kaum Salafi juga percaya lembaga pendidikan merupakan lokus strategis
untuk penanaman paham dan praksis keislaman mereka.
Secara historis, pesantren berpaham Salafi tidak memiliki
presedennya di masa silam kaum Muslimin Indonesia. Sejak masa awal penyebaran
Islam di Indonesia pada separuh abad ke-13 dan masa seterusnya sampai sekarang,
pesantren yang tumbuh dan berkembang di Nusantara lazimnya adalah pesantren
Salafiyah.
Sekali lagi, pesantren Salafiyah ("tradisional") yang
dalam dinamika perkembangannya juga memunculkan pesantren Khalafiyah
("modern") berdasar pada paham dan praksis Ahlussunah waljamaah.
Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah memegangi ortodoksi Islam Indonesia yang
terkonsolidasi sejak abad 17, mencakup tiga aspek: kalam Asy’ariyah/Jabariyah,
fikih Mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.
Pesantren Salafiyah jelas memiliki peran penting dalam konsolidasi
lebih lanjut ortodoksi Islam Indonesia. Hal ini tak lain karena pesantren
Salafiyah memainkan tiga peran pokok: transmisi dan transfer ilmu beserta
kecakapan praksis Islam, pemeliharaan tradisi Islam Indonesia, dan reproduksi
kader dan calon ulama.
Zaman boleh berubah, tetapi pesantren Salafiyah dan pesantren
Khalafiyah yang muncul belakangan bukan hanya bertahan, melainkan juga berhasil
membuat momentum baru. Pembangunan atau modernisasi Indonesia sejak awal
1970-an pada gilirannya memberikan elan baru bagi pesantren indigenous Indonesia.
Namun, modernisasi juga mendorong munculnya perkembangan lain,
misalnya, tumbuhnya semangat baru tentang Islam. Persepsi tentang
"kebangkitan Islam" pada 1980 memberi lahan bagi paham dan praksis
gerakan Islam transnasional, seperti Tarbiyah. Tetapi, karena pemerintah
Presiden Soeharto sangat kuat dan represif, paham dan praksis gerakan
transnasional yang menekankan aktivisme Islam murni tidak muncul ke permukaan.
Meski sudah ada mulai penyebaran bibit Salafisme sejak pertengahan
1990-an, adalah masa liberalisasi dan demokratisasi pasca-Soeharto yang memberi
banyak ruang bagi paham dan gerakan transnasional ini mengekspresikan diri.
Konflik komunal antara umat Muslim dan Kristen di Ambon 1999-2001 yang
mengorbitkan Lasykar Jihad di bawah pimpinan Ja’far Umar Thalib sekaligus
menciptakan momentum bagi Salafisme.
Tidak diketahui pasti berapa jumlah pesantren salafi pada awal
dasawarsa awal 2000. International Crisis Group (ICG) dalam laporan 2004
melaporkan adanya 29 pesantren Salafi. Kajian-kajian akademis selanjutnya,
seperti Nurhaedi Hasan (2005), Din Wahid (2014), Jajang Jahroni (2015), dan
Sunarwoto (2015) tidak memberi jumlah pesantren Salafi.
Berbagai literatur di dunia maya menyebut tentang pesantren
Salafi-Wahabi yang harus diwaspadai kaum Muslim dan orang tua santri. Jumlahnya
bervariasi antara 30-an sampai 50-an yang kebanyakan berlokasi, terutama di
Pulau Jawa. Penggunaan istilah "pesantren Salafi-Wahabi" dalam
literatur semacam ini secara eksplisit menunjukkan pembedaan dengan ‘pesantren
Salafiyah’ (‘tradisional’).
Sementara itu, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Kementerian Agama juga tidak memiliki data pasti jumlah pesantren Salafi.
Bahkan, dalam literatur yang beredar di sekitar direktorat ini, masih terjadi
kerancuan dan campur aduk antara ‘pesantren Salafi’ dan ‘pesantren Salafiyah’.
Tidak klasifikasi yang jelas dan tegas tentang kedua corak pesantren ini.
Di sini, penelitian yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017) untuk menyusun
pangkalan data pesantren Salafi menjadi sangat penting. Temuan data penelitian
PPIM ini amat membantu dalam memahami tidak hanya jumlahnya, tetapi juga
berbagai aspek lain pesantren Salafi.
Penelitian di 25 kota/kabupaten dalam 13 provinsi (Aceh, Riau,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku) menemukan 11 lembaga
pendidikan Salafi. Mereka terdiri atas 95 pesantren, 11 SD, tiga perguruan
tinggi, dan dua lembaga kursus. Wilayah Bogor memiliki lembaga pendidikan
Salafi terbanyak (empat pesantren dan tiga sekolah).
Pesantren Salafi berorientasi transnasional. Seperti ditemukan
penelitian PPIM, 35 (41 persen) pesantren Salafi berafiliasi ke Yaman; dan 56
(59 persen) lainnya berafiliasi ke Arab Saudi. []
REPUBLIKA, 15 February 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan
Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar