Senin, 12 Februari 2018

Gus Sholah: Tantangan NU di Masa Depan



Tantangan NU di Masa Depan
Oleh: Salahuddin Wahid

Nahdlatul Ulama telah mengalami perjalanan panjang sebagai organisasi: mendekati 100 tahun! Dalam perjalanan panjang itu, NU telah memberi sumbangsih besar bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara.

Sebagai organisasi tentu NU mengalami dinamika. Dari organisasi yang dilihat hanya sebelah mata dan dianggap ketinggalan zaman menjadi organisasi yang dianggap bagus tanpa cela.

 Dulu cendekiawan dalam dan luar negeri menganggap negatif NU dan pesantren. Menurut Fred R von der Mehden, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Rice (1928-2017), pengaruh NU dalam pergerakan nasional lebih bersifat negatif daripada bersifat positif. Kini banyak orang hanya menilai kebaikan NU tanpa melihat hal-hal negatifnya.

 Masyarakat memahami keberadaan NU sebagai organisasi (jam’iyyah) dan komunitas (jama’ah). Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dan warga NU sendiri melihat bahwa organisasi NU dan komunitas tidak selalu sejalan. Ada kesenjangan antara NU struktural dan NU kultural.

NU sebagai ajaran

Saya memaknai NU dalam beberapa aspek. NU adalah ajaran keagamaan Islam, yang sebenarnya sudah berusia ratusan tahun, yang disebut sebagai ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) an nahdliyyah. Secara sederhana, ajaran itu meliputi beberapa aspek. Dalam fikih mengikuti salah satu dari empat Imam: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Dalam akidah mengikuti ajaran Imam Asy’ari atau Imam Maturidi. Dalam tasawuf mengikuti ajaran Imam Syafi’i  atau Imam Junaidi al Baghdadi. Islam yang dianut jama’ah NU adalah Islam yang wasathiyah (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak lurus). Islam yang mampu berdialog dengan budaya setempat dan lentur, tidak merasa benar sendiri.

 Menurut saya, ajaran aswaja an nahdliyyah itu juga meliputi ajaran dalam siyasah (politik). Ajaran NU menanamkan kecintaan terhadap Tanah Air. Pesan hubbul wathon minal iman selalu disampaikan para kiai NU.

Pesantren Tebuireng mengajarkan lagu ”Indonesia Raya” sejak 1938. Tokoh NU menginginkan negara berdasarkan  Islam pada 1945, tetapi tidak berhasil. Pada 1956-1959, dalam Konstituante, Partai NU bersama partai- partai Islam lain kembali memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Upaya ini juga tak berhasil. Ketika Konstituante menghadapi jalan buntu dan ada usul supaya Konstituante mengambil UUD 1945 sebagai UUD hasil produk Konstituante, NU menginginkan tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam sila Ketuhanan. Akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945. Pada akhir 1984, Muktamar NU mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sikap NU yang didasarkan pada kajian yang disusun KH Achmad Siddiq itu mengubah secara mendasar peta kepartaian di Indonesia.

 NU memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pengertian bahwa sila-sila yang lain harus sesuai dan tidak bertentangan dengan sila Ketuhanan. Berdirinya Kementerian Agama bagi NU adalah wujud dari pengejawantahan sila pertama Pancasila. Menteri Agama Wahid Hasyim memaknai sila pertama itu dengan kebijakan membuat MOU dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1951) untuk mendirikan madrasah yang menjadi tonggak masuknya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Penafsiran terhadap sila pertama itu diperkuat dengan lahirnya UU Perkawinan (1974), UU Peradilan Agama (1989), Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam (1991), dan sejumlah UU yang memberi ruang bagi aspirasi umat Islam.

Pesantren dan warga

Pada 1926 Jam’iyyah NU didirikan oleh para ulama pesantren sebagai wujud dari gagasan KH A Wahab Hasbullah dan dipimpin oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Sering didengar ungkapan bahwa NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Jadi, NU identik dengan pesantren dan tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Saat ini jumlah pesantren di Indonesia sekitar 28.000 dengan jumlah murid sekitar 4 juta.

 NU juga saya maknai sebagai warga dan anggota NU. Warga NU adalah keturunan dari anggota NU atau orang yang mengikuti ajaran NU, tetapi tidak jadi anggota NU. Berdasarkan data survei di Jawa Timur, akhir 2017, berkisar 70 persen-80 persen rakyat Jawa Timur merasa punya afiliasi ormas dengan NU. Ketua PDI-P Jombang mengatakan bahwa 80 persen-90 persen pemilih PDI-P di Jombang adalah warga NU. Untuk tingkat nasional, data pada 2009 menunjukkan sekitar 42 persen Muslim merasa menjadi warga NU. Pada Pemilu 1955, jumlah pemilih Partai NU mencapai 18,4 persen.

 Warga NU adalah mereka yang mengikuti paham keagamaan NU atau merupakan keturunan dari anggota NU. Mereka tidak menjadi anggota organisasi NU dan juga tidak mengikuti kebijakan organisasi NU. Yang merupakan keturunan anggota NU belum tentu mengikuti paham keagamaan NU. Jadi, pengertian siapa ”orang NU” itu bersifat cair dan tidak kaku.

Tantangan masa depan

Kita menyaksikan  bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam yang usianya sudah tua dan menjadi kekuatan sosial politik yang menentukan masa depan Indonesia. Muhammadiyah dan NU serta ormas Islam lain telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengawal NKRI, melakukan kampanye anti-kekerasan, promosi toleransi, dan melindungi minoritas. Masyarakat dan negara amat berharap peranan ormas-ormas tersebut terus ditingkatkan.

Dari segi jumlah pengikut, NU lebih besar. Dari segi organisasi, harus diakui bahwa Muhammadiyah lebih baik. Dalam masalah politik, sebagai organisasi, Muhammadiyah lebih bisa menjaga jarak terhadap parpol dibandingkan NU. Paradigma parpol masih terasa kuat di organisasi NU. Ini mungkin akibat NU pernah menjadi parpol selama 32 tahun.

 Kelemahan NU adalah pada pengelolaan organisasi yang kurang baik di tingkat nasional dan sejumlah daerah. Amal sosial organisasi NU masih kurang dibandingkan potensi yang dimiliki.

 Organisasi yang besar sering kali kurang kompak dan sulit mencapai kata sepakat. Organisasi NU pun mengalami masalah itu. Munculnya beberapa tokoh NU dalam pilkada di Jawa Timur sudah dimulai sejak 2008. Dalam Pilgub 2008 ada dua tokoh NU yang menjadi cagub dan dua tokoh NU yang jadi cawagub. Dalam Pilgub 2013, ada satu tokoh NU yang menjadi cagub dan satu tokoh NU yang menjadi cawagub. Dalam Pilkada 2018, ada dua tokoh NU yang menjadi cagub.

 Kita berharap kekompakan dan keutuhan NU bisa dijaga. Untuk itu, para tokoh NU dan Muslimat NU Jatim pendukung kedua cagub tersebut perlu bermusyawarah untuk mencegah terjadinya kampanye negatif. []

KOMPAS, 02 Februari 2018
Salahuddin Wahid ;  Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar