Surat untuk Khalifah Al-Watsiq: Pembunuh Ulama dan Pencinta Budak
Pria
Oleh: Nadirsyah Hosen
Assalamu ‘alaikum Ya Amiral Mu’minin al-Watsiq Billah,
Izinkan kami belajar dari sosok panjenengan yang merupakan khalifah
kesembilan dari Dinasti Abbasiyah. Panjenengan adalah putra dari Khalifah
Al-Mu’tashim Billah (lahir tahun 796 dan wafat tahun 842 Masehi). Lewat wasiat
ayahanda al-Mu’tashim, panjenengan menerima ba’iat sebagai Khalifah.
Panjenengan lahir dari ibu yang merupakan budak Bizantin bernama
Qaratis. Panjenengan lahir pada 18 April 812, dan wafat pada 10 Agustus 847.
Jarak antara kita sekitar seribu seratus tujuh puluh tahun.
Bagaimana rasanya menjadi khalifah saat panjenengan berusia 30
tahun? Beban melanjutkan pemerintahan ada di pundak njenengan. Sejarawan
mencatat masa ketiga khalifah (al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan njenengan
sendiri, yaitu al-Watsiq) adalah era ketika ilmu pengetahuan begitu diagungkan,
perkembangan seni begitu diapresiasi, dan para imam mazhab dan mufassir begitu
banyak melahirkan karya-karya mereka.
Namun, pada masa ketiganya jugalah kami menemui lembaran sejarah
yang dicatat dengan darah para ulama. Ya, mihnah
(atau semacam ujian akan keyakinan) yang berjalan sejak masa al-Ma’mun dan al-Mu’tashim,
ternyata di masa panjenengan juga diteruskan.
Pada masa al-Ma’mun, Imam Ahmad bin Hanbal dan koleganya di
penjara karena bersikukuh bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk. Di masa
al-Mu’tashim, beliau dicambuk, maka di masa panjenangan, Imam Buwaythi (salah
seorang murid terkemuka Imam Syafi’i) wafat di penjara dengan tangan terikat
akibat tidak lolos ujian keyakinan.
Wahai Khalifah al-Watsiq,
Masih ingatkah panjenengan dengan Ahmad Ibn Nashr al-Khuza’i? Kami
membaca dalam kitab al-Bidayah
wan Nihayah karya Ibn Katsir bahwa panjenengan sendiri yang
menginterogasi Khuza’i.
Bayangkan seorang khalifah yang tidak punya kapasitas ilmu
keagamaan berani menginterogasi ulama sekaliber Khuza’i. Apa yang membuatmu
begitu berani? Apakah karena tiga jenderal keturunan Turki (Asynas, Itakh, dan
Wasif), Ketua Mahkamah Agung Ibn Abi Du’ad dan Wazir Muhammad bin Zayyat
mendukung penuh pemerintahan panjenengan?
Ketika penjanengan tidak mendapat jawaban yang diharapkan dari
Khuza’i mengenai al-Qur’an dan apakah kita akan melihat Allah di akhirat kelak,
panjenengan benar-benar murka. Ucapan ulama Mu’tazilah, Abdurrahman ibn Ishaq
(hakim di provinsi barat), bahwa darah Khuza’i telah halal rupanya memicu
panjenengan untuk menarik pedang terkenal berjuluk Samsamah dengan tanganmu
sendiri. Bahkan Abu Abdillah al-Armini menyahut, “Berikan aku darahnya agar aku
bisa meminumnya, wahai Amirul Mu’minin.”
Khuza’i yang sudah bisa menebak nasibnya hadir dengan memakai hanut (wewangian campuran
cendana dan kapur barus yang biasa digunakan untuk jenazah). Digelarlah karpet
dari kulit—mungkin agar lantai istanamu tidak kotor oleh tumpahan darah
Khuza’i. Yang jelas, Khuza’i dipaksa berlutut di atas karpet dan panjenangan
berjalan menghitung langkah menujunya dan seetttt suara kilatan pedang
panjenengan telah memisahkan kepala Khuza’i dari tubuhnya. Inna lilahi wa inna ilaihi raji’un.
Puaskah panjenengan selaku Khalifah membunuh ulama dengan tanganmu
sendiri? Ternyata belum. Imam Suyuthi melaporkan dalam kitabnya, Tarikh Al-Khulafa,
bagaimana kepala Khuza’i panjenengan kirim ke Baghdad sementara tubuhnya
panjenengan perintahkan untuk digantung di gerbang kota Samarra.
Lantas, masih menurut catatan Imam Suyuthi, panjenengan tinggalkan
tulisan yang tergantung di telinga Khuza’i: “Inilah Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i
yang membangkang mengenai kemakhlukan al-Qur’an dan menganggap Allah bisa
dilihat kelak dengan mata kita. Dia dieksekusi oleh Khalifah Harun al-Watsiq.
Inilah siksaan Allah yang lebih awal dari nerakaNya.”
Imam Thabari melaporkan bahwa sekitar 29 orang pengikut dan
keluarga Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i juga diburu dan dimasukkan ke penjara oleh
panjenengan, tidak boleh dikunjungi siapa pun, dirantai dengan besi dan tidak
diberi makanan.
Ibn Katsir menuturkan bahwa Khuza’i ini seorang pemuka mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di mana ayahnya juga terkenal di kalangan ahli
hadits, dan kakeknya juga seorang terhormat yang merupakan pendukung Dinasti
Abbasiyah. Konon, bibirnya sempat berucap la
ilaha illa Allah sesaat sebelum ditebas. Dan dikabarkan juga oleh
Ibn Katsir bahwa saat tubuhnya digantung terpisah, kepala Khuza’i masih
berucap:
Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka
tidak diuji lagi? (QS al-Ankabut: 1-2).
Tidakkah hati panjenengan bergetar?
Wahai Khalifah al-Watsiq,
Apa yang menyebabkan panjenengan merasa berkuasa untuk memberi
neraka lebih awal kepada Khuza’i? Kalau dia sesat, biarlah Allah yang
mengazabnya kelak. Atas dasar apa panjenengan bertingkah bagai Tuhan?
Inilah yang kami khawatirkan saat ini, para pendukung tegaknya khilâfah akan
kembali bertingkahpolah bagaikan Tuhan yang bisa menginterogasi keyakinan
seseorang dan bahkan memberikan neraka lebih awal di dunia ini.
Sejarah khilafah semacam ini sudah terlalu lama tertimbun dalam
retorika dan mulut manis para tokoh Hizbut Tahrir. Mereka
tidak suka kitab-kitab sejarah menceritakan keburukan ini. Mereka bilang demokrasi juga
berdarah-darah. Iya benar, namun masalahnya demokrasi tidak pernah membunuh
orang lain atas nama ajaran kitab suci. Sosok panjenengan yang membunuh orang
yang berbeda keyakinan itu jelas berdasarkan alasan membela Islam, al-Qur’an,
dan Allah. Mengerikan!
Tubuh Khuza’i yang tanpa kepala itu digantung selama 6 tahun dan
baru diturunkan setelah panjenengan wafat. Kekejaman yang tak terhingga.
Imam Suyuthi dan Ibn Katsir mengabarkan bahwa di akhir masa
pemerintahan ternyata panjenengan bertobat melakukan mihnah, namun pengaruh Ibn
Abi Du’ad, ketua Mahkamah Agung, yang menjabat sejak masa ayahanda Khalifah
al-Mu’tashim masih terlalu kuat.
Panjenengan sendiri malah asyik bermain dengan Muhaj. Iya, Muhaj….
lupakah panjenengan dengan nama budak pria yang anggun dan lemah gemulai ini?
Sebagai Khalifah, tentu panjenengan bisa bersenang-senang dengan budak
perempuan mana pun, tapi mengapa panjenengan memilih budak lelaki? Apakah
panjenengan hilang kepercayaan diri terhadap perempuan karena sejak lama mata
kiri panjenengan cacat?
Imam Suyuthi mencatat syair-syair yang panjenengan tujukan untuk
Muhaj. Itu bukan syair yang wajar dari seorang khalifah kepada budaknya.
Ini syair yang penuh luapan mahabbah.
Bahkan kecintaan panjenengan terhadap Muhaj bisa mempengaruhi
kinerja sebagai Khalifah. Pernah para staf panjenengan bingung dengan sikap
panjenengan yang kelihatan galau, ternyata itu karena Muhaj sehari sebelumnya
menolak bertemu panjenengan.
Atau sebaliknya di saat panjenengan sedang memimpin rapat masuklah
Muhaj ke ruangan dan berjalan lemah gemulai di depan panjenengan. Maka
panjenengan segera tinggalkan rapat dan asyik “menemani” Muhaj. Amboiii.
Wahai Khalifah al-Watsiq,
Maafkan kami, kami sungguh tidak mengerti mengapa panjenengan
begitu kejam kepada ulama Hadits dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Khuza’i,
tetapi bisa bermesra-mesra dengan Muhaj? Sungguh sulit kami memahaminya.
Panjenengan bisa begitu tegas mengatakan al-Qur’an itu makhluk atas nama
tauhid, tetapi bisa klepek-klepek dengan senyum Muhaj.
Panjenengan dinamai dengan Harun, sebagai cara mengambil berkah
dari kakek panjenengan, Khalifah Harun ar-Rasyid. Namun para sejarawan sukar
mencatat keberhasilan atau terobosan penting yang dilakukan oleh pemerintahan
panjenengan. Panjenengan cuma melanjutkan saja apa yang telah dilakukan
khalifah sebelumnya.
Imam Suyuthi meriwayatkan cerita tragis saat panjenengan wafat
setelah 6 tahun berkuasa. Dalam usia 36 tahun panjenengan jatuh sakit hingga
menemui ajal. Saat orang-orang sibuk mengurusi pelantikan al-Mutawakil sebagai
pengganti panjenengan, jenazah panjenengan dibiarkan sendiri, dan konon ada
tikus besar yang masuk dan memakan mata panjenengan. Aduh! Kasihan!
Ini mengingatkan kami pada kisah tragis Khalifah Marwan II,
penguasa terakhir Dinasti Umayyah, yang saat wafat lidahnya dimakan kucing
(baca: Khalifah Marwan II: Sang Keledai Penguasa Terakhir Umayyah)
Mungkin begitulah cara Allah menunjukkan kuasaNya terhadap
penguasa yang sering mengatasnamakan Tuhan akan kezalimannya.
Demikian surat ini kami tuliskan berdasarkan empat kitab utama
dalam sejarah Islam, yaitu karya Imam Thabari, Ibn Atsir, Imam Suyuthi, dan Ibn
Katsir. Semoga kami semua yang hidup di alam demokrasi bisa belajar dari
sejarah ini dan tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan panjenengan, meskipun
itu dilakukan atas nama agama. []
GEOTIMES, 16 Desember 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar