Keserasian
Islam dengan Demokrasi
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Kritik
pahit dan tajam tentang gejala despotisme Muslim diberikan oleh Muhammad Iqbal
(w. 1938): “Tatapan mata raja-raja Muslim semata-mata berpusat pada
kepentingan-kepentingan dinasti mereka. Selama kepentingan itu terlindungi, mereka
tidak ragu-ragu menjual negerinya kepada penawar yang tertinggi.
Untuk
menyiapkan massa Muslim untuk sebuah perlawanan terhadap situasi yang demikian
itu di dunia Islam merupakan misi khusus Syed Jamal-ud-Din Afghani.” (Lihat
Muhammad Iqbal dalam Syed Abdul Vahid (ed), Thoughts
and Reflections of Iqbal. Kashmiri-Bazar-Lahore: Sh Muhammad
Ashraf, 1973, hlm 279).
Iqbal
memang menjadi salah seorang pemberi penghargaan tinggi kepada karier hidup
al-Afghani. Kutipan berikut adalah saksi untuk itu: “Jika energinya yang tanpa
lelah tetapi terpecah itu telah dapat dibaktikan seluruhnya untuk Islam sebagai
sebuah sistem iman dan perilaku manusia, maka dunia Islam, secara intelektual,
akan berada di atas satu landasan yang lebih kukuh sekarang ini.” (Lihat
Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Kashmiri-Bazar-Lahore: Sh Muhammad Ashraf, 1971, hlm 97).
Dengan
latar belakang singkat ini, saya harus mengatakan dengan yakin bahwa pemahaman
Muslim Indonesia terhadap diktum Alquran tentang konsep syûrâ (lihat Alquran surah
III: 159 dan surah XXXXII: 38) lebih dekat kepada gagasan demokrasi sebagaimana
dipahami di era modern. Dalam sistem ini dijamin dan dihormati keikutsertaan
rakyat dengan bebas dan aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam urusan
bangsa dan negara, sesuatu yang haram dalam sistem despotisme.
Jauh
sebelum hari kemerdekaan Indonesia tahun 1945, para pendiri bangsa, sebagian
besar Muslim, telah memilih demokrasi sebagai sebuah sistem politik untuk hari
depan Indonesia. Ada satu contoh yang menarik untuk dikenang di sini:
berdirinya Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) tahun 1945 di
bawah pimpinan intelektual Muslim adalah salah satu bukti komitmen umat kepada
sistem demokrasi.
Partai
ini dikenal sebagai pejuang demokrasi dan konstitusi yang tangguh dan berani
hingga pada akhirnya harus menjadi martir (bubar/dilarang) karena perjuangannya
itu di akhir 1960 berhadapan dengan sistem politik otoritarian di era itu.
Dalam
ungkapan lain, adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas
mutlak Muslim Indonesia percaya kepada demokrasi sebagai yang serasi dengan gagasan
politik Alquran, sekalipun juga diakui bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem
yang sempurna.
Tetapi,
jika dibandingkan dengan sistem politik lain yang berkembang dalam sejarah
Muslim seperti kerajaan, khilafah, keimaman, dan bentuk-bentuk yang lain,
demokrasi jelas lebih unggul dalam substansi dan dalam kualitas. Adapun
demokrasi modern Barat telah pula melahirkan seorang Adolf Hitler dari Jerman
dan seorang Donald J Trump dari Amerika Serikat adalah cerita lain yang saya
segan berkomentar.
Sebagai
kesimpulan, bagi saya sungguh waktunya sudah sangat mendesak dan tinggi bagi
Muslim untuk berpikir ulang dan memberi penghargaan secara intelektual dan
kritikal terhadap upaya pengembangan konsep syûrâ
sebagai sistem politik yang layak, efektif, egalitarian, dan demokratik, demi
menjawab tantangan zaman yang berubah dengan kencang ini. Jika jalan ini tidak
ditempuh secara berani dan cerdas, saya khawatir dunia Muslim akan tetap
berkubang dalam iklim kegagalan dan keterbelakangan dalam mengurus bangsa dan
negara di abad ke-21 ini.
Demokrasi
yang terkubur dalam kafan ‘Ali bin Abi Thalib harus dibongkar kembali, karena
kejadian itu adalah sebuah malapetaka sejarah yang dilakukan oleh elite Arab
Muslim masa awal dengan membuang konsep syûrâ
dalam Alquran sebagai pedoman dan prosedur bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, di dalamnya pesan egalitarianisme mendapatkan tempat
yang amat terhormat.
Tak
seorang pun tahu untuk berapa lama lagi umat Islam dapat bertahan di lingkungan
politik busuk, despotik, dan primitif sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sebenarnya apa yang terjadi dalam Musim Semi Arab yang mati suri itu tidak lain
dari perlawanan rakyat terhadap despotisme yang menindas dan antikeadilan yang
tidak jarang dilakukan atas nama agama. Alangkah kejinya, alangkah dustanya! []
REPUBLIKA,
30 Januari 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar