Empati Mbah Ngis
kepada Janda Miskin Tak Beranak
Dalam masyarakat kita
ada kecenderungan sebagian orang memandang sebelah mata mereka yang tak bisa
memberikan keturunan. Apalagi jika mereka perempuan. Beberapa suami menceraikan
istrinya hanya karena ia mandul. Hal seperti ini dialami seorang wanita
yang Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994) memanggilnya “Bulik” untuk
“mbasakke” anak-anak Mbah Ngis. Memang masih ada hubungan kerabat antara Mbah
Ngis dengannya meski tidak sangat dekat. Sebut saja perempuan itu beranama
Bulik Fulanah.
Betul. Bulik Fulanah
dicerai suaminya hanya karena tak bisa memberikan keturunan. Sejak itu Bulik
Fulanah hidup menjanda. Suami tak ada. Anak tak punya. Kakak atau adik sudah
tiada. Orang tua juga sudah lama meninggal dunia. Bulik Fulanah tak punya
keluarga. Ia sebatang kara. Masih beruntung ada keponakan yang bersedia
menampung hidupnya di rumah di sebuah kampung yang padat penduduk.
Bulik Fulanah hidup
menderita. Ia tak punya apa-apa alias miskin. Jika diperbandingkan, Bulik
Fulanah sangat kontras dengan Mbah Ngis meskipun ada beberapa persamaan,
seperti sama-sama bukan orang kaya yang berjualan makanan kecil. Bulik Fulanah
tak memiliki seorang anak pun. Mbah Ngis memiliki 13 anak. Bulik Fulanah
dikenal suka banyak bicara. Sedangkan Mbah Ngis cukup tahu kapan harus
bicara dan kapan harus diam. Kebiasaan banyak bicara yang topiknya tidak selalu
menarik kadang membuat beberapa orang tak menyukai Bulik Fulanah.
Tetapi bagi Mbah
Ngis, semua kekurangan Bulik Fulanah tak dipermasalahkan. Mbah Ngis cukup
toleran terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Mbah Ngis cukup mengerti tidak
setiap orang berpengatahuan luas atau memiliki banyak pengalaman menarik untuk
diceritakan kepada orang lain. Mbah Ngis malahan menaruh iba yang mendalam
terhadap nasib Bulik Fulanah sebagai sesama saudara sekaligus sesama perempuan.
Sudah lama Mbah Ngis
bertanya pada diri sendiri kapan bisa menyenangkan Bulik Fulanah dengan
memberikan atau mewujudkan sesuatu yang membuatnya berbesar hati. Mbah Ngis
lama berpikir soal itu hingga akhirnya Mbah Ngis menemukan gagasan.
Gagasan itu adalah
mengajaknya pergi ke Jakarta, sebuah kota metropolitan dengan segala
kemegahannya. Mbah Ngis sendiri belum pernah ke Ibu Kota. Kali ini ada
kesempatan bagi Mbah Ngis pergi ke sana, tapi bukan karena Mbah Ngis memiliki
banyak uang. Salah seorang keponakan Mbah Dullah di Jakarta mempunyai hajat
menikahkan putrinya.
Keponakan itu cukup
mapan secara ekonomi karena ia seorang pejabat penting. Mbah Ngis dan Mbah
Dullah diundang menghadiri resepsi perkawinan itu. Segala sesuatu terkait
dengan transportasi, konsumsi dan akomodasi selama di perjalanan Jakarta
pulang-pergi sudah ada yang mengurus dan semuanya ditanggung oleh sang
keponakan. Mbah Ngis dan Mbah Dullah tinggal menyiapkan diri, terutama
kesehatannya, agar bisa hadir. Mbah Ngis sangat senang atas undangan ini dan
bersyukur karena semua fasiltas tersedia secara cuma-cuma.
Rasa syukur itu
diwujudkan Mbah Ngis dalam bentuk menyisihkan selama sebulan penuh uang hasil
berjualan makanan kecil setiap hari di pondok. Mbah Ngis ingin sekali mengajak
Bulik Fulanah ke Jakarta dengan seluruh biaya ditanggung Mbah Ngis.
Benar. Mbah Ngis,
Mbah Dullah dan Bulik Fulanah serta rombongan lain dari Solo berangkat bersama
ke Jakarta dengan menaiki Kereta Api Senja Utama. Itu adalah kali pertama dan
terakhir bagi Mbah Ngis dan Bulik Fulanah pergi ke Jakarta. Juga merupakan kali
pertama dan terakhir menaiki kereta api kelas bisnis.
Sekembalinya ke Solo,
Bulik Fulanah memiliki banyak cerita tentang Jakarta dan orang-orang besar yang
dilihatnya di resepsi pernikhan putri keponakan Mbah Dullah. Banyak orang
tertarik menyimaknya meski ada sebagian kecil berpura-pura tak mendengar. Yang
pasti mereka semua menikmati “oleh-oleh” yang dibawa Bulik Fulanah dari
Jakarta. Peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu di awal tahun
1990-an. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar