Membaca Batas
Kekufuran dan Keimanan dalam 'Al-Iqthisad fi Al-I’tiqad' Karya Imam Al-Ghazali
Mendialogkan
pemikiran Imam Al-Ghazali dalam berbagai literatur khazanah keislaman adalah
mencari parameter yang pas untuk mengetahuan esensi yang terkandung di dalam
beberapa karyanya pra dan pasca berjibaku dalam dunia tasawuf. Hal ini menurut
penulis penting, karena ada perbedaan yang sangat fundamental mengenai arah
pemikiran Al-Ghazali tatkala beliau masih aktif sebagai akademisi, dan setelah
beliau melepaskan jabatan akademik di Universitas Al-Nidzamiah.
Hari ini, kebetulan
penulis mendapat tawaran sebuah kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali tatkala
beliau masih aktif sebagai pemangku rektor di Al-Nidzamiyah dari salah satu
WAG, yaitu LDNU Jakarta Utara. Kitab yang secara esensial membahas persoalan
akidah dalam kacamata mutakallimin (teolog), ini kemudian ia beri nama
“al-Iqtishad fi al-I’tiqad”. Kebetulan kitab tersebut, pernah penulis baca dan
penulis telaah pada pertengahan tahun 2014, maka sedikit banyak pemahaman
mengenai isi kitab tersebut masih tersimpan di dalam memori otak.
Al-Ghazali dalam
kacamata penulis merupakan sosok ulama yang unik. Keunikan tersebut tertuang di
dalam beberapa karya tulisnya yang menurut penuturan Dr. Abdurrahman Al-Badawi
mencapai 457 buah. Angka yang sangat fantastis, mengingat dari empat ratusan
karya tersebut, tidak semuanya lahir dari pendekatan dan metodologi yang sama.
Artinya, dari karya-karya yang telah penulis sebut di atas, Al-Ghazali
menggunakan ragam pendekatan dengan metodologi yang bermacam-macam, tergantung
kepada siapa karya itu nantinya akan ditawarkan.
Bahkan pegiat kajian
Al-Ghazali (Ghazalian), Hamid Dabaysi menuturkan, topik yang diangkat oleh Abu
Hamid (Al-Ghazali) sudah melewati dimensi-dimensi diskursus yang otoritatif
pada masanya. Katakanlah multidimensi yang termaktub di muka meliputi persoalan
teologi, yurisprudensi, filsafat, tasawuf, bahkan sampai pada persoalan
politik. Dalam konteks politik, kajian yang diangkat oleh Al-Ghazali yang patut
dikaji secara serius adalah al-Tibrul Masbuuq fi Nashihati al-Muluk. Sebuah
pandangan jenius Al-Ghazali mengenai problematika pemimpin (Muslim dan
non-Muslim) yang jauh menembus alam bawah sadar cara pandang orang-orang saat
itu.
Di dalam al-Iqtishad
fi al-I’tiqad, Al-Ghazali mencoba untuk memformulasikan batasan kufur dan iman,
di mana keduanya tidak akan bisa disingkap lewat uraian yang mendalam, jika
hati masih terkontaminasi oleh ambisi untuk meraih jabatan dan urusan duniawi.
Sebaliknya, keduanya akan tersingkap dengan jelas jika didasarkan pada (1) hati
yang bersih dari noda kotoran dunia, (2) penempaan (riyadhah yang
sempurna, (3) dzikir yang istiqamah, (4) adil dalam pemikiran, dan (5)
tersingkron dengan batasan-batasan syariat.
Dalam kacamata
penulis, jika merujuk pada argumentasi Al-Ghazali di atas, maka keabsahan term
kufur yang sering terlontar karena berangkat dari ambisi untuk meraih jabatan
duniawi perlu ditinjau ulang, karena sarat akan muatan-muatan politis. Di mana
hal itu bertentangan dengan poin nomor satu sebagaimana dijelaskan di atas.
Dari sini kemudian
Al-Ghazali mempertanyakan secara serius, bagaimana seseorang mampu membedakan
antara kekufuran dengan keimanan seseorang? Dengan ilham ilahi-kah, sementara
kita belum mengosongkan hati dari kotoran-kotoran ambisi duniawi? Atau dengan
kemampuan intelektual, sementara batas pengetahuan seseorang lebih didominasi
oleh pendekatan rasionalis positivistik?
Selanjutnya di dalam
karya itu pula Al-Ghazali banyak mengulas soal perdebatan yang terjadi di
antara teolog, baik yang berafiliasi pada Al-Asy’ari, Al-Maturidi, Muktazilah,
Qadariah, Jabariah, dan sebagainya. Tetapi yang paling menarik dalam kacamata
penulis adalah perdebatan di kalangan Asy’arian itu sendiri. Di mana
Al-Baqillani memilih pendapat yang berseberangan dengan konsensus para Asy’arian
yang kala itu sudah dirasa cukup mapan. Pokok persoalan tersebut bermula dari
pandangan Al-Baqillani soal sifat Baqa (kekal) Allah s.w.t., menurutnya sifat
baqa tersebut hanya komplementer atas zat.
Dari kasus itulah,
kemudian Al-Ghazali berdiri di tengah, untuk mengenengahi polemik yang terjadi
di kalangan para Asy’arian. Menurut Al-Ghazali, pandangan Al-Baqillani yang
dianggap keluar dari rumusan teolog Asy’arian sebenarnya hanya menyangkut lafal
yang tidak esensial, di mana masalah zat atau atribut tambahan merupakan
persoalan sepele yang tidak perlu diributkan.
Itulah mengapa
Al-Ghazali kerap menjadi sosok mediator handal, yang mampu meredam berbagai
gejolak yang lahir dari perbedaan. Dalam rekonsiliasi antara para ahli fiqih
dan ahli tasawuf pun, peran Al-Ghazali juga tidak sedikit. Kerukunan antar
kedua belah pihak mampu kita rasakan sampai pada detik ini juga karena
perjuangan Al-Ghazali. Wallahu A’lam. []
Mohammad Khoiron,
Akademisi di Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama, dan Sekretaris Aswaja
Center NU DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar