Senin, 05 Februari 2018

(Ngaji of the Day) Mana Lebih Utama, Baca Al-Quran atau Jawab Adzan?



Mana Lebih Utama, Baca Al-Quran atau Jawab Adzan?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Dalam kesempatan ini kami akan menanyakan tentang mana yang lebih didahulukan ketika sedang membaca Al-Quran kemudian mendengar suara adzan, apakah meneruskan membaca Al-Quran atau menjawab suara adzan? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

(Ridwan/Poso)

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa membaca Al-Quran masuk dalam kategori amaliyah yang baik dan sangat dianjurkan. Demikian pula dengan menjawab adzan di mana hukumnya adalah sunah sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq Asy-Syairzi dalam Kitab Al-Muhadzdzab.

فَصْلٌ فِي الذِّكْرِ مَعَ الْأَذَانِ وَالْمُسْتَحَبُّ لِمَنْ سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ أَنْ يَقُولَ مِثْلَ مَا يَقُولُ إِلَّا فِي الْحَيْعَلَةِ فَإِنَّهُ يَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

Artinya, “Fasal tentang zikir yang beriringan dengan adzan. Disunahkan (dianjurkan) bagi orang yang mendengar senandung suara adzan muadzin untuk mengucapkan hal sama dengan yang disenandungkan kecuali ketika muadzin sampai pada ucapan hayya ‘alas shalah dan hayya ‘alal falah, maka orang yang mendengar senandung suara adzan tersebut mengucapkan la hawla wala quwwata illa billah,” (Lihat Abu Ishaq asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, juz I, halaman 58).

Lantas bagaimana ketika kita sedang asyik membaca Al-Quran kemudian terdengar kumandang adzan dari masjid atau mushalla. Apakah sebaiknya kita tetap melanjutkan membaca Al-Quran atau kita berhenti sejenak untuk menjawab suara adzan?

Dalam konteks ini menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi yang lebih diutamakan menghentikan bacaan Al-Quran kemudian menjawab suara adzan. Hal ini sebagaimana yang kami pahami dari pernyataannya dalam Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab berikut ini:

وَلَوْ سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ أَوِ الْمُقِيمَ قَطَعَ الْقِرَاءَةَ وَتَابَعَهُ

Artinya, “Seandainya seseorang yang sedang membaca Al-Quran mendengar adzan dikumandangkan oleh muadzdzin atau iqamah, maka ia (sebaiknya) menghentikan bacaan Al-Qurannya dan kemudian mengikutinya (menjawab suara adzan atau iqamah),” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz II, halaman 193).

Jika demikian, maka akan muncul pertanyaan kenapa ketika kita sedang membaca Al-Quran kemudian mendengar suara adzan yang diutamakan adalah menghentikan bacaan tersebut kemudian menjawab suara adzan?

Menurut kami, bahwa waktu untuk membaca Al-Quran lebih luas dibanding dengan waktu menjawab adzan. Adzan hanya dikumandangkan pada saat-saat tertentu saja, misalnya ketika masuk waktu shalat. Hal ini tentunya berbeda dengan membaca Al-Quran.

Alasan lain yang bisa diajukan di sini adalah bahwa setiap kesunahan memiliki waktunya sendiri sehingga kesunahan menjawab adzan itu juga ada waktu sendiri yaitu ketika kita mendengar kumandang adzan. Sebagaimana waktu disunahkan membaca tasbih atau membaca Al-Quran juga memiliki waktunya sendiri. Inilah yang kami pahami dari keterangan yang terdapat dalam kitab I’anatut Thalibin berikut ini:

فَإِنَّ لِكُلِّ سُنَّةٍ وَقْتًا يَخُصُّهَا، فَلِاجَابَةِ الْمُؤَذِّنِ وَقْتٌ، وَلِلْعِلْمِ وَقْتٌ، وَلِلتَّسْبِيحِ وَقْتٌ، وَلِتَلَاوَةِ الْقُرآنِ وَقْتٌ.كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ لِلْعَبْدِ أَنْ يَجْعَلَ مَوْضِعَ الْفَاتِحَةِ اِسْتِغْفَارًا، وَلَا مَوْضِعَ الرُّكُوع ِوَالسُّجُودِ قِرَاءَةً، وَلَا مَوْضِعَ التَّشَهُّدِ غَيْرَهُ

Artinya, “Karena setiap kesunahan itu memiliki waktu khusus, begitu juga menjawab senandung adzan muadzdzin memiliki waktunya sendiri, belajar, membaca tasbih dan membaca Al-Quran memiliki waktunya sendiri. Sebagaimana tidak ada bagi hamba menjadikan posisi membaca surat Al-Fatihah sebagai ajang untuk untuk istighfar, sujud sebagai kesempatan untuk membaca Al-Quran, atau posisi tasyahhud untuk yang lainnya,” (Lihat Al-Bakri Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, juz I, halaman 279).

Demikian penjelasan singkat dari kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Mahbub Maafi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar