Rabu, 14 Februari 2018

Kang Komar: Akar



Akar
Oleh: Komaruddin Hidayat

SERING kali kita kagum pada pohon dengan daun dan buahnya yang lebat serta rindang. Atau bunganya yang indah menawan. Namun, mata dan pikiran kita tidak memperhatikan ranting dan dahan yang menyangganya.

Sekali waktu kita juga terpana dan kagum melihat batang pohon yang gagah, tegak berdiri menjulang ingin menggapai langit. Tetapi, hampir-hampir kita tidak peduli dan kagum pada akarnya yang membuat pohon itu subur serta tidak roboh ketika diterpa angin.

Peran akar yang sedemikian vital bagi tegaknya bangunan di atasnya pernah menginspirasi Prof Dr Ir Sedyatmo (1909–1984) ketika pada tahun 1961 menerima tugas negara membangun tujuh menara listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa Ancol, Jakarta Utara. Dia berpikir keras bagaimana mesti membuat fondasi yang kokoh di atas tanah yang labil.

Berhari-hari berpikir namun belum menemukan formula meyakinkan. Sambil melamun melihat pantai, tiba-tiba mata dan pikirannya terhenyak kagum ketika melihat pohon kelapa yang batang pohonnya diombang-ambingkan angin, tapi pohon kelapa itu tidak roboh.

Dia menemukan pengalaman: Aha...! Pasti kekuatannya terletak pada akarnya yang kecil-kecil panjang menghunjam dalam dan menyatu dengan tanah secara solid. Akar-akarnya itu mencengkeram tanah bagaikan cakar ayam. Kemudian dia memutuskan membuat fondasi dikenal sebagai teknologi “cakar ayam” yang kini telah dipakai di lebih dari 40 negara di dunia.

Jadi, peran akar dan kinerjanya memang tidak terlihat, tetapi sangat menentukan kekuatan bangunan ataupun pohon yang berada di atasnya. Bahkan kita juga mengenal ungkapan “akar masalah”.

Kita sering terkecoh dan sibuk membahas serta menyelesaikan simpton penyakit yang terlihat di permukaan, tapi tidak menyentuh akar dan sumber masalahnya. Begitu pun menyangkut kepribadian seseorang, dalam psikologi dikenal istilah “gunung es”. Hal yang terlihat di permukaan hanya sekitar 12,5%, sebagian besar, bagaikan akar, tersembunyi di bawah.

Fenomena gunung es (iceberg) ini dianalogikan dengan struktur kepribadian seseorang. Kita hanya mengenal seseorang sebatas yang terlihat di permukaan, padahal karakter sejatinya tertutup, sebagaimana sebuah gunung es atau mirip jam tangan.

Kita hanya melihat dan memperhatikan dua buah jarum yang menunjuk angka, sementara di baliknya terdapat sistem mesin rumit yang menggerakkan dan mengatur jalannya jarum jam agar kinerjanya benar, tidak menipu penggunanya.

Lagi-lagi, kita memang mudah mencela atau mengagumi seseorang hanya berdasarkan apa yang terlihat di permukaan atau perjumpaan sesaat sehingga sering kali tertipu. Atau tidak tepat ketika menilai seseorang. Don't judge the book by its cover.

Di samping kesadaran akan vitalnya peran akar, sesungguhnya sebuah pohon juga memberikan pelajaran hidup (wisdom) amat dalam maknanya untuk manusia. Kalau saja kita mau merenungkan, yaitu sebuah kerja sama yang kompak dan tulus dalam menjalankan peran masing-masing, tidak saling menjegal, dan tidak iri terhadap perannya yang lain.

Sejak dari akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah dan kesemuanya memiliki peran masing-masing dan berusaha tampil yang terbaik, tanpa merasa iri dengki terhadap lainnya. Akar yang sibuk mencari vitamin di dalam tanah dan menjaga pohon agar tidak roboh, tidak merasa iri ketika buahnya memperoleh pujian orang.

Dahan dan ranting dengan setia menyangga daun dan buah yang tumbuh rindang agar misi pohon tercapai, baik untuk berteduh ketika orang kepanasan maupun untuk mempersembahkan buahnya pada manusia atau burung-burung yang menyukainya.
Bayangkan, apa yang terjadi kalau masing-masing bagian dari pohon itu melakukan sabotase terhadap yang lain. Apa jadinya, kalau antarbagian itu saling iri dan berkelahi. Pasti misi kehadiran pohon tidak tercapai.

Demikianlah sejarah memberikan pelajaran kepada kita untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan orang lain. Bahwa kerukunan, kedamaian, kekompakan, dan kerja sama itu pasti akan mendatangkan banyak manfaat untuk kita semua.

Sebaliknya, perkelahian dan percekcokan tersebut hanya akan merugikan kita semua. Kata “sejarah” sendiri berasal dari bahasa Arab “syajaroh” yang artinya adalah pohon, yaitu pohon kehidupan manusia yang beraneka ragam etnis, bahasa, budaya, dan agama. Alquran memerintahkan, yang paling penting itu berlomba dalam berbuat baik sesuai dengan kapasitasnya, bukan mempertentangkan keragaman. []

KORAN SINDO, 9 Februari 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar