Pesantren
Salafi (4)
Oleh:
Azyumardi Azra
Adanya 95
pesantren salafi (dari total 111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada
13 provinsi, jelas belum menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa
dipastikan, ada pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain.
Karena
itu, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi
secara komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri
yang memegangi salafisme tidak diragukan lagi.
Ini
terlihat, misalnya, dari kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan
belajar yang hampir sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang
menjadi pegangan di pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan
dan sumber ajar di pesantren salafi.
Sekali
lagi, literatur yang digunakan umumnya di pesantren salafi adalah karya ulama
yang dikenal sebagai ulama salafi atau wahabi.
Dalam
bidang akidah, ulama rujukan mencakup Ibn Taymiyyah, Muhammad bin ‘Abd Wahhab,
pendiri paham dan gerakan wahabiyah Muhammad bin Salih al-Utsaymin, Imam
al-Thahawi, dan Ibn Abi al-Izzi.
Kitab-kitab
karya ulama yang digunakan mencakup al-Ushul
al-Tsalatsah, Kitab al-Tawhid, Kasyf al-Syubuhat, al-‘Aqidah al-Wasithiyyah,
dan ‘Aqidah al-Thahawiyah.
Dalam bidang fikih, pesantren salafi menggunakan kitab yang berbasis hadis
sahih mutawatir. Kitab-kitab fikih yang digunakan mencakup al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab
al-‘Aziz (karya ‘Abd al-Azhim bin Badawi), ‘Umdat al-Ahkam (karya Ibn
al-Qudamah), dan Syarh-nya
Tafsir al-Allam (karya Abd Allah bin Abd al-Rahman bin Salih Alu
Bassam).
Mereka
juga menggunakan kitab Shifat
Shalat al-Nabi karya Muhammad Nasir al-Din al-Albani untuk
pelaksanaan shalat yang menurut mereka sesuai dengan yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam
pengajaran bahasa Arab, kitab yang lazim dipakai terbitan LIPIA (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab) yang merupakan unit pendidikan Kedutaan Besar Arab
Saudi di Jakarta. Di antaranya, Silsilah
Ta’lim al-Lughat al-‘Arabiyah dan al-‘Arabiyyah li al-Nasyi’in.
Penelitian
PPIM menemukan, sebagian besar (59 persen) pesantren salafi menerima kurikulum
nasional, terutama dalam ilmu-ilmu umum. Sebaliknya, mereka menggunakan
kurikulum agama Arab Saudi. Kelompok pesantren salafi ini berorientasi ke Arab
Saudi dan Kuwait. Berkat adopsi kurikulum nasional ini, lembaga pendidikan yang
ada dalam pesantren salafi mendapat pengakuan dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Mereka sekaligus mendapat mu’adalah
dari Kementerian Pendidikan Arab Saudi atas dasar kurikulum pelajaran
agamanya.
Selain
itu, pesantren salafi Saudi dan Kuwait juga mengadopsi tingkatan pendidikan
formal Indonesia untuk semua jenjang. Karena itu, pendidikan di pesantren
salafi ini terdiri atas TK, madrasah ibtida’iyah, tsanawiyah, aliyah, dan
sekolah tinggi.
Dengan
pendekatan dan cara seperti itu, alumni pesantren salafi kelompok ini dapat
melanjutkan pendidikan ke madrasah atau sekolah lebih tinggi atau ke perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia.
Kelompok
pesantren salafi kedua (41 persen) yang berorientasi dan berafiliasi ke Yaman.
Mereka menolak kurikulum nasional dan sebaliknya menerapkan
"kurikulum" sendiri.
Kurikulumnya
hampir sepenuhnya merupakan copas (salin dan tempel) dari (madrasah) Dar
al-Hadits di Dammaju, Yaman. Karena itu, kurikulum (sepenuhnya hanya pelajaran
agama); pelajaran umum hanya mencakup bahasa Indonesia dan matematika
(berhitung).
Selain
itu, pesantren salafi Yamani tidak mengikuti penjenjangan pendidikan formal
Indonesia. Mereka menyediakan TK, tahfidz
al-Qur’an tingkat dasar, Tadrib
al-Du’at (kader da’i), dan Tarbiyah
al-Nisa’ (pendidikan putri).
Dengan
model pendidikan ini, para santri pesantren salafi kelompok kedua tidak dapat
melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi di Indonesia. Mereka
melanjutkan ke pesantren salafi yang menyediakan jenjang pendidikan lebih
tinggi, atau pergi meneruskan pendidikan mereka ke Yaman.
Pesantren
salafi berusaha membentuk pemahaman, cara pandang, dan perilaku hidup
sehari-hari yang mereka yakini mengikuti Nabi Muhammad SAW dan salaf al-shalih. Para
santri dididik untuk hidup sesuai dengan apa yang mereka sebut sebagai manhaj salafi, yang bersih
dari apa yang mereka sebut "bid’ah".
Karena
itu, para santri tidak diajar ikut upacara bendera, bernyanyi; tidak boleh
mendengar musik atau menonton televisi atau melukis makhluk hidup. Mereka makan
secara komunal, terdiri atas empat sampai lima orang mengelilingi nampan besar;
memelihara janggut bagi santri laki, dan menggunakan cadar bagi santri
perempuan. []
REPUBLIKA,
22 Februari 2018
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar