Senin, 26 Februari 2018

BamSoet: UU MD3 dan Kritik dalam Adab Demokrasi



UU MD3 dan Kritik dalam Adab Demokrasi
Oleh: Bambang Soesatyo

Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang sudah disahkan pada pekan kedua Februari 2018 disikapi pro dan kontra.

Namun, bagi DPR, UU itu akan jadi pijakan bagi proses terwujudnya kedewasaan dan eloknya adab demokrasi Indonesia. Demokrasi yang tidak taat hu - kum dan mengingkari etika akan menimbulkan kekacauan. Lebih dari itu, apa yang dikhawatirkan bahwa UU MD3 yang baru ini akan membunuh demokrasi, itu tidak akan terjadi. Sebagai generasi yang bertumbuh kembang di era reformasi sekarang, menjadi kewa jiban semua elemen masyara kat untuk merawat dan men - dewasakan demokrasi yang sudah menjadi pilihan final itu. Dengan praktik demokrasi yang beradab, beretika, dan semakin dewasa, tertutuplah ruang bagi kehadiran otoritarianisme atau diktatorianisme dalam kehidup an bernegara. UU MD3 hasil revisi itu pun sama sekali tidak mengurangi hak warga negara menyuarakan kritik dan kecaman kepada DPR.

Sebaliknya, seperti semua institusi di negara ini dan juga di negara demokratis lainnya, DPR pun sangat membutuhkan kritik serta kecaman publik. Kritik publik tak hanya men - cerminkan demokrasi itu sen - diri, tetapi juga sangat ber man - faatkan untuk memperbaiki pengabdian setiap anggota DPR serta memaksimalkan kinerja DPR. Kritik layak diibaratkan vitamin yang menguatkan serta menjadi faktor pendorong per - baikan. Sangat disayangkan karena sejumlah kalangan tidak pro - porsional dalam memahami dan menyikapi UU MD3 hasil revisi itu. Asumsi-asumsi yang dikedepankan tampak terlalu ekstrem dan cenderung keluar dari konteks tentang urgensi menjaga marwah DPR sebagai institusi.

Di mana letak ke - kuatan UU itu sehingga bisa di - asumsikan mampu membunuh demokrasi, menuduh DPR aler - gi kritik, dan mengancam ke - bebasan pers? Kalau benar UU yang disah - kan itu membunuh demokrasi dan mengekang kebebasan pers, tidakkah sama artinya de - ngan DPR melakukan bunuh diri? Kalau UU MD3 itu mem - berangus demokrasi, bukankah DPR sendiri yang pada gilir an - nya akan menjadi korban? Ka lau asumsi seperti ini sedikit saja mengandung kebenaran, UU MD3 hasil revisi itu akan ter lalu mudah dimentahkan da lam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Ke tika sebuah UU setiap saat bisa di - hadapkan pada proses judicial review, itu pertanda na pas de - mokrasi masih berembus. Kendati masih diwarnai se - jumlah kekurangan di berbagai aspek, proses demokratisasi Indonesia mencatat progres yang signifikan dan sudah dinikmati semua orang.

Mulai dari kebebasan berbicara atau menyatakan pendapat, ke be - basan berserikat—termasuk mendirikan partai politik (par - pol)—sampai hak yang sangat personal, yakni hak untuk me - milih dan dipilih dalam agen da pemilihan presiden, pemilihan anggota legis la tif, hingga pemilihan ke pala dae - rah (pilkada). Namun, publik juga men catat bahwa prak - tik demo kra tisasi da - lam hidup keseharian bersama belumlah ideal. Prak tik demokratisasi yang belum ideal itu sering direfleksikan dengan ung - kapan “demokrasi yang ke - bablasan” karena indi vidu atau kelompok lebih meng utama - kan hak, tapi menomor duakan kewajiban, misalnya merasa berhak menggunakan fasilitas umum untuk me nyuarakan aspi rasi, tetapi pada saat ber samaan tidak peduli jika jutaan orang terganggu karena fasilitas umum itu dikuasai kelompok.

Praktik demo - krasi yang ke bablasan itu bahkan tak jarang su dah sampai pada tahap me lang gar hukum dan perundang-undangan hing - ga ketidakpedu li an pada etika, khususnya etika ketimuran kita. Dalam se jum lah kasus, ekses demokrasi yang kebablasan itu juga sudah me re duksi rasa da - mai dan ke ten te raman karena tergang gu nya ke tertiban umum yang tak jarang pula diselingi aksi-aksi anarkis, persekusi, hing ga tin dak ke kerasan ter - hadap orang lain. Belakangan ini kebebasan menyatakan pendapat dan me - nyuarakan kritik sering kali di - praktikkan dengan cara-cara me langgar hukum dan me na - brak etika. Kritik sering di bum - bui dengan penghinaan, pe leceh an, fitnah, hingga bernuan sa ujar an keben cian.

Karena tumbuhnya kecen derungan se perti itu, ruang kebebasan ber pendapat menjadi area tidak nya man lagi sehingga men do rong jutaan orang mengambil posisi pasif. Kalau dibiarkan, kecen derung an ini akan merusak sendisendi demokrasi. Karena itu, se - telah proses reformasi me ma - suki periode dua dekade pada ta hun ini, demokratisasi Indo - ne sia memerlukan konsolidasi. Konsolidasi harus segera di la - kukan agar demokrasi menjadi bagian tak terpisah dari upaya mencerdaskan semua elemen masyarakat.

Kritik atau Menghina

Selain memberi ruang seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk menyuarakan kritik kepada DPR, UU MD3 hasil revisi pada dasarnya bertujuan mencegah siapa saja untuk melakukan penghinaan, pe - lecehan, penistaan, me lan car - kan fitnah, hingga membuat ung kapan bernuansa ujar - an ke bencian kepada DPR dan ang gota DPR. Hanya itu dan ra sa nya, tidak ada yang salah, pun tidak ada yang berlebihan dari esensi UU ini. Demo - krasi akan sangat beradab dan beretika jika kritik kepada siapa dan apa pun tidak dibumbui dengan peng hi naan, penistaan, pelecehan, serta fitnah.

Sebab pasti sudah dipahami bersama bahwa peng hinaan, pelecehan, penistaan, fitnah, hingga membuat ungkapan ber nuansa ujaran kebencian adalah tindakan tidak ter - puji serta melanggar hukum oleh karenanya dikategorikan delik aduan. Kalau memenuhi unsur (delik), semua orang atau siapa pun dia yang merasa dirugikan atau terganggu bisa langsung meng - ajukan laporan ke pene gak hu - kum sebagaimana diatur dalam KUHP/KUHAP. Hak untuk mendapatkan per lindungan dalam konteks ini adalah hak semua orang, bu kan keistimewaan atau hak yang khusus diberikan kepada DPR dan anggota DPR. Artinya, tidak perlu menjadi anggota DPR dulu untuk memidana orang yang melakukan peng hi naan, penistaan, pelecehan, atau fitnah.

Jika dinilai berpotensi meng ancam demokrasi dan ke - bebasan pers, menjadi hak siapa saja untuk menyoal sejumlah pasal dalam UU MD3. Namun, pihak-pihak yang memper ta - nyakan pasal-pasal dimaksud hendaknya juga bersikap adil dalam menanggapi penjelasan DPR. Sebab sejatinya, tidak ada horor dari UU MD3 itu, ter ma - suk makna Pasal 122 Huruf K, Pasal 245, dan juga Pasal 73. Pasal 245 hanya mene tap - kan bahwa pemeriksaan ang gota DPR oleh penegak hukum terlebih dahulu harus diper ti mbangkan Mahkamah Ke hormatan Dewan (MKD) sebelum dilimpahkan ke presiden untuk pemberian izin pemeriksaan.

Sedangkan Pasal 73 mene tap - kan bahwa DPR atas bantuan polisi memiliki kewenangan memanggil paksa siapa saja yang enggan datang saat di - panggil DPR. Tujuannya tak lain demi memperlancar tugas dan kerja semua alat ke leng - kapan dewan (AKD). Kedua pa - sal ini terbuka untuk diperde - bat kan dan cara terbaik adalah judicial review di MK. Paling dihebohkan adalah Pasal 122 Huruf K yang me - mang memberi wewenang ke - pa da MKD untuk mengambil lang kah hukum atau langkah lain terhadap siapa saja yang me rendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Kritik pub lik jelas-jelas tidak ter masuk di dalam apa yang dimaksud dengan merendahkan ke hormat an DPR dan anggota DPR.

DPR cq MKD hanya akan memberikan respons terhadap pihak-pihak yang melakukan penghinaan, pelecehan, penis - taan, fitnah, hingga membuat ungkapan bernuansa ujaran kebencian kepada DPR dan ang - gota DPR. Itu saja. Jadi, jelas bah wa MKD atau DPR tidak berniat menyoal para pihak yang menyuarakan kritik kepa - da DPR dan anggota DPR. Bisa juga dipastikan bahwa publik tahu betul beda kritik dengan penghinaan, penistaan, peleceh an, dan fitnah. Kebebasan publik untuk menyuarakan kritik kepada DPR tidak boleh dibungkam oleh siapa pun. Namun, siapa pun yang menyuarakan kritik harus tetap berpijak pada hu - kum dan perundang-undangan berlaku. Agar tidak menim bulkan kekacauan, siapa pun yang menyuarakan kritik hendaknya tidak mengabaikan etika.

Kritik yang benar dan ter fokus pada persoalan selalu punya sisi positif. Dia tidak sama dengan menghina, melecehkan, menista, atau memfitnah. Akan rusaklah adab demokrasi kalau kritik disamakan dengan penghi naan, pelecehan, penistaan, atau fitnah. Bukan masalah besar bagi DPR jika sejumlah kalangan keberatan dengan esensi UU MD3 yang sudah direvisi itu. Namun, ada pertanyaan patut dijawab dengan jujur; mereka sekadar mau menyuarakan kritik atau menghina dan merendahkan martabat DPR untuk sekadar mendapatkan panggung? []

KORAN SINDO, 21 Februari 2018
Bambang Soesatyo  ;    Ketua DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar