Peran NU dalam Pembangunan Istiqlal
Usaha Soekarno untuk membangun bangsa ini
menjadi bangsa besar tidak main-main, selain memproklamirkan kemerdekaan, upaya
mencarikan landasan berbangsa dengan menggali sejarah juga dikerjakan. Selain
itu upaya untuk menegakkan harga diri bangsa dengan mencipta karya menumental
juga diusahakan. Maka sejak kemerdekaan kajian sejarah digalakkan dan
pembangunan sarana pendidikan serta pembuatan monumen mulai dari Masjid
Istiqlal (kemerdekaan), Patung Pemuda, Patung Tani, Tugu Selamat datang dan
termasuk Monumen Nasional (Monas). Ini bukan proyek mercusuar seperti dituduhkan
lawannya yang pro-kolonial. Tetapi ini sebuah simbol tegaknya sebuah bangsa
yang mandiri dan bermartabat.
Untuk melaksanakan niat tersebut tentu tidak
mudah, selain tidak punya biaya, juga tantangan dari para musuhnya juga banyak.
Suatu ketika atas desakan warga NU, Saifuddin Zuhri usul menemui Bung Karno,
“Kenapa Bung mendahulukan pembangunan Monas padahal Istiqlal belum selesai,
mendingan diselesaikan dulu Istiqlalnya baru membangun Monas.”
“Bukan begitu Bung Saifuddin” jawab Bung Karno. “Pembangunan
Istiqlal tetap merupakan cita-cita tertinggi saya, tetapi membangun watak
bangsa ini juga tidak kalah pentingnya, yang disimbolkan dalam Monas itu, you
tahu kalau Monas ini gagal saya selesaikan, kemudian saya meninggal, maka tak
seorangpun mau melanjutkan, tetapi kalau Istiqlal tidak berhasil saya
selesaikan, maka seluruh umat Islam akan tergerak menyelesaikan. Tetapi
percayalah saya juga akan segera selesaikan itu Istiqlal”.
“Baguslah Bung,” sahut Saifuddin. “Kami dari
NU akan selalu mendukung gagasan besar Bung”.
Lalu malah Bung Karno balik bertanya pada
Saifuddin Zuhri, apakah ente tahu riwayat Masjid Istiqlal itu.
“Ya itu kan bekas benteng Belanda” jawab Saifuddin. “O.. bukan, ente
keliru. Tempat itu bekas masjid yang dirobohkan kompeni untuk dijadikan benteng” tegas Bung Karno.
“Karena itu benteng kuhancurkan lalu kubangun sebuah masjid terbesar di Asia
Tenggara, hebat nggak presidenmu ini” tanya Bung Karno membanggakan diri. “Ya
tentu sajalah, kalau tidak hebat kan tidak dipilih jadi presiden Bung.”
Bung Karno agak kesal dengan jawaban
Saifuddin yang datar-datar saja, seolah tak mengagumi kehebatannya. Akhirnya
pembangunan terus dilanjutkan, tetapi karena saking besarnya biaya berapapun
yang dimasukkan habis, sementara masjid tak kunjung selesai. Sementara proses
pembangunan terus dijalankan. []
(Munim DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar