Fokus Baru untuk Sela-Sela Hutan Jati
Sudah dimulai: penanaman porang secara masal
untuk meningkatkan penghasilan petani di sekitar hutan jati. Lokasinya di Mrico
Kecut, kawasan hutan yang terletak antara kota Blora dan Cepu.
Sabtu pagi lalu,
lebih 1.000 orang berkumpul di tengah hutan jati tersebut. Mereka terdiri dari
120 kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang. Ketua kelompoknya
adalah karyawan Perhutani yang sudah dididik bagaimana menanam porang yang
benar.
Perum Perhutani, BUMN
yang mengelola hutan jati di seluruh Jawa dan Madura, memang memiliki program
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan. Terutama untuk
memanfaatkan tanah di sela-sela pohon jati.
Berbagai tanaman
sudah dicoba: jagung, empon-empon, ketela, jarak, dan banyak lagi. Tapi
hasilnya sangat minim. Para petani tetap melakukan itu mengingat sesedikit apa
pun hasilnya tetap lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Setahun terakhir ini
direksi Perhutani terus mengevaluasi tanaman apa yang sebenarnya paling cocok
untuk petani di sekitar hutan jati. Empon-empon (temulawak, kunyit, kunyit
putih, jahe) sebenarnya tumbuh dengan sangat baik. Misalnya di hutan jati dekat
Randublatung.
Sabtu siang itu saya
diagendakan melakukan panen empon-empon tersebut. Hasilnya sangat baik. Tapi
harga empon-empon tidak terlalu menjanjikan. Pasarnya pun terbatas. Proses
pasca panennya pun tidak mudah. Terutama proses pengeringannya yang harus
standar. Ini karena empon-empon tersebut akan dipergunakan untuk jamu.
Seorang petani yang
selama ini menanam jagung juga senasib. “Satu hektar paling besar bisa
menghasilkan jagung senilai Rp 500.000,” katanya di acara temu petani tersebut.
Tanaman jarak,
seperti yang dilakukan di Purwodadi, lebih kecil lagi: hanya Rp 150.000 per
hektar. Bahwa mereka tetap menanam komoditi-komoditi tersebut hanyalah karena
daripada tidak ada penghasilan sama sekali.
Mengingat luasnya
hutan jati milik Perhutani, tetap saja harus ditemukan cara terbaik untuk
memanfaatkannya. Daripada di sela-sela pohon jati itu hanya ditumbuhi rumput
liar. Di Kabupaten Blora sendiri, seperti dikemukakan Bupati Blora saat itu,
hampir separo (49%) wilayah kabupaten itu adalah hutan jati Perhutani.
Setelah setahun
diskusi dan evaluasi dilakukan, jatuhlah kesimpulan: tanaman porang adalah
tanaman yang paling tinggi nilai ekonominya. Satu hektar bisa menghasilkan Rp
30 juta per tahun. Ini berdasarkan pengalaman para petani porang di hutan jati
Nganjuk, Jatim. Padahal satu petani bisa saja menanam porang sampai tiga
hektar.
Bahkan di Nganjuk
itu, petani porangnya sudah menjadi juragan kecil-kecilan: mempekerjakan buruh
panen dari wilayah lain. Ini karena kian lama hasil porangnya kian banyak dan
petani tidak sanggup lagi memanennya sendiri.
Masalahnya: untuk penanaman
pertama, hasilnya baru bisa dipanen dua tahun kemudian. Selama menunggu dua
tahun itulah yang perlu dipikirkan petani dapat hasil dari mana. Sedang tanaman
jagung bisa panen dalam waktu empat bulan.
Tim Perhutani,
seperti dikemukakan Dirutnya, Bambang Sukmananto, akhirnya menemukan cara ini:
bagi hasil. Petani, seperti di hutan Mrico Kecut tadi, melakukan penanam
terus-menerus setiap hari. Mereka akan dibayar sesuai dengan luasan tanaman
yang mereka kerjakan.
Kian rajin mereka
menanam kian besar bayarannya. Tiap bulan, petani akan mendapat bayaran sekitar
Rp 700.000. Bisa lebih besar kalau rajin dan bisa turun kalau malas. Selama dua
tahun menunggu, mereka hidup dari bayaran tersebut. Saat panen tiba, mereka
mendapat bagian separo dari hasil porangnya.
Porang (sejenis
umbi-umbian suweg) relatif mudah penanganannya. Tidak banyak hama dan tidak
perlu perawatan yang berat. Cukup hanya membersihkan rumputnya. Bayaran Rp
700.000 per bulan itu memang kecil, tapi jam kerja mereka juga tidak panjang. Mereka
bekerja hanya empat jam sehari. Sisa jam kerjanya bisa tetap untuk mencari
penghasilan lainnya.
Perhutani juga akan
mendirikan pabrik porang di Blora. Tahun depan pabrik itu mulai dikerjakan,
sehingga di tahun 2015, saat panen porang pertama dilakukan pabriknya sudah
berdiri. Bupati Blora sangat bersuka cita. Inilah industri pertama yang akan
berdiri sepanjang sejarah Kabupaten Blora modern.
Bagi Perhutani
mendirikan pabrik porang tidak lagi sulit. Perhutani sudah mulai berpengalaman.
Sudah setahun ini memiliki pabrik tepung porang kecil-kecilan di Pare, Kediri.
Kapasitasnya memang baru 500 ton per hari tapi hasil usahanya sangat baik.
Tepung porangnya memenuhi standar internasional. Pembelinya sampai antre.
Terutama dari Tiongkok dan Jepang. Tepung porang memang menjadi bahan baku kue,
kosmetik, dan obat-obatan. Praktis, pasar tepung porang tidak terbatas.
Karena baru ada satu
pabrik tepung porang, maka pasar luar negeri tidak sabar. Seorang pengusaha
dari Malaysia dan beberapa pedagang dari Tiongkok terus datang ke Indonesia:
ingin investasi di porang. Saya sudah minta kepada Perhutani untuk tidak
membuka pintu dulu. Masih terlalu banyak petani kita yang perlu ditolong.
Mesin-mesinnya pun
bisa dibuat di dalam negeri. Seperti mesin yang di Pare itu buatan Sidoarjo,
Jatim. “Sudah setahun ini tidak pernah rewel,” ujar Pak Kasim pimpinan pabrik
porang di Pare itu.
Bahkan Kasim bisa
mengoperasikan pabriknya setahun penuh tanpa berhenti. Padahal, menurut
perencanaannya dulu, pabrik itu akan mirip pabrik gula: hanya bekerja enam
bulan setahun.
Memanfaatkan
sela-sela tanaman jati di hutan yang berjuta-juta hektar luasnya itu akan terus
menjadi fokus Perhutani. Bahkan, bisa jadi, hasil tanaman selanya ini bisa
lebih besar dari hasil hutan jatinya. Ini mengingat jati baru bisa dipanen
setelah 20 atau 30 tahun. Saya bertekad kabupaten Blora yang miskin bisa
menjadi penghasil porang terbesar di dunia.
Ini akan melengkapi
identitas Blora yang selama ini lebih dikenal sebagai tempat kelahiran
tokoh-tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Benny Murdani, dan tentu
wartawan pertama Indonesia: sang pemula, Adisuryo!
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar