Teror dan Kesadaran Bersama
Oleh: KH. Said Aqil Siradj
Kompas Cetak, Rabu, 15 Mei 2013
Teroris kembali berlaga. Adegan penggerebekan Densus 88 di Bandung
dan Kebumen hingga menewaskan enam terduga teroris menjadi bukti nyata bahwa
teroris masih bergentayangan di sekitar kita. Mereka terus mengintai dan
mencari kesempatan untuk mengoyak kenyamanan hidup masyarakat.
Kita tidak perlu menutup-nutupi fakta bahwa serangkaian tindakan
teroris yang terjadi selama ini menunjukkan model terorisme di negeri kita
bermuarakan pada paham keagamaan. Terorisme jenis ini tak mengenal batas-batas
wilayah. Dengan militansi yang sangat tinggi, dan keyakinan keagamaan akan
kebenaran aksinya, mereka tidak ambil peduli dengan segala bentuk hadangan
ataupun perlawanan dari aparat. Tak pelak, di sisi lain, hal ini merupakan
fakta tidak henti-hentinya menguatnya tafsir pendangkalan dan penyalahgunaan
ajaran keagamaan.
Kecil itu bahaya
Pada umumnya, ular yang beracun atau memiliki bisa yang mematikan
bentuknya kecil. Sebaliknya, ular-ular yang berpostur besar, seperti ular
piton, tidak mempunyai bisa. Namun, yang namanya ular, gerakannya memang sering
tidak terduga. Binatang melata ini, bila menerkam mangsanya, melakukan taktik
klandestin dan nyaris tidak terdengar. Tiba-tiba mangsanya sudah terkapar.
Penisbahan itu bolehlah ditujukan kepada gaya aksi kelompok
radikal dan teroris. Mereka ini bagai ular berbisa, kecil tetapi berpotensi
mengeluarkan racun yang membahayakan. Kalau toh mereka seolah-olah terpampang
besar, tentu ada sebabnya. Ya, kelompok radikal sepertinya terekspos besar.
Sedikit beraksi, kelompok radikal ini mampu mengisi semua pemberitaan media
massa. Bagi teroris, aksi brutal mereka akan dihitung sukses bila membuat
masyarakat panik dan media massa terus berburu mengabarkannya.
Dalam sejarah Islam, kelompok radikal ekstrem selalu berada dalam
jumlah yang kecil. Sekte Khawarij yang dipandang sebagai kelompok awal
munculnya radikalisme dalam masyarakat Islam hanyalah kumpulan kecil
orang-orang yang tidak puas. Sebaliknya, justru kelompok yang moderat yang
memahami ajaran Islam dengan penuh kedalaman jumlahnya jauh lebih besar
sehingga dikenal dengan sebutan sebagai syawadh al-a'dhom.
Kemunculan Wahabi yang melakukan puritanisasi radikal terhadap
ajaran Islam sejatinya juga merupakan kelompok minoritas yang banyak
menyelisihi pandangan mayoritas ulama dan kaum Muslimin. Pendiri Wahabi,
Muhammad bin Abdul Wahab, misalnya, merumuskan konsepsinya tentang thoghut
sebagai cap bagi mereka yang tidak berhukum pada hukum Allah. Di negeri-negeri
Muslim, banyak yang tidak mendukung pandangan-pandangan Wahabi yang sangat
kaku. Begitu pula di Indonesia, jumlah kelompok radikal sebenarnya tidak
seberapa banyak. Mereka terlihat besar karena dibesar-besarkan. Padahal,
pemahaman Islam garda utama di negeri kita sejak penyebaran awal ajaran Islam
di Nusantara sudah membuktikan moderatisme dan akomodasionisme, seperti
dilakukan Wali Songo. Artinya, mayoritas Muslim Indonesia berwatak moderat.
Mereka ini memang kecil-kecil cabai rawit. Mungkin sedikit cocok
untuk menggambarkan keberadaan kelompok radikal dan teroris. Sejumlah
penelitian telah menguak bahwa kelompok yang disebut "inti" di
jajaran mereka akan terus melakukan upaya perekrutan dengan mencari mangsa
baru, utamanya kalangan anak muda yang sedang limbung. Indoktrinasi ideologi
yang mereka tancapkan akan jadi senjata ampuh dalam mencari martir baru. Dari
sinilah akan lahir jajaran "militan" yang menjadi andalan utama dalam
aksi teror.
Tidak berhenti di situ, akan lahir pula kelompok
"simpatisan" yang siap membantu dalam proses menuju aksi teror. Semua
upaya dan langkah kelompok radikal dan teroris selalu dilakukan dengan
membangun tandzim sirri, organisasi rahasia yang bertebaran dan membentuk
beragam model. Konsep ini menjadi alat melakukan perekrutan sebagai bagian dari
jihad melawan mereka yang dituding thoghut dan kafir (takfir). Lingkaran
radikalisme ini akan selalu terbentuk. Ibarat siklus dalam pembentukan
keseimbangan ekosistem, kelompok radikal dan teroris juga terus mengupayakan
keseimbangan dalam "ekosistem" pembiakan mereka.
Kelompok-kelompok "kalap" ini terus bermunculan oleh
suburnya pemikiran dan gerakan sayap radikal di kalangan Muslim. Penyebaran
ideologi radikal kian menyebar dan merasuki generasi muda. Teroris terus
membelah diri dalam bentuk sel-sel yang persebarannya kian merata.
Saat ini muncul fenomena terorisme dalam wujud self
radicalization, sebentuk radikalisme dari generasi baru yang tak jelas
tujuannya. Mereka merekrut dirinya sendiri akibat bacaannya lewat media ataupun
internet dengan motivasi simpati terhadap peristiwa yang dipandangnya sebagai
ketidakadilan. Kasus bom Boston persis mewakili jenis radikalisme itu.
Di negeri kita, tertangkapnya dua teroris di Benhil dan rontoknya
persembunyian teroris di Kebumen dan Bandung disinyalir mereka hendak melakukan
pengeboman di Kedubes Myanmar. Ini terkait dorongan rasa simpati atas
penderitaan Muslim Rohingya. Sebelumnya, kasus peledakan ATM BRI di Sleman,
Yogyakarta, juga mengarah pada tipe self radicalization. Tak berlebihan bila
banyak amatan menyebutkan, saat ini dan masa mendatang ancaman yang patut
diwaspadai adalah self radicalization, bukan hanya bentuk aksi teror dan
ledakan bom.
Partisipasi
Aksi teroris saat ini tampaknya mulai menciut. Pasokan dana adalah
hambatan utama bagi mereka untuk beraksi. Mereka kemudian melakukan perampokan (fa'i)
dan usaha donasi lain. Begitu pula sumber daya manusianya—setelah kematian
Noordin M Top dan Azhari yang dikenal jago membuat bom—juga menipis.
Senjata dan bom yang mereka gunakan juga tak secanggih aksi teror
sebelumnya. Generasi baru teroris yang muncul sekarang juga terlihat
"lugu", tak secerdik generasi sebelumnya. Kepolisian beserta
institusi pemberantasan teroris yang terus menguatkan kebijakan dan strateginya
menjadi lawan tak seimbang bagi teroris. Tak heran, bila persembunyian kelompok
teroris mudah diendus dan segera dilakukan tindakan penangkapan.
Pemberantasan terorisme model Indonesia lebih mengacu pada soft
power, bukan semata hard power. Tindakan pencegahan melalui deradikalisasi
seperti rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi lebih diutamakan
dibandingkan dengan penindakan. Jelasnya, prinsip pemberantasan terorisme lebih
mengarusutamakan supremasi hukum. Penangkapan teroris yang mengakibatkan
tewasnya teroris bukanlah pilihan akhir. Tujuan utamanya menangkap hidup-hidup
teroris dan kemudian menjebloskannya ke penjara. Pemberantasan teroris juga
selalu berpijak pada prinsip indiskriminasi dengan tidak memojokkan pada
kelompok tertentu.
Walhasil, bila melihat suburnya radikalisme dan eskalasi ancaman
terorisme, niscaya yang perlu dikedepankan lagi adalah prinsip partisipasi,
yakni kesadaran dan keikutsertaan masyarakat dalam mewaspadai dan menahan laju
radikalisme dan terorisme. Perang melawan terorisme sesungguhnya adalah
panggilan bersama.
Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar