Merajut Kebersamaan,
Identitas Aliran Selamat
Oleh: Idrus Ramli
Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut ahlil-kitab terpecah-belah
menjadi 72 golongan. Dan, umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72
golongan akan masuk neraka, dan 1 golongan yang akan masuk surga, yaitu
golongan al-jamaah.”
Hadis di atas, dan hadis-hadis lain yang serupa memberikan pesan kepada kita, bahwa umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk ke neraka, dan 1 golongan akan masuk surga. Hadis tersebut tidak berhenti di situ saja, bahkan memberikan penjelasan lagi, tentang identitas 1 golongan yang akan selamat itu, yaitu golongan yang mengikuti mainstream al-jamaah. Di sini lahir pertanyaan penting, apa yang dimaksud al-jamaah tersebut?
Menurut para ulama, kata al-jamaah dalam Hadis di atas mengacu pada arti kebersamaan dan kolektifitas, sehingga kata al-jamaah tersebut merupakan identitas golongan yang selalu memelihara sikap kebersamaan, kerukunan dan kolektifitas. Hal tersebut akan terwujud menjadi kenyataan apabila pengikut golongan tersebut majahui adanya perpecahan dengan meninggalkan sikap saling mengkafirkan, membid’ahkan dan memfasikkan, meskipun diantara mereka terjadi perbedaan pendapat. Pengertian tersebut seiring dengan ayat al-Qur’an.
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِى شَيْءٍ, إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلىَ اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْن. (ألأنعام : )159(
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah
agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah Allah.” (QS.
Al-An’am [06]: 159).
Ayat di atas memberikan pengertian bahwa orang-orang yang membuat perpecahan dalam agama dan menciptakan golongan-golongan, maka mereka telah meninggalkan jalan yang benar.
Dari sini ulama mengatakan, identitas pengenal golongan yang selamat (al-firqatun-nâjiyah) dalam Islam adalah sikap mereka yang selalu menjaga kebersamaan dan kolektifitas. Sehingga dengan demikian, sesuai dengan realita yang ada, Ahlussunnah Waljamaah, yang dalam hal ini adalah pengikut Mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi, adalah golongan yang selamat (al-firqatun-nâjiyah), karena mereka selalu menjaga kebersamaan dan kolektifitas. Tali persatuan di antara mereka selalu terajut dengan kokoh. Perbedaan pendapat di antara mereka, tidak sampai menimbulkan perpecahan dan menyebabkan mereka terkotak-kotak dalam beberapa golongan dan aliran, karena perbedaan di kalangan mereka hanya menyangkut soal-soal furu’ (ranting dan cabang ajaran), bukan soal ushûl (pokok-pokok ajaran).
Hal tersebut berbeda dengan aliran-aliran sempalan di luar Ahlussunnah Waljamaah, di mana perbedaan pendapat di antara mereka kerapkali menimbulkan perpecahan dan menebarkan sikap saling mengafirkan, membid’ahkan, dan memfasikkan. Seperti yang terjadi di kalangan Syiah Imamiyah, Zaidiyah, dan lain-lain. Hal inilah yang membedakan Ahlussunnah Waljamaah dengan aliran-aliran sempalan. Ahlussunnah Waljamaah identik dengan kebersamaan, sedangkan aliran-aliran sempalan identik dengan perpecahan. Sikap saling mengafirkan, membid’ahkan, dan memfasikkan dalam satu aliran dewasa ini juga menjadi trend di kalangan intern Wahabi. Apabila Anda berkunjung ke dunia maya, dengan mengakses situs www.azahera.net, http://al7ewar.net/forum, atau http://vb.alaqsasalafi.com, Anda akan mendapati bagaimana para ulama Wahabi yang dahulu mendistribusikan vonis bid’ah, kufur, dan syirik terhadap kaum Muslimin selain mereka, kini mereka mengarahkan tuduhan bid’ah dan kafir tersebut terhadap sesama Wahabi-nya.
Misalnya Abdul Muhsin al-‘Abbad dari Madinah
menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud at-Tuwaijiri dari Riyad menilai
al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahabi di
Saudi Arabia yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi Fatwa
Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan al-Ghudyan, serta ketuanya
Abdul Aziz Alus-Syaikh, memvonis Ali Hasan al-Halabi, ulama Wahabi yang tinggal
di Yordaniya, berfaham Murji’ah dan Khawarij. Kemudian Husain Alus-Syaikh yang
tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mangatakan bahwa yang membid’ahkan
al-Halabi adalah ahli bid’ah, dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam
fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa
Safar al-Hawali, pengikut Wahabi Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin
Yahya an-Najmi, Wahabi Saudi Arabia, memvonis al-Huwaili dan al-Mighrawi yang
tinggal di Mesir membawa faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari
dari Bahrain, menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahabi Saudi yang lainnya mengikuti
faham Murji’ah.
Di Indonesia sendiri, perpecahan sekte yang menamakan dirinya Salafi tersebut, dibeberkan oleh penulis mereka dengan buku “Dakwah Salafi Dakwah Bijak. Hal itu hanya menjadi bukti, bahwa Wahabi bukan Ahlussunnah Waljamaah atau al-fiqatun-nâjiyah. (Wallâhu a’lam).
*) Penulis adalah Alumni Santri Sidogiri, berdomisili di Kencong-Jember.
Sumber: Buletin Sidogiri, edisi-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar