“Bantal Emas” dari Negara Tropik
Senin, 20 Mei 2013
Durian montong (bantal emas) lagi ditanam
secara massal di PTPN VIII Jawa Barat. Saat ini sudah tertanam 250 hektar, dan
akhir tahun nanti sudah menjadi 1.500 hektar.
Tiap tahun jumlahnya
terus meningkat hingga mencapai 3.000 hektar. Maka tiga tahun lagi tidak perlu
impor bantal emas itu. (Montong dalam bahasa Thailand berarti bantal emas).
Manggis jenis
wanayasa saat ini juga sudah tertanam sebanyak 250 hektar. Seperti juga si
bantal emas, akhir tahun ini sudah akan mencapai 1.500 hektar.
Dadi Sunardi, Dirut
PTPN VIII memilih jenis wanayasa karena buahnya yang tidak terlalu besar. Pasar
internasional tidak menyukai manggis yang terlalu besar. Dengan ukuran yang
kecil-kecil, begitu manggis dibuka isinya bisa dikorek dengan sendok teh.
Sambil menunggu
pohon-pohon buah tropik tersebut tinggi, Dadi menanam pisang dan pepaya di
sela-selanya. Tidak ayal kalau PTPN VIII kini sudah menghasilkan
berkontainer-kontainer pepaya dan pisang.
Itu menggambarkan
bahwa apa yang dicetuskan tahun lalu di Kementerian BUMN kini sudah mulai
menjadi kenyataan. Selama ini kawasan tersebut dipaksa ditanami teh. Padahal
ketinggiannya tidak sampai 400 meter di atas permukaan laut.
Dulu, Belanda hanya
mau menanam teh di lahan yang ketinggiannya di atas 600 meter. Tapi entah
bagaimana di zaman Orde Baru lalu, lahan-lahan PTPN VIII yang di bawah 400
meter pun ditanami teh. Akibatnya PTPN VIII selalu mengalami kerugian ratusan
miliar rupiah dari lahan yang ditanami teh secara paksa ini.
Hampir saja saya
memutuskan untuk menanam sorgum di lahan-lahan tersebut. Agar PTPN VIII
terhindar dari kerugian. Bahkan keputusan sudah dibuat.
Untungnya, Rektor
Institut Pertanian Bogor Prof Dr Herry Suhardiyanto segera datang ke
Kementerian BUMN bersama para ahli IPB. Rombongan ini membawa ide perlunya
penanaman buah tropik secara besar-besaran dengan sIstem korporasi.
Saya langsung
menerima ide tersebut. Saking senangnya saya sampai memukul meja keras-keras
hari itu. Sampai-sampai Pak Rektor dan para ahli itu kaget. “Ini baru IPB!”
Teriak saya sambil memukul meja saat itu.
Saya baru sadar bahwa
Indonesia sebagai negara tropis ternyata kurang memperhatikan kemampuannya
menghasilkan buah tropik. Buah tropik lebih banyak dihasilkan oleh
pekarangan-pekarangan rumah. Saking kecilnya produksi buah tropik sampai-sampai
kita menyebutnya sebagai barang yang eksotik. Dan kita bangga dengan sebutan
itu. Padahal dengan gelar eksotik berarti jumlahnya sangat sedikit.
Itulah sebabnya
mengapa kita diserbu buah impor besar-besaran. Ketua Ikatan Alumni IPB, Dr Said
Didu, menyebut impor buah kita mencapai Rp 17 triliun setahun. Belum lagi
bicara potensi yang bisa kita ekspor mengingat negara seperti Tiongkok yang
berpenduduk 1,3 miliar orang, tidak bisa memproduksi buah tropik.
Sebagai negara empat
musim Tiongkok hanya bisa memproduksi jenis buah-buah tertentu. Akan sangat
lebar peluang kita untuk mengekspor buah tropik ke Tiongkok. Dengan demikian
banjirnya buah dari Tiongkok akan kita imbangi dengan banjirnya buah tropik di
Tiongkok.
PTPN XII di Jatim
juga sudah memulai. Pisang, pepaya, melon emas, dan kacang makadamianya sudah
mulai menghasilkan. Singgih Irwan Basri, Dirut PTPN XII mengatakan akan terus
menanam buah tropik di lahannya yang mencapai 60.000 ha. Di samping menanam
sorgum di tanah-tanah marginalnya. Tahun ini tanaman sorgumnya sudah bisa
mencapai 3.000 hektar. Irwan juga bergerak cepat sehingga soal sorgum dan
tanaman buah tropik yang baru digagas tahun lalu sudah mulai terlaksana di
lapangan.
Pengalaman seorang
praktisi di Jateng, Pratomo, tanaman buah tropik benar-benar harus digalakkan
di Indonesia. Setelah terjun ke buah tropik sejak lima tahun lalu, Pratomo
menyimpulkan tanahnya menghasilkan di tas Rp 100 juta per tahun per hektar.
Tidak ada yang di bawah Rp 100 juta. Bandingkan dengan hasil tanaman tebu,
padi, dan palawija.
Di antara
tanaman-tanaman buah tropik itu, menurut Pratomo, buah naga yang hasilnya
paling besar. Bisa mencapai Rp 150 juta per hektar tahun. Durian menduduki
ranking kedua dengan Rp 130 juta per hektar per tahun. Kelengkeng, seperti
jenis itoh, bisa menghasilkan Rp 120 juta per hektar tahun. Bandingkan dengan
karet yang hanya sekitar Rp 20 juta per hektar per tahun.
Syaratnya, tanaman
buah tropik tersebut ditanam dengan sistem yang benar, dipupuk dengan benar,
dan dirawat dengan benar. Bukan dibiarkan tumbuh apa adanya seperti pohon buah
milik perorangan yang ada di pekarangan-pekarangan. Kelengkeng itoh, misalnya, satu
pohon bisa menghasilkan 150 kg. Buahnya kesat, kadar manisnya mencapai 22, dan
tidak mudah berubah coklat.
Salah satu bentuk
perawatan yang diperlukan adalah memperbaiki sistem pengairannya. Terutama
untuk musim kemarau. Pratomo selalu membuat kolam di puncak bukit. Kolam itu
dilapisi membrane. Di musim hujan, kolam seluas 40 x 60 meter tersebut
menampung air hujan.
Air itulah yang
dialirkan melalui pipa-pipa kecil ke pohon-pohon di sekitarnya tanpa biaya
pompa karena kolamnya berada di lokasi paling tinggi. Setiap kolam bisa
mengairi 20 hektar tanaman buah tropik selama musim kemarau.
Pekan lalu IPB
mengadakan acara besar untuk menandai dimulainya gerakan menanam buah tropik
dengan sistem korporasi ini. Di situ diadakan pameran buah tropik yang menyajikan
penemuan-penemuan varitas baru.
BUMN akan menangkap
semua pemikiran dan penemuan yang ditelorkan oleh IPB itu. Revolusi oranye bisa
dimulai oleh IPB. Setelah PTPN VIII dan PTPN XII, yang lain pun termasuk yang
di Sumut dan Jateng akan segera mengikutinya.
Indonesia adalah
negara tropis yang sangat besar. Harus menjadi penghasil buah tropik yang
terbesar pula. Dalam waktu yang tidak terlalu lama.(*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar