Makna Perginya Orang-orang
Saleh
Oleh: Syarif Hidayat S.
Belakangan ini, umat Islam Indonesia kembali
dilanda kesedihan dengan wafatnya sejumlah ulama, sejak Kiai Ahmad Warsun
Munawwir Yogyakarta, Kiai Abdullah Mlangi Yogyakarta, sampai Kiai Abdullah
Syifa Akyas Buntet Cirebon.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada peristiwa setahun silam, di mana Kiai Munif Djazuli Ploso, Kiai Abdullah Faqih Langitan, Kiai Sofyan Situbondo, Kiai Fawaid Syamsul Arifin Situbondo serta Mbah Liem Klaten juga meninggalkan kita. Fenomena kewafatan ulama ini cukup mengharukan, khususnya yang terjadi sejak 10 tahun terakhir di berbagai negara.
Dalam sebuah risalahnya, Kiai Soleh Ndarat
Semarang pernah berujar bahwa kewalian seseorang terlihat manakala dia wafat.
Jika pada saat wafat, para pelayat demikian melimpah atau peziarah ke makamnya
begitu banyak, maka hampir mendekati kepastian bahwa orang wafat tersebut
merupakan wali Allah. Dalam tradisi sufisme, mustahil mengetahui derajat
kewalian seseorang hanya berdasar parameter publik. Seorang wali hanya akan
diketahui status kewaliannya oleh wali lainnya. Namun, risalah Soleh Ndarat
mengajarkan kepada kita tips sederhana apakah seorang mukmin termasuk wali atau
tidak hanya dengan melihat banyak tidaknya pelayat yang hadir.
Ketika Almarhum Sayyid Muhammad bin Alwi Al
Maliki Al Hasani wafat pada Ramadan tahun 2004, hampir 300 ribu pelayat hadir
di kota Mekkah. Jumlah pelayat yang demikian banyak itu menunjukkan betapa
besar pengaruh Imam Muhaddits tersebut. Meski semasa hidup Abuya dicap sesat
oleh sejumlah ulama Wahabi, namun kharismanya terpancar jelas pada saat beliau
wafat. Jumlah pelayat yang sedemikian banyak memecahkan rekor para pelayat di bumi
manapun di Arab Saudi. Bahkan, ketika ulama Wahabi wafat seperti Syekh Abdul
Azis Bin Baz jumlah pelayat tak sebanyak itu.
Fenomena pelayat pada pemakaman Abuya
menunjukkan bahwa penduduk Hijaz sebenarnya adalah pengagum Abuya Muhammad Al
Maliki Al Hasani. Seandainya kaum Wahabi toleran dan tak memaksakan
pendapatnya, kita yakin bahwa penduduk Hijaz adalah sepenuhnya penganut ahlu
sunnah waljamaah. Doktrin Wahabi yang gampang mengkafirkan orang membuat gerak
para penganut ahlu sunnah wal jamaah menjadi terbatas. Doktrin Wahabi sendiri
berasal dari Nejed dan bukan Hijaz. Penaklukan Hijaz oleh Ibnu Saud dan
pemaksaan paham Wahabinya menyebabkan penduduk Hijaz terpaksa menjadi Wahabi.
Jumlah pelayat yang besar juga terlihat pada
pemakaman tokoh-tokoh besar yang selama hidupnya dianggap nyeleneh. Contoh
aktual adalah pada figur Gus Mik dan Gus Dur. Dua tokoh bersahabat yang sering dituding
menyimpang oleh kalangan puritan tersebut justru menuai banyak simpati ketika
wafat. Pemakaman Gus Miek dan Gus Dur dihadiri oleh banyak orang. Ada cerita
menarik tentang Gus Dur dan Gus Mik. Dalam sebuah tulisannya di Kompas, Gus Dur
menyebut betapa jitunya Gus Mik meramalkan bahwa Gus Mik akan dimakamkan di
makam Tembak bersama Kiai Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Faktanya, Gus Mik memang
dimakamkan di Tembak, sama dengan Kiai Ahmad Siddiq, namun tidak dengan Gus Dur
yang dimakamkan di Tebuireng.
Kaum puritan menggunakan ketidaktepatan
realitas ini sebagai amunisi bahwa Gus Mik bukan wali. Karena ramalan Gus Mik
bahwa Gus Dur akan dimakamkan di Tembak tidaklah tepat. Namun, kaum puritan tak
paham bahwa sufisme bukanlah soal identifikasi tentang akurasi. Sufisme
berbicara tentang siginifikansi. Sufisme berjalan dengan logika fuzzy, logika
yang lebih mementingkan momentum signifikansi daripada presisi sebuah
peristiwa.
Wali adalah terma khas kaum sunni dan syiah.
Kewalian berkait erat dengan tingkat kesucian tertinggi dalam hidup yaitu al
arif billah. Dalam kosmologi sufisme, wali adalah pelindung bagi sebuah negeri.
Wali juga berkait erat dengan kapasitas keilmuan seseorang. Seorang wali sudah
pasti alim. Namun ada wali yang mengikuti parameter akademik keilmuan Islam,
ada juga yang tidak. Para wali dari kelompok muhadditsin merupakan wali dari
kelompok akademik Islam. Contohnya adalah Imam Syafi’i, Jalaludin Suyuti, Imam
Nawawi atau Izzudin Bin Abdul Salam. Mereka terlacak kapasitas keilmuan
agamanya, termasuk dari gelar akademik ilmu hadits seperti Al hafidz, Al Hujjah
ataupun Imam.
Namun ada wali yang tak terlacak standar
keilmuannya. Selama hidup para wali ini biasanya hanya belajar agama
“sekedarnya”. Namun, kealimannya tak bisa ditolak. Di masa nabi, wali jenis ini
contohnya adalah Uways Al Qorni. Tradisi sufi juga mencatat nama sufi tersohor
murid Hasan Bashri, Habib Al Ajami. Al Ajami tercatat sebagai seorang alim yang
lidahnya terbata-bata dalam berbahasa Arab. Indonesia modern mengenal Gus Mik pada
wali tipe ini. Secara lahiriah, Gus Mik hanya belajar agama seadanya. Tapi
banyak orang mengakui kealiman Gus Mik termasuk mereka yang secara lahiriah
belajar agama secara metodologis dan sistemis seperti kiai Hamid Pasuruan dan
Kiai Ahmad Siddiq.
Para wali nyeleneh hidup dalam suasana
beragama meminjam istilah Charles Le Gai Eaton disebut ex-centric, yaitu
dimensi yang jauh dari centre agama bersangkutan. Namun, dalam sufisme sendiri
ex centric justru berkait erat dengan ladunni, pemberian ilmu langsung dari
Tuhan. Hampir semua wali memiliki ini, lebih-lebih yang di luar standar
keilmuan yang digariskan.
Prinsip sufi sendiri berporos pada konsep
Inna lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun. Tafsir Jalalain menyebut ucapan diatas
sebagai istirja’ yang menurut hadits-hadits Abu Dawud dibaca ketika
terjadi sesuatu yang mengecewakan kaum muslim. Di tangan kaum sufi, konsep ini
mengajarkan tentang tiga hal, bahwa manusia adalah milik Allah, dari Allah dan
seharusnya menuju kepada Allah. Martin Lings menyebutnya sebagai direction
consciousness (kesadaran terhadap arah), di mana arah kesadaran ini tiada lain
adalah segalanya untuk Allah. Arah spiritual di mana konsentrasi batin
ditujukan secara serius berkombinasi dengan konsentrasi lahir.
Dalam sufisme, kematian bukanlah
keterputusan. Kematian adalah jalan terabas bagi para pendoa. Para peziarah
tetap menjalin harmoni dengan rajin berdoa, bertawassul dan membaca quran di
makam para kekasih Tuhan. Kematian adalah insiden Kosmik, namun menggambarkan
kulminasi sebuah harmoni baru tentang hubungan antara manusia. Kematian ulama
besar mengajarkan kepada kita agar kita juga selalu menuju kepada Allah.
Orientasi hidup kaum muslim yang banyak melenceng justru merupakan bukti bahwa
konsep kaum muslim hari ini hanya berporos pada Inna Lillah tapi tidak Wa Inna
Ilaihi Rajiun. Banyak muslim mengakui prinsip berasal dari Allah tapi
mengabaikan prinsip menuju Allah. []
* Penulis adalah Pengurus LTN MWC NU Kota
Sumenep. Alumni Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar