Mbah Bisri Syansuri:
Teladan Disiplin, Tawaduk, dan Nasionalis
Kiai Haji Bisri Syansuri dilahirkan oleh
seorang ibu yang bernama Siti Rohmah dan ayah yang bernama Syansuri[1]
di desa Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah, pada 23 Agustus 1887 atau bertepatan
dengan 05 Dzulhijjah 1304 H[2] dan bernama asal Mustajab.[3]
Syansuri dan Siti Rohmah mempunyai lima (5)
anak. Anak pertama dari dua pasangan suami istri ini bernama Mas’ud, anak
lelaki sesuai dengan harapan keluarga di daerah itu pada umumnya. Kedua adalah
seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Bisri[4]
(Mustajab) adalah anak ketiga, dan setelah itu masih ada lagi dua anak lagi
yang dilahirkan dalam keluarga ini, yaitu Muhdi dan Syafa’atun.
KH. Bisri Syansuri menikah dengan Hj.
Chodidjah dan pada tahun yang sama, kedua suami isteri baru itu kembali ke
tanah air (1914). Dari pernikahan tersebut KH. Bisri Syansuri mendapatkan enam
keturunan, anak pertama yaitu Kiai Achmad Athoillah, lahir pada 18 Juni 1916
(17 Sya’ban 1334 H), kedua Nyai Moeasshomah lahir pada 06 Juli 1921 (29 Syawal
1339 H), ketiga Nyai Solichah lahir pada 19 Desember 1923 (11 Jumadil Awal 1344
H), keempat Moesjarrofah, 31 Desember 1925 (15 Jumadil Akhir 1344 H), kelima
Moechamad Aliaschab, 03 Agustus 1929 (27 Safar 1348 H) dan keenam Moechamad
Sochib, 22 November 1951 (23 Rajab 1351 H).[5]
KH. Bisri Syansuri dalam kehidupannya
memiliki keteguhan hati dan disiplin organisasi yang ditunjukkan dalam salah
satu kondisi, misalnya keterbentukan MPRS yang sempat menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan internal Nahdlatul Ulama.
KH. Bisri Syansuri menganggap DPR sebagai lembaga yang antidemokrasi.[6]
Bagi Kiai Bisri, ikut serta dan bergabung dengan dan dalam lembaga DPR yang
tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat adalah bertentangan dengan ilmu fiqih yang
dipegangnya.[7]
Berbeda dengan kelompok NU lainnya yang
dipelopori oleh sahabat karibnya, Kiai Wahab Chasbullah yang memutuskan untuk
menerima keanggotaan dewan perwakilan rakyat tunjukan dari presiden. Alasan
Kiai Wahab menerima karena amar makruf nahi mungkar yang dipegang warga NU.[8]
Di sisi lain KH. Bisri Syansuri menghargai keputusan Kiai Wahab dengan tetap
mempersilahkan anggota konstituante dari hasil pemilu 1955 untuk menerima dan
menjadi anggota MPRS dengan alasan bahwa Kiai Wahab adalah pimpinan tertinggi
dalam Partai Nahdlatul Ulama harus dihormati keputusannya dan menjadi titik
kesepakatan keorganisasian atau kepartaian.
Sifat tawaduk KH. Bisri Syansuri tidak
diragukan lagi, hal ini terbukti ketika sedang terjadi pemilihan Rais Aam yang
seolah-olah melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama
berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Aam dengan Kiai Bisri
yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar
dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak.
Kiai Wahab menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan
adalah sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri. Demikian halnya Kiai
Bisri yang memperoleh kemenangan juga dengan sangat rendah hati. Walaupun telah
dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan,
bahwa selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri
tidak bersedia menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk
mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada Kiai Wahab
Chasbullah.”
Kemudian sikap berbeda ditunjukan oleh KH.
Bisri Syansuri, ketika kalangan ulama dan muslim merespon program pemerintah,
yaitu Keluarga Berancana (KB). Mereka mengartikan dan menafsirkan KB sebagai
program pengendalian jumlah penduduk. Pada waktu program Keluarga Berencana
diperkenalkan dalam kalangan muslim, terjadi pertentangan karena dianggap
bertentangan dengan ajaran agama Islam.[9] Selain itu juga, Keluarga Berencana
(KB) menurut para muslim merupakan bentuk pengebirian umat Islam dan dapat
menghambat peningkatan pemeluk agama, karena dengan memperbanyak anak maka
pemeluk agama tersebut akan meningkat.[10] Namun KH. Bisri
Syansuri melihat masalah tersebut dengan pandangan berbeda, yang pada akhirnya,
program Keluarga Berencana didukung oleh organisasi masyarakat Islam seperti
NU. Saat itu, Ulama NU, KH. Bisri Syansuri dengan merujuk pendapat Imam
Al-Ghazali memperbolehkan KB dengan niat untuk kemaslahatan umat dalam berumah
tangga.
Kiai Bisri dalam banyak sikapnya selalu
berpegang teguh pada tekstualitas fikih dan kaedahnya. Namun, menyangkut hajat
orang banyak, hajat dan maslahat masyarakat banyak, dalam hal ini misalnya
terkait dengan KB, Kiai Bisri seolah-olah melompat dari kebiasaan
tekstualitasnya. Ya, sikap Kiai Bisri ini dapat kita maknai sebagai upaya
kontekstualisasi fikih dan ajaran agama, sekaligus membuktikan sikap
kenegaraannya; sikap nasionalismenya. []
(Yusuf Suharto dan Muhammad Hilmi)
1)
Jamal Ghofir, Biografi Singkat Ulama
Ahlusunnah Wal Jama’ah Pendiri dan Penggerak NU (Yogyakarta: GP Ansor Tuban,
2012), hlm. 161.
2)
Arsip Nasional Republik Indonesia,
III-6 Pendaftaran orang Indonesia jang terkemoeka jang ada di Djawa, Kijai
Hadji Moechamad Bisri.
3)
Silsilah bani Abd. Shomad.
4)
Nama Bisri dipakai ketika Mustajab
(Bisri) pulang haji dari Mekkah, wawancara dengan Mustajab Muhdi salah satu
kemenakan KH. Bisri Syansuri, pada 15 November 2012 di kediamannya Jombang.
5)
Arsip Nasional Republik Indonesia,
III-6 Pendaftaran orang Indonesia jang terkemoeka jang ada di Djawa, Kijai
Hadji Moechamad Bisri.
6)
Andrée Feillard, “Nu Vis-à-vis Negara:
Pencarian Isi, Bentuk dan Makna”, (Cet. III, Yogyakarta:LKiS, 2009), hlm. 54
7)
Ibid.,
8)
KH. A. Aziz Masyhuri, Kiai 99
Kharismatik Indonesia: Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-Doa Ulama yang
Diwariskan, (Jombang: Pustaka Anda Jombang, 2010), hlm. 206
9)
“Dan Kami jadikan kamu kelompok yang
lebih besar” [Al-Isra :6], “Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah
sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A'raf : 86]. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi
penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan
umat-umat yang lain di hari kiamat (dalam riwayat yang lain : dengan para nabi
di hari kiamat)”. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa'i 2/71,
Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah, hal.29,
Adabuz Zifaf hal 60) ; Al-Baihaqi 781, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 3/61-62].
10) Prof.
Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA. Banyak Anak Banyak Pejuang, Harian Kompas, 10
Agustus 2012. (lihat: cetak.kompas.com/read/2012/08/10/02253181/banyak.anak.banyak.pejuang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar