Menghidupkan Kembali Ekonomi Pantai Barat
Ernie Djohan angkat telepon. “Saya harus
hadir,” ujarnya kepada General Manager Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Dalsaf
Usman begitu mendengar pelabuhan itu akan mengadakan perhelatan besar:
peresmian pelabuhan peti kemas, pekan lalu. “Saya itu “pemilik” Teluk Bayur.
Masak gak diundang?” gurau penyanyi yang lahir pada 1951 tersebut.
Dalsaf tidak hanya
mengundang penyanyi Teluk Bayar itu, bahkan juga memintanya untuk menandai
peresmian tersebut dengan cara mencelupkan dua telapak tangannya ke adonan
semen sebagai prasasti. “Waktu Teluk Bayur saya nyanyikan, sama sekali tidak
disangka kalau lagu itu akan top. Apalagi bisa membuat saya menjadi penyanyi
Indonesia pertama yang memperoleh piringan emas,” kata Ernie di atas panggung.
Saya juga tidak
menyangka bahwa Pelabuhan Teluk Bayur bisa dimodernisasikan seperti sekarang
ini. Di masa lalu pelabuhan ini terkenal dengan pelayanannya yang buruk. Kapal
harus antre dua minggu. Apalagi waktu kawasan itu terkena gempa. Kapal-kapal
barang kalah total dengan kapal yang membawa bantuan darurat.
Padahal, gempanya
beberapa kali. Peralatan PLTU baru yang sangat besar (2 x 100 MW) di Teluk
Sirih, sekitar satu jam dari Teluk Bayur, misalnya, pernah tertahan
berbulan-bulan karena kapalnya tidak bisa merapat di Teluk Bayur.
Banyak yang
berpendapat bahwa Teluk Bayur baru bisa baik kalau dilakukan investasi
triliunan rupiah. Tidak bisa kalau tidak dibangun dermaga yang baru. Tapi R.J.
Lino, Dirut Indonesia Port Corporation (IPC) -nama baru PT Pelindo II (Persero)-
yang membawahkan Teluk Bayur, berpendapat lain. Dia yakin Teluk Bayur bisa
teratasi secara total kalau modernisasi peralatan dan manajemen dilakukan.
Waktunya juga bisa lebih cepat karena dua hal: tidak perlu membangun dermaga
baru dan tidak perlu antre anggaran APBN. IPC bisa mengusahakan dana sendiri
sekitar Rp 800 miliar.
Tahun ini semuanya
selesai. Gubernur Sumbar Prof Dr Irwan Prayitno, yang sejak awal mendesak BUMN
untuk mengatasi Teluk Bayur, meresmikan modernisasi itu. Saya bersama Ernie
Djohan, tokoh Sumbar Azwar Anas, R.J. Lino, dan empat operator crane pelabuhan
mendampinginya.
Perubahannya memang
drastis. Kini kapal sama sekali tidak perlu antre untuk masuk Teluk Bayur.
“Zero waiting time,” ujar Lino. Kapan saja kapal datang langsung bisa merapat.
Inilah contoh penyelesaian masalah besar dengan biaya yang tidak terlalu besar:
modernisasi manajemen dan peralatan. Semula banyak pengusaha yang meragukan.
Hari itu saya ajak
tiga pengusaha dari Jakarta untuk membuktikannya. Begitu melihat peresmian
tersebut, mereka langsung memutuskan: ekspor cangkang sawit ke Eropa langsung
dari Teluk Bayur.
Begitulah. Kalau
berita gembira ini diketahui para pengusaha, mereka akan mengirim kapal ke
Teluk Bayur tanpa ketakutan kapalnya didenda karena terlalu lama menunggu. Arus
barang dari dan ke Sumbar akan meningkat drastis. Ekonomi akan tumbuh lebih
cepat.
Selama ini peran
pantai barat Sumatera memang meredup. Kian digeser oleh pantai timur seperti
Riau. Ekonomi pantai barat Sumatera terus digeser pantai timur. Kini pantai
barat bisa kembali bergairah.
Apalagi, Pelabuhan
Pulau Baai, Bengkulu, juga sedang dibenahi habis-habisan. Sudah bertahun-tahun
pelabuhan itu praktis mati. Hanya tongkang dan kapal kecil yang bisa masuk.
“Pintu masuk” ke pelabuhan itu tertutup pasir. Perdebatan terlalu lama untuk
mengatasinya: dikeruk atau dibuatkan breakwater. Tepatnya breaksand. Pola ombak
di situ memang mengakibatkan pasir akan selalu datang ke “pintu masuk”
Pelabuhan Pulau Baai.
Lino, yang juga
membawahkan Pulau Baai, bukan tipe orang yang banyak omong dan banyak mikir.
Dia tipe orang yang langsung berbuat. Dia keruk “pintu masuk” itu. Toh, hanya
selebar 300 meter dengan panjang sekitar 2 km. Pasir hasil kerukannya pun bisa
dia manfaatkan untuk urukan bagian-bagian rawa di kawasan pelabuhan. Sekaligus
menyiapkan lahan yang luas untuk penataan kawasan pelabuhan itu.
Lino juga membangun
pelabuhan curah yang baru yang bisa mencapai kedalaman 14 meter. Berarti awal
tahun depan kapal-kapal besar sudah bisa masuk Bengkulu. Kalau pelabuhan baru
itu selesai akhir tahun ini, giliran pelabuhan lamanya diperbarui sistem dan peralatannya.
Kini pun dengan pengerukan “pintu masuknya” yang sudah selesai, perusahaan
pelayaran seperti Meratus sudah berani membawa kontainer ke Bengkulu. Saya
langsung menelepon pemilik Meratus untuk mengucapkan terima kasih atas
kepeloporannya menghidupkan Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu.
Pulau Baai sangat
potensial dikembangkan. Pelabuhan ini seperti dikelilingi “cincin” daratan yang
berfungsi sebagai penahan ombak dari segala sisi. Kalau salah satu bagian dari
“cincin” itu tidak dikeruk, rasanya cincin tersebut akan terbentuk dengan
sempurna sehingga pelabuhan itu hanya akan jadi sebuah danau besar yang
terkurung.
Dengan posisi
pelabuhan seperti itu, Pulau Baai menjadi pelabuhan yang amat tenang. Kapal
bisa bongkar muat kapan saja, di musim apa saja. Ini yang akan membuat
pelabuhan tersebut memiliki keunggulan. Kelemahannya itu tadi, “pintu
masuk”-nya harus selalu dikeruk. Sampai kelak ditemukan cara lain yang lebih
permanen.
Maka, di samping
Teluk Bayur, Pelabuhan Pulau Baai ikut memperkuat ekonomi pantai barat
Sumatera. Mobil-mobil untuk Bengkulu yang selama ini dikirim melalui darat dan
ikut memadati penyeberangan Merak-Bakauheni kini sudah bisa dikirim langsung
melalui Pulau Baai. Batu bara dan minyak sawit dari sekitar Bengkulu juga
sudah bisa keluar dari Pulau Baai. Tahun depan, dengan selesainya pelabuhan
besar, Pulau Baai akan sangat ramai.
“Sekarang saja sudah
kelihatan hidup. Sudah banyak kapal yang bersandar di sini,” ujar Gubernur
Bengkulu Junaidi Hamsyah yang mendampingi saya naik kapal melihat wilayah
“pintu masuk” yang baru selesai dikeruk itu.
Akankah pantai barat
Sumatera akan memasuki era baru lagi setelah lama ditinggalkan pantai timur?
Insya Allah begitu. Di sisi bawah ada Pulau Baai. Di tengah ada Teluk Bayur.
Tinggal sisi atas yang masih harus menunggu pembenahan di Sibolga dan Meulaboh.
Zaman dulu, pantai
barat Sumatera adalah urat nadi utama. Lalu digeser pantai timur seiring dengan
kian terbukanya Selat Malaka. Juga kian majunya ekonomi pantai timur setelah
ekonomi kelapa sawit mendominasi. Ke depan, ketika ukuran kapal kian besar dan
Selat Malaka kian rawan, bisa jadi pantai barat Sumatera kembali memegang peran
utamanya. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar