Kesetiaan Ksatria
Yudhoyono Diuji Kanjeng Ratu Elizabeth II
Minggu, 05 Mei 2013 ,
09:15:00 WIB
Oleh: Adhie M.
Massardi
PENGUASA kerajaan
Inggris Raya, Kanjeng Ratu Elizabeth II, sedang menguji salah satu ksatrianya:
Knight Grand Cross in the Order of the Bath Susilo Bambang Yudhoyono.
Mata ujian dari Kanjeng Ratu bagi Knight Yudhoyono memang tidak begitu rumit. Tidak seperti cobaan bagi sang pangeran yang hendak mempersunting seorang putri dalam dongeng anak-anak Eropa karya HC Andersen.
Knight Yudhoyono hanya dites seleranya tentang sebuah kantor kecil di kabupaten Oxford, bagian tenggara wilayah kerajaan Inggris. Apakah sama dengan kanjeng Ratu atau tidak.
Bagi kita, ini memang perkara very-very sepele. Kalau toh beda selera dengan Ratu, apa urusannya? Apa masalahnya? Setiap orang kan seleranya bisa berbeda. Ini pikiran kita. Tapi tidak bagi Knight Yudhoyono.
Karena kantor itu milik Benny Wenda dkk yang berada di bawah panji Free West Papua Campaign (FWPC). Pekerjaan mereka di kantor yang diresmikan pada 28 April lalu itu adalah mengampanyekan Papua (Barat) merdeka.
Kantor kecil di Oxford itu memang bikin geram banyak orang Indonesia. Bukan kepada Wenda dkk. Tapi kepada pemerintah Inggris. Karena peresmiannya dihadiri para pejabat kerajaan Inggris. Antara lain Walikota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi dan anggota parlemen Andrew Smith.
Sebagai orang Indonesia, apalagi sekarang kebetulan sedang menjadi presiden RI, sudah sepatutnya Yudhoyono juga geram terhadap pemerintahan kerajaan Inggris. Tapi ini mustahil.
Sebagai penyandang gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath (ksatria penjaga palang pintu besar kamar mandi) dari Ratu Elizabeth, Ksatria Yudhoyono secara moral wajib taat kepada kerajaan Inggris. Itu hukum tak tertulis bagi semua penerima gelar dari Ratu.
Bahkan John Lennon, orang Inggris paling urakan pada masanya (1960-an), tidak berani memprotes kebijakan pemerintah Inggris yang mengirimkan mesin perangnya ke Vietnam membantu Amerika, dan turut campur dalam perang sipil di Nigeria-Biafra, Afrika. Padahal John Lennon dan istrinya, Yoko Ono lagi giat-giatnya kampanye "damai di bumi".
Soalnya dia dan kawan-kawannya dari grup The Beatles, kadung dianugerahi Ratu Elizabeth II Members of the British Empire (MBE) sehingga layak menyandang gelar "Sir" seperti manajer pelatih klub sepakbola sohor Manchester United, Sir Alex Ferguson.
Makanya, kalau Knight Yudhoyono keukeuh mau protes kepada pemerintah Inggris yang mendukung adanya kantor Papua Merdeka, apa kata dunia? Bisa dianggap melanggar etika dan kepatutan seorang ksatria kerajaan Inggris. Inilah ujian yang bagi kita sepele tapi bagi yang bersangkutan rumitnya minta ampun.
Tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Karena bukankah dalam setiap persoalan Tuhan juga menyediakan jawabannya?
Salah satu jawaban bagi Yudhoyono yang saya rekomendasikan adalah mengikuti langkah yang ditempuh John Lennon. Ini jalan paling cocok. Apalagi John Lennon kan juga sama-sama penyanyi dan pengarang lagu, seperti Yudhoyono.
Waktu itu, tepatnya Selasa, 25 November 1969, John Lennon mengirim surat kepada Ratu Elizabeth dan ditembuskan kepada Perdana Menteri Harold Wilson sekaligus mengembalikan gelar MBE itu ke kerajaan Buckingham.
Kalau Yudhoyono mau mengutip, begini bunyi suratnya: "Your Majesty, I am returning my MBE as a protest against Britain's involvement in the Nigeria-Biafra thing, against our support of America in Vietnam and against 'Cold Turkey' slipping down the charts. With Love, John Lennon."
Semoga tulisan ini menginspirasi penyanyi dan pencipta lagu dari Pacitan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengikuti langkah penyanyi dan pencipta lagu asal Liverpool John Lennon yang mengembalikan gelar dari kerajaan Inggris Raya.
Padahal kan Vietnam dan Nigeria-Biafra yang dibela John Lennon bukan apa-apanya vokalis The Beatles itu. Tapi itu lebih penting dari sekedar gelar.
Apakah tanah Papua lebih penting dari gelar "ksatria" Kerajaan Inggris, yang bukan apa-apanya bangsa Indonesia kecuali penghisap kekayaan alamnya? [***]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar