Demokrasi di Tangan Tukang Copet
Mohamad Sobary | Rabu, 22 Mei 2013 - 14:23:23 WIB
Di eksekutif dan legislatif, copet-mencopet lebih mengerikan. Nama
resminya korupsi.
"Dilihat dari tingkah laku semata, kira-kira bagaimana tukang
copet memandang kebenaran?”
“Dia tidak percaya, setidaknya tidak peduli pada kebenaran
tertinggi, kebenaran agamis, dengan segenap akibat yang kelak—padahari
pengadilan sejati—harus dipikul setiap manusia.”
“Hanya jenis kebenaran itu yang tak dipercayainya?”
“Tidak. Dia juga tidak percaya pada kebenaran lain, kebenaran
menurut ukuran orang banyak.”
“Apakah dengan begitu berarti tukang copet tak percaya akan adanya
kebenaran dalam hidup ini?”
“Percaya. Dia percaya juga adanya kebenaran.”
“Tapi mengapa dia merampas seenaknya—dan ada kalanya dengan
kekerasan—hak milik orang lain?”
“Ya, itulah kebenaran bagi tukang copet.”
“Merampas, mencopet, dan sering dengan kekerasan tadi, merupakan
kebenaran? Landasan pikiran edan dan akal busuk macam apa yang dipakainya untuk
menganggap hal itu sebuah kebenaran?”
“Ada. Namanya kebenaran menurut dirinya sendiri. Bagi tukang
copet, perampasan macam itu dianggap kebenaran.”
“Itu kebenaran di rimba raya namanya. Singa menangkap anak rusa
dan merobek-robeknya, kemudian memangsanya dengan kejam tanpa pernah ada
tuntutan pengadilan atas tindak jahanamnya. Hanya di rimba raya hal itu bisa
dibenarkan. Itu hukum rimba.”
“Hanya di rimba raya? Hukum rimba tak terjadi hanya di rimba raya.
Dalam birokrasi, di kalangan eksekutif, hukum rimba yang lebih rimba dibanding
hukum harimau menerkam anak rusa, dipraktikkan dengan baik. Di sana hukum rimba
dipelihara. Termasuk oleh mereka yang menyebut diri beragama.”
“Terkutuk. Bukankah itu hanya terjadipada zaman tiran yang kejam
dan tak berperikemanusiaan? Itu sudah lama lewat.”
“Di mana hal itu sudah lama lewat? Sudah disebut di atas, dalam
birokrasi kaum eksekutifhal itu masih merupakan best practice yang dijunjung
tinggi. Di kalangan legislatif pun tak ada bedanya. Apalagi pada legislatif
yang berperan sebagai pengawas yang merangkap pelaksana. Jahat sekali. Juga
kejam. Tapi mereka tak menganggapnya begitu. Bagi mereka itu tingkah laku baik,
mungkin terpuji.
Pendeknya, di sana kekejaman melebihi kejamnya singa menerkam anak
rusa. Di sana, kekejaman jelas jauh melebihi kejamnya tukang copet yang
merampas hak milik orang dan mengancam korbannya. Dibanding kejahatan itu, kita
tergoda betul untuk berkesimpulan, kejahatan tukang copet masih mengandung
sopan santun. Mereka masih punya sedikit tenggang rasa.
Di eksekutif dan legislatif, copet-mencopet lebih mengerikan. Nama
resminya korupsi. Definisinya menakutkan, extra ordinary crime againsts
humanity. Disebut begitu karena koruptor ibaratnya mengisap darah rakyat,
bangsanya sendiri, tanpa belas kasihan. Mengerikan definisi maupun wujud
tindakannya. Tapi mereka tidak takut, dan tidak ngeri. Biasa saja. Makin banyak
korup, bagi mereka makin baik.”
“Baik nenek moyangmu?”
“Baik menurut mereka. Benar menurut mereka.”
“Di sini ada pengadilan. Ada jaksa yang mulia, dan hakim yang
terhormat.”
“Mulia dalam sesebutan saja. Tindakan
mereka—mayoritas—jugaberkiblat pada makna kebenaran menurut diri sendiri.”
“Kalau begitu mereka pun—takpeduli jaksa tak peduli hakim, yang
mulia tadi—harus ditangkap KPK. Builah tempat mereka.”
“Sudah banyak yang dihajar KPK. Tapi orientasi nilai berbeda itu
yang membuat bandit pencopet tidak takut. KPK berbicara dalam bahasa manusia.
Mereka berbicara dalam bahasa hewan. Bahkan, hewan terhina yang melata-lata di
kotoran-kotoran yang paling kotor sekalipun.”
“Apa mereka tidak takut dengan KPK, dan itu berarti tidak takut
dibui, dibikin malu,dan rusak nama baiknya?”
“Sudah sejak Orde Baru mereka berlatih untuk tidak menggunakan
rasa malu sebagai ukuran dalam hidup. Rasa malu mereka sudah dimatikan sejak
saat itu.”
“Tapi nama baik mereka?”
“Nama baik apa? Mereka sudah sejak lama tidak punya nama baik.”
“Tapi mereka kaum sekolahan, bukan?”
“Ya. Tak diragukan lagi. Beberapa di antaranya Sarjana Hukum.”
“Jadi jelas mereka mengerti hukum, bukan?”
“Betul, sangat jelas. Tapi apa artinya tahu hukum yang dibikin
manusia? Terhadap hukum-hukum Tuhan pun mereka tak peduli. Apalagi hukum buatan
kaum reformis—produk hukum sekarang—yang di sana-sini bahkan bertentangan
dengan konstitusi. Lagipula,bukankah pengadilan hanya sebuah basa-basi? Apa
yang ditakutkan?”
“Bukankah mereka mengerti demokrasi?”
“Betul. Mereka paham. Tapi di tangan mereka—baik eksekutif maupun
legislatif tadi—demokrasi diubah makna dan definisinya sedemikian rupa, hingga
demokrasi tak menghalangi pencopetan besar-besaran tadi.”
“Diubah? Menjadi demokrasi macam apa?”
“Demokrasinya tukang copet.Mereka—jelas sudah disebut di
atas—bukan sembarang tukang copet. Ini copet besar-besaran, sampai rakyat yang
dicopet menjadi miskin, dan akan miskin secara abadi. Tapi copetnya kaya raya.”
Sumber: Sinar Harapan
--
yasir wa la tu’asir
Hidayat memandang PKS akan dijungkalkan melalui kasus suap kuota impor daging ini. Hidayat menengarai ada konspirasi tingkat tinggi dalam kasus ini, bahkan bisa melibatkan zionis. (detik.com, 01/02/13)
Hidayat memandang PKS akan dijungkalkan melalui kasus suap kuota impor daging ini. Hidayat menengarai ada konspirasi tingkat tinggi dalam kasus ini, bahkan bisa melibatkan zionis. (detik.com, 01/02/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar