Macam-macam Nazar dan Sanksi bagi Pelanggarnya
Setelah membahas tentang pengertian dan ketentuan-ketentuan dalam nazar, selanjutnya kita akan membahas macam-macam nazar serta sanksi bagi orang yang melanggar atau tidak menepati perbuatan yang dinazarkan olehnya.
Nazar secara umum terbagi menjadi dua pembagian.
Pertama, nazar lajjaj.
Nazar lajjaj adalah nazar yang bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang melakukan suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang.
Contoh nazar lajjaj yang berupa motivasi adalah perkataaan seseorang “Jika aku tidak mengkhatamkan membaca buku ini selama tiga hari, maka aku akan bersedekah senilai satu juta rupiah”. Pengucapan nazar demikian dimaksudkan agar ia termotivasi segera mengkhatamkan bacaan bukunya dalam waktu yang cepat, sebab jika hal tersebut tidak ia lakukan maka ia berkewajiban menyedekahkan uangnya senilai satu juta rupiah. Sehingga nazar ini sejatinya dimaksudkan agar seseorang termotivasi atau semakin tertuntut untuk melakukan suatu hal yang bermanfaat baginya.
Contoh nazar lajjaj yang berupa pencegahan, seperti ketika seseorang mengatakan “Jika aku berbicara lagi dengan Fulan, maka aku akan bersedekah senilai satu juta rupiah”. Nazar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan Fulan. Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban menyedekahkan uang satu juta rupiah. Sehingga nazar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan suatu hal yang tidak ia senangi.
Sedangkan contoh nazar lajjaj yang bertujuan untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang, misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk bersedekah senilai satu juta rupiah padamu”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa yakin atas kebenaran sebuah kabar yang disampaikan olehnya.
Kedua, nazar tabarrur.
Nazar tabarur adalah menyanggupi akan melakukan suatu ibadah (qurbah) tanpa menggantungkannya pada suatu hal, atau menggantungkannya dengan suatu hal yang diharapkan (marghub fih). Nazar tabarrur ini juga dikenal dengan nama nazar mujazah.
Contoh nazar tabarur yang tidak digantungkan pada suatu hal, seperti ucapan “Aku bernazar akan bersedekah senilai satu juta rupiah” maka wajib bagi seseorang yang mengatakan hal tersebut untuk menyedekahkan uangnya senilai satu juta tatkala ia sudah memilikinya. Kewajiban menyedekahkan ini bersifat kewajiban yang lapang (wujub muwassa’), dalam arti seseorang tidak wajib untuk segera menyedekahkan uang tersebut (faur) saat ia telah mampu, tapi bisa dilakukan kapan pun selama ia tidak memiliki keyakinan tidak akan memiliki uang senilai satu juta rupiah lagi. Jika ia yakin tidak akan memiliki uang senilai satu juta rupiah selain pada waktu tersebut maka ia wajib menyedekahkan uangnya sebelum habis digunakan untuk keperluan lain (Syekh Abdul Hamid al-Makki As-Syarwani, Hawasyi As-Syarwani, juz 10, hal. 75).
Namun meski begitu, sebaiknya ia segera melaksanakan nazar agar segera pula terbebas dari tanggungan kewajiban. Sebab seringkali ketika pelaksanaan kewajiban ini diakhirkan, seseorang akan teledor hingga lupa tidak melaksanakannya.
Sedangkan contoh nazar tabarrur yang digantungkan pada sesuatu yang diharapkan, misalnya seperti ucapan “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, aku akan bersedekah senilai satu juta rupiah”. Kesembuhan penyakit merupakan sebuah hal yang diharapkan oleh seseorang, ketika penyakitnya telah sembuh, maka ia berkewajiban untuk menyedekahkan uang senilai satu juta sebagai wujud nazar tabarrur yang telah diucapkan olehnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nazar secara umum terbagi menjadi dua bagian, yakni nazar lajjaj dan nazar tabarrur. Sedangkan jika dibagi secara rinci, maka nazar terbagi menjadi lima. Sebab nazar lajjaj terdiri dari tiga macam. Sedangkan nazar tabarrur terdiri dari dua macam. Segala bentuk nazar yang diucapkan oleh seseorang pasti termasuk salah satu di antara lima bentuk nazar di atas.
Nazar yang Dapat dan Tak Dapat Dilanggar
Di antara berbagai macam nazar di atas, bentuk nazar yang dapat dilanggar oleh seseorang hanya berlaku dalam nazar lajjaj saja. Di balik nazar lajjaj terkandung motif atau maksud si pengucap nazar: entah menyemangati diri sendiri, menghindarkan diri, atau mempengaruhi orang lain.
Sementara dalam nazar tabarrur tidak tergambarkan bahwa nazar tersebut dapat dilanggar oleh seseorang, sehingga tidak ada jalan lain bagi orang yang mengucapkan nazar tersebut selain harus melakukan perkara yang telah ia sanggupi.
Dari ketiga macam nazar yang tercakup dalam nazar lajjaj, semuanya dapat dilanggar--dengan konsekuensi menggantinya dengan membayar denda. Misalnya pada kasus nazar motivasi, dapat dilanggar ketika seseorang tidak memenuhi target pelaksanaan yang ia nazarkan. Dalam nazar pencegahan, dapat dilanggar ketika seseorang melakukan hal yang semula ia nazarkan tak akan dilakukan. Dan dalam nazar meyakinkan sebuah kabar, dapat dilanggar ketika ternyata kabar yang disampaikan adalah sebuah kebohongan.
Ketika melakukan nazar lajjaj, seseorang diberi pilihan antara melaksanakan hal yang ia nazarkan (al-manzur bih, misalnya bersedekah satu juta rupiah) atau membayar denda sumpah (kafarat yamin), yakni memilih di antara melakukan salah satu dari tiga hal: (1) memerdekakan budak, (2) memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan setiap orang miskin diberi satu mud makanan pokok (0,6 kilogram atau ¾ liter beras), atau (3) memberikan pakaian pada sepuluh orang miskin. Jika tidak mampu melakukan satu pun dari ketiga hal di atas, maka wajib untuk berpuasa selama tiga hari.
Meskipun seseorang ketika melanggar nazar lajjaj diperbolehkan memilih di antara kedua pilihan di atas (melakukan hal yang dinazarkan atau membayar denda sumpah), namun yang paling baik baginya adalah memilih pilihan yang bernilai paling banyak. Jika bernazar akan menyedekahkan uang senilai satu juta rupiah, sedangkan memberi makanan untuk sepuluh orang miskin hanya menghabiskan biaya dua ratus ribu rupiah, maka yang lebih utama baginya adalah melakukan hal yang ia nazarkan. Begitu juga sebaliknya, jika hal yang dinazarkan hanya menyedekahkan seratus ribu rupiah, sedangkan memberi makanan sepuluh orang miskin menghabiskan tiga ratus ribu rupiah, maka yang lebih utama adalah membayar denda sumpah (Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri, Syarah al-Yaqut an-Nafis, hal. 874).
Bernazar bukanlah sebuah kewajiban. Namun, saat nazar itu kadung terucap maka ada kewajiban yang mesti dilunasi. Pada kasus nazar tabarrur, kewajiban tersebut adalah realisasi janji sesuai bunyi nazar itu. Tak ada pilihan lain, termasuk membayar kafarat. Melanggarnya punya konsekuensi dosa bagi pengucap nazar, sebagaimana nazar lajjaj ketika tak ditepati tapi sekaligus juga tak diganti dengan membayar kafarat. Wallahu a'lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar