Kamis, 09 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Cara Tradisional Pemulasaraan Jenazah Pasien Covid-19 bagi Masyarakat Kepulauan

Cara Tradisional Pemulasaraan Jenazah Pasien Covid-19 bagi Masyarakat Kepulauan

 

Dasar utama penanganan korban meninggal akibat wabah penyakit menular di dalam hukum positif adalah didasarkan pada UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 tentang Revisi ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19). 


Masing-masing dari aturan itu fokus berbicara tentang penanganan jenazah pasien korban wabah menular pada layanan kesehatan, mencegah transmisi penularan penyakit dari jenazah ke petugas kamar jenazah, dan mencegah terjadinya penularan penyakit dari jenazah ke pengunjung, termasuk keluarganya.


Idealnya aturan tersebut berlaku bagi korban yang meninggal di rumah sakit atau jasa layanan kesehatan dan ditangani oleh petugas jasa kesehatan. Repotnya, untuk beberapa wilayah kepulauan di tanah air, tidak memiliki lembaga tempat karantina pasien.

 

Repotnya lagi, pasien yang diduga positif mengidap wabah menular, tidak bisa menggunakan jasa transportasi kapal untuk menyeberang ke wilayah-wilayah pulau lain yang sudah dijadikan sebagai tempat rujukan pasien. Mengapa? Sebelum naik ke atas kapal, ada prosedur standar pencegahan penularan yang sudah dilakukan oleh petugas dinas setempat. Akibatnya, orang yang teridentifikasi tertular tidak dapat menyeberang sehingga harus tetap berada di kepulauan itu, dan berjuang sendiri menanganinya. 


Lebih repot lagi, ketika terjadi korban meninggal. Umumnya masyarakat kepulauan yang beragama Islam akan dengan serta merta memandikan mayit korban wabah menular. Padahal, tindakan ini sudah positif berbahaya bagi yang memandikan sebab transmisi penyakit sangat besar kemungkinan terjadi saat itu. 


Tidak hanya bagi yang memandikan, kepada keluarganya dan para pentakziah yang lain, serta petugas penggali kubur dan sekaligus petugas yang menurunkan mayat ke dalam kubur juga rentan tertular wabah. Sadar atau tidak sadar, hal ini besar kemungkinan terjadi pada penduduk kepulauan di tengah merebaknya wabah. Apalagi ditambah lalu lalang keluar masuknya penduduk setempat yang bepergian setiap harinya ke wilayah-wilayah yang berzona merah untuk keperluan niaga, menambah semakin rentannya penduduk kepulauan untuk terinfeksi wabah menular. 


Untuk mengantisipasi hal itu, maka perlu kiranya disampaikan dalam tulisan ini mengenai beberapa prosedur standar minimal dalam syariat, bila terjadi korban meninggal akibat wabah menular akibat coronavirus. Prosedur ini pastinya dengan tetap mempertimbangkan: 


1. Faktor keselamatan bagi masyarakat yang bertugas menangani jenazah korban wabah. Bagaimanapun juga, Allah SWT telah melarang hamba-Nya untuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan (Surat Al-Baqarah ayat 195).


2. Jenazah korban wabah menular tetap dapat dipulasarkan sesuai tuntunan yang dibenarkan oleh syariat.


3. Allah SWT menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan (Surat Al-Baqarah ayat 185).


Beberapa prosedur yang berhasil penulis adopsi adalah sebagai berikut:


Pertama, bila terjadi korban meninggal, maka yang harus dilakukan oleh para pentakziah dan keluarga korban, adalah segera memakai prosedur minimal kesehatan. Misalnya, memakai baju yang terbuat dari plastik sederhana, atau mantel yang bisa melindungi dirinya dan keluarganya dari penularan. Masker merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan, sebab coronavirus merupakan penyakit yang tinggal pada saluran mukosa hidung, dan bisa bertransmisi melalui pernapasan. (Dokumen Resmi Negara Per 16 Maret 2020, Pedoman Pencegahan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19), Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maret 2020, halaman: 52)


Kedua, hendaknya segera menutup seluruh lubang mayit, khususnya hidung dan mulut dengan “solasi”, dan segera menyemprot dengan menggunakan larutan antiseptik (alkohol 70%), lalu menyiapkan jenazah untuk dipulasarkan. Semua pakaian yang berhubungan dengan mayit, bantal dan lain sebagainya, sebaiknya dijauhkan dari jangkauan keluarga yang masih sehat dan para pengunjung. (Dokumen Resmi Negara, 2020: 53).


Ketiga, setelah jenazah disemprot dengan larutan antiseptik, jenazah hendaknya dihindarkan dari orang yang melakukan pemulasaran dengan menggunakan air, sebab air merupakan mediator transmisi virus yang paling cepat. Pemulasaran tradisional yang paling aman bagi masyarakat umum dalam kasus wabah semacam ini adalah dengan menayamumkan korban meninggal dengan alasan sebagaimana disebutkan pada poin pertama.


إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غُسِّل لتَهَرَّى، لم يُغَسَّل بل يُيَمَّم ، وهذا التيمم واجب ؛ لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة ، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم كغسل الجنابة ، ولو كان ملدوغاً بحيث لو غُسَّل لتَهَرَّى أو خيف على الغاسل يُمِّم لما ذكرناه


Artinya, “Bila sulit memandikan mayit sebab ketiadaan air atau mayit gosong sebab terbakar, dengan sekira jika dimandikan justru berakibat merusak, maka ia tidak dimandikan, melainkan cukup ditayamumi. Hukum menayamumi ini adalah wajib, karena tayamum menjadi wasilah bagi penyucian yang tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis. Kewajiban berpindah pada menayamumi ini juga berlaku bagi pihak yang tidak bisa tersentuh air, seperti sebab mandi janabah. Meski kondisi mayit itu hancur, dengan sekira bila dimandikan maka menjadi terkelupas, atau timbul kekhawatiran bagi orang yang memandikannya, maka cukup dengan menayamumkannya, sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz 5, halaman 178 dan I’anatut Thalibin, juz II, halaman 127). 


Setelah selesai pemulasaran, maka disarankan agar mayit kembali disemprot larutan antiseptik, lalu dikafani.


Keempat, semua petugas yang menangani dan mengangkat mayit ke tempat pemulasaraan hingga penguburannya wajib menggunakan perangkat pengaman standar, seperti masker, hand sanitizer atau cairan pembersih tangan, baju kedap air yang bisa dibikin dari plastik dan yang terpenting bisa menghindar dari kontak langsung dengan tubuh mayit. Setiap penanganan hendaknya dilakukan secara hati-hati guna menghindari diri dari tertular.


Penguburan mayit hendaknya disegerakan dan tidak menunggu waktu yang melebihi waktu 4 jam untuk menghindari hal-hal yang diluar dugaan dan berbahaya bagi kesehatan. (Dokumen Resmi Negara, 2020: 55-56).


Kelima, mayit yang selesai ditajhizkan, hendaknya dikafani dengan kafan standart kemudian dibungkus dengan plastik yang bisa dirobek dengan mudah. Tujuan dari membungkus korban dengan plastik ini, adalah untuk menghindari adanya cairan yang keluar dari mayit yang diduga menjadi perantara penyebaran virus. Atau bisa juga dengan memasukkannya ke dalam peti mati, tanpa perlu dibuka lagi. (Dokumen Resmi Negara, 2020: 57).


Keenam, ketika mayit dimasukkan ke dalam peti mati, hendaknya posisinya sudah dalam kondisi tidur miring, dengan bagian mukanya yang disentuhkan dengan tanah yang ditempatkan di dalam peti tersebut. Tujuan dari memiringkan posisi mayat korban ini adalah agar posisi mayit bisa menghadap kiblat saat sudah ditaruh di dalam kubur. Karena bagaimanapun, menghadapkan mayit ke arah qiblat, hukumnya adalah wajib. 


وَوَضْعُهُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَاجِبٌ، كَذَا قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ. قَالُوا: فَلَوْ دُفِنَ مُسْتَدْبِرًا أَوْ مُسْتَلْقِيًا نُبِشَ وَوُجِّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ. فَإِنْ تَغَيَّرَ لَمْ يُنْبَشُ


Artinya, “Dan meletakkan mayit menghadap kiblat hukumnya wajib, demikian jumhur ulama memastikan hukumnya. Mereka berpendapat: ‘Andaikan mayit dikubur dengan membelakangi kiblat atau terlentang, maka harus digali dan dihadapkan ke arah kiblat selama belum berubah. Bila sudah berubah maka tidak boleh digali,’” (Lihat An-Nawawi, Raudhat Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1405 H], juz II, halaman 134).


Demikian kiranya yang bisa dirangkum oleh penulis mengenai prosedur standar bagi kalangan awam dalam melakukan pemulasaran mayit korban wabah menular di wilayah kepulauan, yang mana proses pemulasarannya harus dilakukan oleh masyarakat secara mandiri.


Prosedur ini diadopsi dengan mengkombinasikan antara buku pedoman standar penanganan wabah menular coronavirus terbitan Direktorat Jenderal Penanganan Penyakit per Maret 2020 dan beberapa hasil keputusan bahtsul masail NU tentang corona virus. Wallahu a’lam. []


Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar