11 Pesan Rasulullah pada Muadz bin Jabal yang Layak Kita Pedomani
Nasihat-nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menarik untuk
disimak. Kandungan pesannya yang mendalam membuatnya tak lekang dimakan zaman.
Tutur sapanya yang lembut membuat hati siapa pun yang dinasihati merasa
terenyuh, tersentuh, dan tak merasa digurui, apalagi tersinggung. Demikian pula
pesan dan nasihat beliau yang pernah disampaikan pada Mu‘adz ibn Jabal
radliyallahu ‘anhu.
اقْتَدِ بِنَبِيِّكِ يَا مُعَاذُ وَعَلَيْكَ الْيَقِينُ وَإِنْ كَانَ فِي عَمَلِكَ تَقْصِيرٌ، وَاقْطَعْ لِسَانَكَ عَنْ إِخْوَانِكَ، وَلْتَكُنْ ذُنُوبُكَ عَلَيْكَ، وَلَا تَحْمِلْهَا عَلَى إِخْوَانِكَ، وَلَا تُزَكِّ نَفْسَكَ بِتَذْمِيمِ إِخْوَانِكَ، وَلَا تَرْفَعْ نَفْسَكَ بِوَضْعِ إِخْوَانِكَ، وَلَا تُرَاءِ بِعَمَلِكَ النَّاسَ وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
Artinya, “Ikutilah nabimu, hai Mu‘adz. Tetaplah berkeyakinan walau dalam amalmu terdapat kekurangan, hentikan lisanmu mencela saudara-saudaramu, cukuplah akibat dosamu untukmu sendiri, jangan bawa akibat dosa-dosa itu kepada saudara-saudaramu, jangan bersihkan diri dengan mencela saudara-saudaramu, jangan mengangkat diri dengan merendahkan saudara-saudaramu, jangan riya pada orang lain dengan amalmu, sebab Allah adalah Dzat Pemberi taufik” (Syekh al-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin, [Surabaya: Harisma], hal. 208).
Dalam hadits di atas, setidaknya ada 6 pesan yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Muadz ibn Jabal. Walau ditujukan kepada Muadz, sejatinya pesan ini untuk kita semua sebagai umatnya.
Pertama, ikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana sumbernya adalah Al-Qur’an dan sunnah. Siapa pun yang berpegang kepada keduanya, tidak akan tersesat. Demikian dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. “Aku tinggalkan dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya. Kedua perkara itu Kitabullah dan sunah nabi-Nya.”
Namun seringkali kita terbatas dalam memahami keduanya. Karena itu, kita perlu penjelasan dan pendapat para ulama yang mumpuni di bidangnya. Jika tidak, kita bisa malah terjebak dalam pemahaman yang salah. Dan juga harus diingat, pendapat para ulama itu beragam dan tidak sama. Namun semuanya berdasarkan dalil dan hasil ijtihad masing-masing. Sehingga selayaknya kita tidak merasa memiliki pendapat paling benar dan selalu melihat pendapat orang lain salah. Lihatlah para ulama dahulu dalam bersilang pendapat. Imam Asy-Syafi‘i misalnya. Beliau mengatakan, “Pendapatku ini benar, tetapi mungkin ada salahnya. Pendapat orang lain keliru, tetapi mungkin ada benarnya.”
Kedua, perkuat keyakinan walau dalam amal kita terdapat kekurangan. Sebab, hanya keyakinan yang melandasi dan mendasari setiap amal perbuatan. Tetaplah beramal seraya memperbaiki titik-titik kekurangannya. Teguhkan tauhid, perkuat keimanan, dan perbanyak ilmu dengan banyak berguru kepada para ulama yang takut pada Allah, bukan ulama yang semata mengejar popularitas dunia, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,” (QS Fathir: 28).
Ketiga, hentikan lisan dari mengumbar keburukan saudara-saudara kita. Jangan menyibukkan diri dengan mencari-cari atau menyebarluaskan aib orang lain, sementara dalam diri sendiri masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Alih-alih saling menjelekkan, kita justru harus saling menguatkan dan saling mendamaikan. Tatkala ada kekurangan, jangan lekas menghakimi, namun harus saling memperbaiki, sebagaimana pesan Al-Qur’an, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi pahala yang besar kepadanya,” (QS Al-Nisa’ [4]: 114).
Keempat, cukuplah akibat dosa-dosa kita, kita sendiri yang menanggung. Jangan bawa akibat dosa-dosa itu kepada saudara-saudara kita. Secara tidak langsung, kita dituntut untuk tidak merugikan orang lain. Daripada banyak memberi kerugian, mestinya kita banyak memberi manfaat kepada orang banyak. “Sebaik-baiknya manusia adalah yang banyak memberi manfaat kepada sesama.” Demikian tutur pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat al-Thabrani. Demikian pula dalam pesannya, “Muslim yang baik adalah Muslim di mana orang-orang Muslim lainnya selamat dari kejahatan lisan dan tangannya,” (HR. Abu Dawud).
Kelima, jangan bersihkan diri dengan mencela orang lain, dan jangan tinggikan diri dengan merendahkan orang lain. Untuk menjadi orang yang baik dan menunjukkan diri sebagai orang baik tidak perlu harus mencela orang lain.
Begitu pula untuk mengangkat diri sendiri tidak perlu merendahkan orang lain. Keenam, jangan pernah riya dalam beramal. Pada hakikatnya, amal yang kita lakukan semata karena taufik dan pertolongan Allah. Karena itu, tak ada yang pantas kita sombongkan dan kita bangga-banggakan. Sadarilah, dengan riya, amalan menjadi sia-sia. Pantaslah para ulama menyebut riya sebagai syirik yang samar. Kebalikan dari sifat ini ialah ikhlas. Artinya, beramal semata karena Allah, bukan karena ingin dilihat, didengar, dan dipuji oleh makhluk.
Hadits serupa juga disebutkan oleh al-Mundziri dalam Targhib wat Tarhib. Hanya saja ada tambahan 5 pesan lainnya, yaitu: (1) Jangan masukkan amalan dunia ke dalam amalan akhirat; (2) jangan takabur di dalam majelismu agar orang-orang waspada akan keburukan akhlakmu, (3) jangan panggil seseorang (yang jauh) sementara di sampingmu masih ada yang lain, (4) jangan merasa agung di hadapan manusia sebab engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat; (5) jangan mencabik-cabik kehormatan orang lain, sebab engkau akan dicabik-cabik oleh anjing-anjing neraka pada hari Kiamat. (Lihat: al-Mundziri, at-Targhib wat Tarhib, [Beirut: Darul Kutub], 1417 H, jilid 1, hal. 39).
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar