Setetes Cahaya di
Perjalanan Malam Peradaban Dunia
Oleh: Ar Rasyid Fajar
Nasrullah
Bagai awan hitam
kelam yang membawa badai pada sore hari, kehadiran pasukan Mongol di kancah
perhelatan percaturan dunia pada masa itu menjadi sesuatu yang paling tidak
ditunggu-tunggu. Pasukan yang diprakarsai oleh salah seorang panglima perang
terkenal seantero jagat ini–Jengis Khan--membuat was-was kerajaan-kerajaan di
dunia pada saat itu. Bangsa yang hampir saja menguasai seluruh dunia ini,
memang dikenal memiliki pasukan yang pemberani, 'ganas', sekaligus kejam.
Berbagai penaklukan
telah mereka lancarkan. Salah satunya adalah penaklukan China yang terjadi pada
tahun 1211-1216 M. Tak terelakkan juga bahwa negeri-negeri Muslim pun turut
menjadi incarannya. Kota sastra Bukhara dan Samarkhand adalah dua dari sekian
banyak saksi tak bisunya. Meskipun perlawanan sempat digencarkan oleh pasukan
dari Bani Saljuk (Turki) di bawah pimpinan Aladin Muhammad, rupanya Allah
berkehendak lain. Serangan bangsa Mongol tak terbendung, Aladin dan pasukannya
pun gagal menahan serbuan mereka.
Adapun salah satu
serangan bangsa Mongol yang terganas bagi umat Islam ialah pada tanggal 10
Februari 1258 Masehi, yaitu ketika cucu Jengis Khan–Hulagu Khan—dengan membawa
pasukan sebanyak 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad–pusat Dinasti
Abbasiyah—.Al Mustasim yang merupakan seorang khalifah Dinasti Abbasiyah pada
saat itu benar-benar tidak mampu membendung kekuatan ini.ditambah lagi dengan
kelakuan salah seorang wazir sang khalifah, Ibn al 'Alqami, yang justru mencoba
mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Pada saat yang genting
itu al 'Alqami mengaku telah bertemu dengan pasukan Mongol dan telah membuat
perjanjian damai. Ia mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui
mereka untuk perjanjian damai. Raja (Hulagu Khan) ingin mengawinkan anak
perempuannya dengan Abu Bakr, putra khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan
menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek-kakekmu terhadap sultan Seljuk"[1].
Setelah mendengar
demikian, khalifah pun setuju dengan usulan dari wazirnya itu. Akhirnya sang
khalifah pun keluar bersama beberapa pengikutnya dengan membawa banyak hadiah
berharga dan diserahkan kepada Hulagu Khan. Kemudian hadiah-hadiah itu
dibagikan oleh Hulagu Khan kepada para panglimanya. Keberangkatan sang khalifah
ini kemudian diikuti juga oleh beberapa tokoh penting pada saat itu, seperti
ahli fiqh dan berbagai orang-orang terpandang lainnya.
Tetapi siapa sangka,
ternyata sambutan Hulagu Khan terhadap kebaikan Khalifah al Mustasim sungguh
tak terduga. Apa yang dikatakan wazirnya ternyata tidak benar. Setelah mereka
semua berkumpul, di sini mereka semua justru dibantai oleh pasukan Mongol.
Mereka dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran. Tak membedakan usia
maupun jenis kelamin, mereka semua dibunuh dengan keji. Sekitar 800.000 orang
terbunuh termasuk Sang Khalifah pun termasuk dalam deretan daftar korbannya.
Setelah lima ratus
tahun dibangun dengan megahnya, kini Baghdad hancur dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
*
Sore telah berganti
malam, awan hitam itu pun tak kunjung pergi, namun justru semakin tebal dan
turut menyelimuti gelapnya malam. Malam itu bagaikan malam yang panjang bagi
setiap kerajaan di dunia, tak terkecuali juga bagi kerajaan-kerajaan Islam.
Kini kerajaan-kerajaan yang tadinya masih berstatus 'waspada' mulai meningkat
statusnya menjadi 'awas, mereka sedang siap siaga berjaga-jaga dari serangan
bangsa Mongol yang seperti kilatan petir itu.
Sudah diduga akan
tiba, namun kedatangannya selalu tak disangka-sangka. Degupan jantung semakin
terasa, berpacu dengan suara hentakan kuda yang memercikan api dengan kuku
kakinya. Apalagi setelah hari itu, hari yang naas itu, hari hancurnya Baghdad.
Jantung ini semakin berdegup begitu hebatnya.
Tapi siapa sangka, di
tengah gelapnya malam yang diselimuti awan hitam kelam tanpa cahaya bulan dan
bintang. Ketika itu manusia-manusia benar-benar berharap agar ada sebuah cahaya
meskipun hanya secerca.
Oh, dan benar saja ia
datang dari sekerumunan budak yang dilatih. Ya, cahaya itu datang dari kalangan
budak-budak elite, budak-budak milik para sultan dinasti Bani Ayyub yang
terdidik dan terlatih sebagai seorang tentara, yang pada akhirnya mampu
mendirikan sebuah dinasti. Dinasti itu kini dikenal dengan Dinasti Mamluk
(budak) di Mesir.
Setelah menaklukkan
Baghdad dan menguasainya, saat itu bidikan pasukan Mongol selanjutnya ialah
Mesir, yang di sana ada sebuah kerajaan Islam juga yang tidak boleh
disepelekan. Di sini terjadi sebuah peristiwa bersejarah yang tak boleh
dilupakan, peristiwa ini terjadi pada awal tahun 1260 M, yaitu ketika pasukan
dari bangsa yang hampir menduduki seluruh dunia Islam ini bertemu dengan
tentara dari Dinasti Mamluk di bawah komando Qutuz dan Baybars di Ayn Jalut
tepatnya pada tanggal 13 September 1260 M.
Peristiwa ini bermula
setelah pasukan Mongol berhasil menaklukan Nablus dan Gaza. Ketika itu
Kitbugha–seorang panglima tentara Mongol, bawahannya Hulagu Khan—mengirim
utusan ke Mesir, meminta Sultan Qutuz selaku pemimpin Dinasti Mamluk ini agar
menyerah kepada bangsa Mongol. Sontak saja permintaan ini ditolak mentah-mentah
oleh Sultan Qutuz.
Rupanya perlakuan
Sultan membuat para pasukan Mongol geram, kemudian Kitbugha pun melintasi
Yordania menuju Galilie. Lalu pasukan ini bertemu dengan pasukan Mamluk yang
dipimpin langsung oleh Sultan Qutuz bersama dengan jenderal terbaiknya, Zahir
Baybars, di Ayn Jalut seperti diterangkan di awal. Akhirnya pecahlah sebuah
peperangan antara Mamluk dengan Mongol, dan atas kehendak Allah pertempuran ini
pun dimenangkan oleh umat Islam.
Rekor tak terkalahkan
yang dipegang oleh pasukan Mongol pun akhirnya dipatahkan oleh Sultan Qutuz,
Baybars, dan pasukan-pasukannya. Kemenangan ini memberikan harapan baru bagi
kerajaan-kerajaan Islam pada saat itu. Kemenangan ini bagai cahaya lilin di
tengah pemadaman listrik oleh PLN. Sangat diharapkan, dicari, dinanti, dan
dijaga. Meski tak begitu besar seperti yang semula, cahaya ini tetap sangatlah
berharga.
Di tengah gelapnya
malam yang suram itu hadir sebuah cahaya merupakan sebuah anugerah yang sangat
indah. Meskipun kecil adanya tapi cahaya kecil itu akan menjadi sebuah pemantik
awal untuk tumbuhnya cahaya-cahaya yang lebih besar.
Mungkin jika ini
merupakan teater yang terjadi pada sebuah acara ajang pencarian bakat, maka
semua juri dan penonton pasti akan standing applause saat menyaksikan
kemenangan ini. Manusia-manusia madesu (masa depan suram) pada saat itu
sudah mulai berani menampakkan senyumnya, kembali menegakkan badannya, dan
kembali memantapkan tatapannya.
Belajar dari sejarah
ini, kita sebagai umat Islam tidak sepantasnya untuk mengeluh dan meratapi
keadaan. Meskipun kini mayoritas Muslim sedang dalam ketertinggalan, apakah itu
dalam hal ekonomi, teknologi, maupun yang lainnya. Kita tetap harus yakin bahwa
cahaya itu pasti akan muncul.
Jika kita mulai
was-was bahwa cahaya kebangkitan itu tidak akan muncul, itu berarti seharusnya
kitalah yang berusaha agar menjadi bagian dari cahaya itu. Cahaya yang
memajukan Islam. Cahaya yang memajukan peradaban. Apalagi untuk kaum muda
Islam. Bangkitlah, jangan menyerah! Sudah saatnya kita untuk bangun. Bangun
dari mimpi-mimpi indah yang panjang.
Umat Islam, waktunya
berjuang!
***
Penulis adalah
pedagang yang sedang menempuh Program Studi Ilmu Hadist di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Daftar Pustaka
Al-Azizi, Abdul
Syukur. 2014. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogjakarta:
Saufa.
Anshary, Tamim. 2012.
Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar