Jumat, 04 Mei 2018

(Ngaji of the Day) Ini yang Dilakukan Fudhail bin Iyadh saat Wuquf di Arafah


AL-HIKAM
Ini yang Dilakukan Fudhail bin Iyadh saat Wuquf di Arafah

Orang yang tidak butuh kepada Allah SWT jelas adalah orang yang tercela. Ia mengidap penyakit batin berbahaya, sifat takabur. Tetapi orang yang tidak berdoa kepada Allah SWT belum bisa dinilai sebagai seorang hamba yang takabur. Hal ini ditunjukkan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini.

ربما دلهم الأدب على ترك الطلب اعتماداً على قسمته واشتغالاً بذكره عن مسألته

Artinya, “Kerapkali, adab menunjukkan mereka untuk tidak meminta karena pasrah pada pemberian-Nya dan sibuk berzikir ketimbang berdoa.”

Orang yang yang tidak berdoa bisa jadi didorong oleh katakaburan. Ini merupakan sebuah sikap tercela. Tetapi orang yang tidak berdoa karena malu kepada Allah SWT tidak bisa divonis sebagai seorang hamba yang takabur.

Syekh M Said Ramadhan Al-Buthi mengisahkan seorang sufi besar Fudhail bin Iyadh di mana kondisi tertentu yang menekan batinnya sehingga ia tidak berdoa (seperti kebanyakan orang) yang seharusnya dia lakukan di saat-saat mustajabah.

وتلك هي الحال التى هيمنت على الفضيل بن عياض رحمه الله يوم عرفة وهو يؤدي مع الحجيج مناسك الحج. قال إسحاق بن إبراهيم الطبري: وقفت مع الفضيل بن عياض في عرفات فلم أسمع من دعائه شيئا إلا أنه وضع يده اليمنى على خده وطأطأ رأسه وبكى بكاء خفيا، فلم يزل كذلك حتى أفاض الإمام فرفع رأسه إلى السماء يقول: واسوأتاه والله منك وإن غفرت، قالها ثلاث مرات.

Artinya, “Kondisi ini yang menguasai batin Fudhail bin Iyadh di hari Arafah di mana ia sedang menunaikan manasik bersama jamaah haji lainnya. Ishaq bin Ibrahim At-Thabari bercerita, ‘Pada tahun tertentu aku berkesempatan wukuf bersama Fudhail bin Iyadh di sebuah petak tanah di Arafah. Aku tak mendengar satu pun kalimat doa darinya. Ia hanya meletakkan tangan kanannya di pipi sambil menunduk-tundukkan kepalanya. Ia menangis perlahan. Hanya itu yang dia lakukan selama wukuf. Ketika kepala rombongan haji hendak beranjak meninggalkan Arafah, aku melihat Fudhail mengangkat kepala dan berucap, ‘Demi Allah, alangkah buruknya aku di hadapan-Mu sekalipun aku diampuni.’ Aku mendengar tiga kali ia mengucapkannya,’” (Lihat Syekh Muhammad Sa‘id Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Atha’iyyah, Syarhun wa Tahlilun, Beirut, Darul Fikr Al-Muashir, cetakan pertama, 2003 M/1424 H, juz IV, halaman 189).

Fudhail bin Iyadh ketika itu diselimuti oleh rasa malu kepada Allah SWT sehingga ia tidak mengambil kesempatan emas pada waktu mustajabah untuk berdoa seperti yang orang lain lakukan saat wukuf di Arafah. Ia hanya menangis pelan hingga waktu wukuf selesai.

Hal ini juga sebenarnya terjadi pada Nabi Ibrahim AS. Ia ketika dihadapkan pada situasi genting, yaitu hendak dilemparkan ke dalam pembakaran yang dipersiapkan untuk dirinya, menampik tawaran Malaikat Jibril AS dan juga tidak berdoa memohon keselamatan kepada Allah SWT. Ia memilih pasrah pada ilmu Allah SWT. Kondisi seperti ini justru menuntut seseorang agar tidak berdoa kepada-Nya.

وقال رضي الله عنه ربما دلهم الأدب على ترك الطلب قلت الظاهر ان رب هنا للتكثير لأن الغالب على العارفين وأهل الفناء السكوت تحت مجاري الأقدار فصدور الطلب منهم قليل لأن العارف فان عن نفسه غائب عن حسه ليس له عن نفسه أخبال ولا مع غير الله قرار فلا يتصور منه سؤال ولا فوات مأمول من شغله ذكرى عن مسئلتي اعطيته أفضل ما أعطى السائلين الأشياء تشتاق إليه وهو غنى عنها اشتاقت الجنة إلى عمار وصهيب وبلال كما في الحديث والحاصل أن العبد ما دام غائباً عن نفسه فإن في شهود ربه منقطعاً عن حسه لا يتصور منه طلب أصلاً إذ الطلب يقتضي وجود الاثنينية والفرض أنه غريق في بحر الوحدة فطلبه حينئذ سوء أدب في حقه فإن رد إلى الشعور بنفسه وهو مقام البقاء قد يتصور منه السؤال على وجه العبودية لا على وجه الاقتضاء والطلب كما تقدم ثم بين مستندهم في ترك الطلب فقال اعتماداً على قسمته واشتغالاً بذكره عن مسئلته قلت أما الاعتماد على القسمة الأزلية

Artinya, “Secara lahiriah menurut saya, kata ‘kerap’ pada ‘Kerapkali, adab menunjukkan mereka...’ menunjukkan ketinggian frekuensi karena al-arif billah dan mereka yang mengalami maqam fana umumnya memilih diam mengikuti aliran takdir. Kalau pun terlontar doa dari mereka, itupun sangat jarang. Arif billah itu fana dari dirinya dan lenyap dari wujud fisiknya, tidak ada padanya kusut pikiran karena nafsu dan tak ada tempat bagi selain Allah. Dari sini sulit dibayangkan muncul permohonan atau keluputan atas sebuah harapan. Sebuah hadits qudsi berbunyi, ‘Siapa yang sibuk berzikir sampai tak sempat berdoa, Aku akan memberikan kepadanya sesuatu paling utama yang pernah Kuberikan kepada mereka yang berdoa.’ Banyak hal merindukan mereka tetapi mereka tidak berhajat kepadanya. Surga merindukan sahabat Ammar RA, Shuhaib RA, dan Bilal RA sebagai tercantum dalam hadits Rasulullah SAW.

Jadi, seseorang–selagi ia fana–karena memandang Allah, tidak lagi memandang wujud fisiknya sehingga sulit dibayangkan muncul doa darinya sama sekali. Pasalnya, doa itu mengandaikan dualisme. Asumsinya, ia sedang tenggelam di laut keesaan. Pada saat seperti ini doa kepada Allah merupakan bentuk su’ul adab baginya. Tetapi jika seseorang dikembalikan pada kesadaran akan dirinya, maka ia masuk dalam kategori maqam baqa. Orang pada maqam baqa ini kerapkali berdoa sebagai bentuk penghambaan (ubudiyah), bukan benar-benar mengharapkan dan meminta sesuatu sebagai penjelasan lalu. Syekh Ibnu Athaillah lalu menjelaskan tempat kepasrahan mereka dalam meninggalkan doa dengan, ‘karena pasrah pada pemberian-Nya dan sibuk berzikir ketimbang berdoa.’ Menurut saya, kepasrahan mereka bertumpu pada pemberian Allah yang ditetapkan pada azali,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 246).

Hikmah ini jangan dipahami sebagai anjuran untuk meninggalkan doa kepada Allah. Hikmah ini membuka mata kita untuk tidak memvonis orang lain yang dalam kondisi tertentu lebih banyak zikir dan merenung daripada berdoa.

Mereka yang dalam kondisi fana tidak berdoa kepada Allah mengingat ia sendiri tidak menyaksikan apapun termasuk dirinya selain Allah. Mereka hanya nerimo atau memilih ibadah lain seperti zikir. Tetapi mereka yang ada di maqam baqa tetap berdoa kepada Allah sebagai bentuk kepatuhan atas perintahnya, bukan karena mengharapkan sesuatu atas doanya. Apapun itu, semuanya dilakukan dalam rangka menjaga adab waktu di hadapan Allah SWT. Orang-orang seperti ini tidak sedikit di sekitar kita. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar