Menyelami Butir-butir
Cinta Kekasih Allah
Judul
Buku : Sajak Dua Puluh Lima Nabi
Penulis
: Ahmad Adib Amrullah
Penerbit
: Karkasa
Cetakan
: Pertama, 2017
ISBN
: 978-602-61118-2-1
Peresensi
: Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa
Tengah.
Jamal D. Rahman dalam
komentarnya mengatakan, “Sosok para nabi terasa berdenyaran bukan saja karena
inferensi kita tentang kisah para nabi itu sendiri, melainkan juga karena diksi
dan imajinasi Ahmad Adib Amrullah dalam puisi-puisinya. Dengan puisi-puisinya
Ahmad adib membangkitkan perasaan kita tentang para nabi, sekaligus
menghubungkan batin kita dengan para kekasih Allah.”
SuksesAhmad Adib
Amrullah menarasikan 25 Nabi melalui sajak-sajaknya yang kental aroma sufistik,
membuat kita serasa bercinta dengan para kekasih Allah. Para Nabi adalah cahaya
kehidupan, menularkan kebijaksanaan, memberikan kesejukan, dan memberikan
pencerahan yang terang benderang. Kalau saja dalam kisah sederhana, sejarah
ilmiah, dan penuturan lisan—kita selalu menemukan keindahan para nabi, apalagi
disuguhkan dengan bahasa agung, yang digunakan oleh Ahmad Adib dalam menyanjung
25 Nabi. Sungguh luar biasa.
Ini yang baru
disadari, puisi tentang kenabian memang penting dalam kehidupan kita, supaya
kisahnya, ajarannya, dan hikmahnya akan selalu menyambung sebagai untaian
“nikmat kata” yang penuh makna. Sebagaimana Ahmad Adib Amrullah menggambarkan
Nabi Adam yang terlempar dari Surga, ia bertanya dalam puisinya, “Adakah yang
menandingi kemuliaan maksiatku?”
Saya “iri” dalam hal
ini, kenapa kata-kata tersebut bukan saya yang menemukannya.Bagi saya diksi dan
pengandaiannya luar biasa, di mana Ahmad Adib Amrullah ingin menggambarkan
keluarnya Adam dari surga adalah permulaan manusia menjadi khalifatullah,
dengan perantara memakan buah khuldi, buah yang sebelumnya dilarang Allah SWT
untuk dimakan.
Dalam susunan kata
tersebut kita menemukan kata “kemuliaan” dan “maksiat”, kedua kata itudalam
realitas kehidupan adalah kata yang berlawanan, berlainan, dan
berbeda—“kemuliaan maksiat”. Sungguh, bertolak belakang. Kemuliaan biasa
diidentikan dengan hal-hal baik, dan maksiat biasa diidentikan dengan hal-hal
buruk. Namun, dalam syair yang dituliskan oleh Ahmad Adib maknanya menjadi
berbeda, kesalahan Nabi Adam adalah kemuliaan bagi manusia sekarang. Siapa yang
bisa menandingi peristiwa tesebut? Saya katakan “ini penggambaran yang jenius”.
Mungkin hanya ditemukan oleh mereka yang menjiwai makna kisah kenabian.
Usaha Ahmad Adib
tidak bisa kita anggap remeh, melalui puisi-puisinya ia mencoba mengakrabkan
para nabi dengan pendekatan sastra. Memang, ini bukan hal baru jika kita
merujuk pada sejarah kesusateraan Arab-Persia, tapi di Indonesia, seperti yang
dikatakan Soni Farid Maulana dalam mengomentari buku ini, “Termasuk tema yang
jarang digarap oleh para penyair Indonesia, baik yang duduk di pesantren maupun
umum. Antologi ini merupakan tafsir religius yang wajib diketahui”.
Ahmad Adib Amrullah
terlahir dari keluarga Pesantren dan ia juga lulusan Universitas Al-Azhar,
Kairo Mesir(2000-2009). Ia menghabiskan waktu 9 tahun di al-Azhar. Semenjak
lulus SD hidupnya dihabiskan di Pesantren, ia menyelesaikan pendidikan menengah
pertama dan menengah atas di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Batu Ceper
(1994-2000). Pantas, dalam kumpulan puisi “Sajak Dua Puluh Lima Nabi” ini, ia
sangat memahami betul bagaimana kisah dan hikmah apa yang harus ditularkan
dalam puisi-puisinya.
Mungkin Ahmad Adib
Amrullah terinspirasi oleh Hasan bin Tsabit (563-674) dan Ka’ab bin Zubair
(wafat sekitar 662 M) adalah sastrawan terkenal di zaman Rasulullah. Mereka
sering menulis syair untuk memuji dan membela Rasulullah. Bahkan. Ka’ab bin
Zubair diberi hadiah “burdah” oleh Rasulullah setelah membacakan syair “banat
su’ad” dihadapan beliau.
Dalam “Sajak 25 Nabi”
Ahmad Adib menawarkan berbagai ajaran moral yang telah diwariskan dan diajarkan
oleh 25 Nabi, agar kita selalu mengingat dan meneladani bagaimana jejak kebaikan
dan kebijaksanaan para nabi.
Di sinilah Ahmad Adib
menawarkan nilai-nilai pencerahan, seperti dalam puisinya “Sajak ke 20”,
menggambarkan Nabi Ibrahim, “Potonglah salah satu leher iradahmu, sebagai tanda
shadaq dan taslim-mu, sebagai tanda tulus dan pasrahmu. Karena ‘ingin’-mu akan
tersembelih oleh ingin-Nya”. Ahmad Adib merangkai katanya begitu istimewa, Nabi
Ibrahim menghadapi posisi “tidak biasa” mengorbankan anaknya Ismail, ia
lanjutkan lagi dalam puisi berikutnya.
“Aku telah sampai
pada derajat mengorbankan, sementara anakku telah berada pada maqom
dikorbankan”. Lalu dalam syair lanjutannya Ahmad Adib bertanya, “Beranikah
engkau mengorbankan sesuatu yang paling engkau cintai, atau sudikah engkau
dikorbankan oleh Sang Maha Cinta?”
Apa yang Anda temukan
dari potongan-potongan puisi tersebut, Ahmad Adib bukanlah penyair-penyairan,
melaikan penyair sungguhan. Kita akan terkejut lagi, bagaimana Ahmad Adib
Amrullah menggambarkan Tuan Semesta Jagad Sayyidina Muhammad, ia menuliskan,
“Sungguh sesat kata ini untuk menggambarkan sehelai ujung kukumu, Tuan.”
Ia gambarkan dalam
puisi selanjutnya, “Bila wangi kasturi menodai titik semerbak wangimu,
anugerahkan ludahmu bagi papa nestapaku, Kanjeng.” Ia pun bersimpuh pasrah
dalam puisinya, “ Jikalau memujamu adalah sebuah dosa, maka aku memilih untuk
berlumuran durja, dan Jika memuliakanmu adalah petaka, maka izinkan aku
bergumul dengan derita.”
Hebat! Ahmad Adib
begitu peka, ia tidak “kecolongan diksi” sama sekali. Pemilihan katanya
benar-benar “eddiiiyyan tenan”. Kekagumannya terhadap Kanjeng Nabi Muhammad
memunculkan kata-kata sebegitu indahnya.Saking cintanya Ahmad Adib kepada
Baginda Rasul—menggambarkan “kuku”-nya pun ia merasa tidak ada
kepantasan.
Kata “ludah”,
“durja”, dan “derita” dalam bait kata-kata tersebut tersirat makna yang sangat
dalam sekali. “Bukanlah ludah”, hakikatnya adalah keberkahan, “bukanlah durja”,
hakikatnya adalah kesetiaan, dan “bukanlah derita”, hakikatnya adalah
kepasrahan. Pilihan diksi tersebut mengisyaratkan Ahmad Adib ingin berada pada
kondisi “kosong” dan benar-benar bercinta dengan Rasulullah, seperti yang
dilakukan para sufi, bukan kesombongan yang dibawa, melainkan kepasrahan total
untuk menjemput hakikat sejati. Saya teringat dengan syair asy-Syekh Yusuf ibn
Ismail an-Nabhani, tentang Terompah Rasulullah Saw, “secara dzahir ia adalah
sandal, namun hakikatnya ia adalah mahkota.”
Saya kurang begitu
paham, buku ini ditulis pada rentang waktu berapa lama. Dan saya coba cek
seluruh puisi yang ada dalam buku ini sama sekali belum pernah terpublish di
media. Artinya, ini benar-benar karya yang segar. Buku ini mempunyai ketebalan
101 halaman, bagi saya kurang tebal, namun sebagai pembuka “kran” puisi tentang
para Nabi, saya rasa cukup.
Hanya saja,saya butuh
makna lain dari buku ini (butuh gizi lain dari buku ini), entah apa.Buku ini
harus ditebalkan oleh si mpu-nya. Saya berharap Ahmad Adib Amrullah tidak puas
dan tidak berhenti di sini, masih banyak yang bisa digali hikmah dari kisah 25
Nabi.Namun setidaknya, seperti kata komentar Anis Sholeh Ba’asyin, “Ahmad Adib
Amrullah sudah menunjukan tekad kuatnya untuk menuangkan renungannya tentang 25
Nabi dalam bentuk puisi.”
Dalam hal ini, tidak
berlebihan jika saya mengatakan, inilah “penyairbaru yang jenius” hadir di
Indonesia, dengan membawakan tema di luar kebiasaan para “penyair Indonesia”,
ide yang brilian, ide luar biasa.
Ahmad Adib menutup
buku puisinya dengan sangat menakjubkan, “Aku tak peduli badai, karena aku tak
benci udara. Aku tak peduli sengatan, karena aku tak benci api. Aku tak peduli
gelombang, karena aku tak benci air. Aku tak peduli lindu, karena aku tak benci
tanah. Aku hanya rela, apa yang Ia minta. Aku tak perdulikan surga, aku tak
perdulikan neraka, aku telah rela, jadi yang Ia rela.”
Ini yang harus kita
sadari, inti dari pengabdian diri kita tehadap Allah adalah kepasrahan,
keikhlasan, syukur, dan kesabaran. Karena ujungnya, usahamu, ibadamu, dan
segala perbuatanmu—kau harus rela, jadi apa yang Ia (Allah) rela. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar