KHOTBAH JUM'AT
Cara Mengamalkan Hadits Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Khutbah
I
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ
أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Islam
dengan tegas memerintahkan pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik dan
menghindari berbuat buruk. Tidak berhenti di situ, Islam juga menganjurkan
umatnya untuk menularkan kebaikan itu kepada orang lain dan mencegah
kemungkaran terjadi di tengah masyarakat.
Dengan
demikian, kebaikan dan kemungkaran dalam Islam tidak sekadar diharapkan hadir
pada level individu melainkan juga di tingkat kehidupan sosial. Pembenahan pun
seyogianya selain dilakukan pada diri sendiri juga dilakukan terhadap orang
lain atau masyarakat. Inilah yang terkenal dengan sebutan amar ma’ruf nahi
(‘an) munkar yang dalam Al-Qur’an Surat Ali 'Imran ayat 110 disebut sebagai
bagian dari cirri umat terbaik.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.” (QS Ali 'Imran: 110)
Secara
bahasa ma’ruf berarti diakui, diketahui, dimaklumi. Maksudnya, sebuah
perbuatan adalah baik menurut pengakuan nurani juga masyarakat secara umum.
Sementara munkar bermakna sebaliknya, yakni diingkari, ditentang,
dilawan. Maksudnya, sebuah perbuatan adalah buruk menurut pengingkaran nurani
juga masyarakat secara umum.
Kedua
istilah tersebut lebih sering terkait dengan konteks kemasyarakatan ketimbang
urusan individu. Istilah ma’ruf sendiri seakar kata dengan ‘urf
yang berarti kebiasaan umum di masyarakat. Suatu perbuatan bisa saja
dikatakan maksiat tapi belum tentu disebut munkar. Orang yang telanjang
bulat di jalanan tentu tidak cukup disebut maksiat tapi juga munkar karena
berhubungan dengan kenyamanan, keamanan, norma, dan pemakluman masyarakat
secara umum.
Jamaah
shalat Jumat rahimakumullah,
Dalam
kehidupan di dunia ini hampir tidak ditemui satu pun masyarakat yang
benar-benar suci dari unsur kemungkaran. Karena itu kewajiban ini selalu
relevan dilakukan, dan berstatus hukum fardhu kifayah alias kewajiban kolektif
umat Islam.
Hadits
yang selalu dikutip untuk persoalan ini adalah:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan
tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu
dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya
iman.” (HR. Muslim)
Banyak
sekali orang berpikir bahwa hadits ini berbicara seolah urutan tahapan dakwah
sesuai dengan urutan kalimat yang disampaikan. Artinya, pertama harus
menggunakan tangan atau kekuasaan, lalu lisan, baru kemudian hati. Padahal,
hadits ini memberi informasi tentang urutan tingkatan maksimal dalam usaha amar
ma’ruf nahi munkar. Jika memiliki kemampuan membenahi dengan lisan maka
jangan berhenti di hati saja; jika memiliki kemampuan membenahi dengan
tangan/kekuasaan maka jangan berhenti dengan lisan saja.
Hal
ini selaras dengan pandangan Imam Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi
sebagaimana yang tertuang dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:
وَلَا يَكْفِيْ الوَعْظُ لِمَنْ أَمْكَنَهُ إِزَالَتُهُ بِالْيَدِ، وَلَا تَكْفِيْ كَرَاهَةُ اْلقَلْبِ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى النَّهْيِ بِاللِّسَانِ
Artinya:
“Tidak cukup memberi nasihat (secara lisan) bagi orang yang mampu menghilangkan
kemungkaran dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang
mampu mencegah kemunkaran dengan lisan.”
Jamaah
sidang Jumat rahimakumullah,
Amar
ma’ruf nahi munkar ibarat proses pengobatan oleh dokter ahli. Ia membutuhkan metode,
strategi, tahapan-tahapan yang benar, sehingga tujuan untuk menyembuhkan sebuah
penyakit tercapai, atau setidaknya tidak membuatnya kian kronis. Amar ma’ruf
nahi munkar jika tidak mempu membenahi setidaknya tidak membuatnya kian
parah.
Mengapa
membutuhkan cara dan tahapan yang benar?
Jika
membangun rumah—benda mati—saja seseorang membutuhkan metode, apalagi bila yang
dihadapi adalah makhluk hidup yang berakal, memiliki watak tertentu, kondisi
psikologis, dan konteks permasalahan yang sangat mungkin berbeda antara satu
orang dengan orang lainnya. Terlebih amar ma’ruf nahi munkar adalah
upaya membangun khaira ummah (umat terbaik).
Cara
dan tahapan yang benar niscaya dilakukan. Sebab jika tidak demikian, patologi
masyarakat bisa jadi semakin buruk, pencegahan kemungkaran berbuah kegaduhan
yang tak perlu, atau kian mempertajam konflik di masyarakat.
Syekh
Abdul Hamid asy-Syarwani dalam Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj jilid
7 mengatakan, “Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk
bertindak dengan cara paling ringan dulu kemudian agak berat. Ketika
kemungkaran sudah bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan
ucapan yang kasar. Dan begitu seterusnya.”
Penjelasan
Syekh Syarwani ini memperkuat bahwa hadits amar ma’ruf nahi munkar yang
disebutkan tadi adalah tentang urutan tingkatan maksimal, bukan urutan tahapan
berdakwah. Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar seseorang tetap
dianjurkan untuk melewati cara-cara yang paling meringankan masyarakat, baru
ketika tidak atau kurang berhasil melangkah ke tahapan lain yang agak tegas.
Ini juga merupakan konsep tadrîjî (dakwah secara gradual) sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah.
Jamaah
sidang Jumat rahimakumullah,
Lapangan
amar ma’ruf nahi munkar sangat luas. Tidak mungkin satu orang melakukan
semuanya. Karena itu orang yang melakukannya harus memilih skala prioritas.
Dalam urusan yang berkaitan dengan keamanan atau kasus hukum, misalnya, tugas amar
ma’ruf nahi munkar mesti diserahkan kepada aparatus negara yang memang
berwenang menangani masalah ini. Sementara masyarakat sipil bisa mengambil
peran lain lewat pendidikan, dakwah santun, pendekatan personal, dan sejenisnya.
Yang
lebih penting lagi dari tahapan ini adalah sasaran dari amar ma’ruf nahi
munkar itu sendiri. Sebelum pelaku menerapkannya kepada orang lain,
seseorang harus menerapkannya pada dirinya sendiri. Sebagaimana kata orang
bijak, “dalam berdakwah hendaknya orang keras pada diri sendiri dan
lembut-penuh kasih sayang pada orang lain.”
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah
II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber:
NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar